Saya agak telat tahu ini: seorang dokter di Singapura pernah menagih pasiennya Rp300 miliar. Untuk selama empat tahun perawatan. Lalu jadi kasus hukum.
Minggu lalu saya memang ke Singapura. Ke dokter Benjamin Chua. Yang mengoperasi pecahnya pembuluh darah utama saya bulan lalu. Saya memang harus kontrol ke dia mengenai kelanjutan pengobatan saya. Kalau tidak ke Singapura itu mungkin tetap saja saya tidak tahu adanya tagihan yang spektakuler ini.
Dokter Susan Lim, yang menagih pasiennya sampai segitu itu sudah dijatuhi sanksi. Tidak boleh praktek selama tiga tahun. Tambah denda SGD 10.000. Sanksi itu dijatuhkan oleh lembaga yang mengawasi dokter. Ia dianggap menagih pasiennya di luar kepantasan. Melanggar di 94 macam tindakan.
Siapakah pasien dokter Susan tersebut? Dia memang pasien istimewa. Namanya Damit. Adik kandung istri Sultan Brunai, yang tergolong terkaya di dunia itu.
Nama lengkapnya: Pengiran Anak Hajah Damit. Yang menderita kanker payudara. Kiri. Sejak tahun 2004. Dan akhirnya meninggal dunia tahun 2007.
Kalau pun tidak meninggal mungkin soal tagihan ini tidak akan mencuat ke permukaan. Tapi karena si pasien meninggal, masih ada sisa tagihan yang masih harus dibayar.
Berapa? Mulailah lembaga kerajaan yang bertugas melakukan pembayaran melihat tagihan itu. Lalu terpana. Luar biasa besarnya. Kalau dijumlah selama empat tahun itu mencapai SGD 24 juta. Sekitar Rp 250 miliar. Dan pasiennya meninggal.
Sekaya-kaya Sultan Brunai, tagihan tersebut membuatnya marah. Keterlaluan. Lalu mengeluhkannya ke pemerintah Singapura.
Brunai memang sangat erat dengan Singapura. Tergolong luar biasa. Mata uang Brunai adalah satu-satunya mata uang di dunia yang dipeg ke dolar Singapura: satu dolar Singapura sama dengan satu ringgit Brunai. Kurs dolar Singapura naik, ikut naik. Turun, ikut turun.
Yang menarik adalah dasar perhitungan dari mana angka tagihan SGD 24 juta itu. Ternyata begini: Dr Susan mengenakan fee kepada pasiennya itu Rp 60 juta perhari. Tepatnya USD 40.000/hari. Selama empat tahun.
Ini karena dr Susan harus mengalokasikan perhatian dan waktunya sepenuhnya untuk pasiennya itu. Siap dipanggil kapan saja dan jam berapa saja. Siap pergi ke Brunai kapan saja untuk berapa lama saja.
Tapi itu tetap saja dianggap keterlaluan. Profesional fee sebesar itu dianggap pelanggaran etika profesi kedokteran. Yang dianggap masih wajar adalah SGD 15.000/hari. Atau sekitar Rp 20 juta/hari.
Apalagi diketahui dr Susan ternyata masih tetap menangani pasien lainnya. Dan menerima pembayaran dari seminar yang dia berikan. Kalau pengundang itu membatalkan seminar dr Susan masih mengenakan canceling fee.
Semua itu diketahui dari kesaksian dalam proses persidangan.
(Siapa dokter Susan dan seberapa hebat dia? Ikuti terusan kisah ini besok).
Belakangan dokter Susan sendiri menghadapi mahalnya tagihan dari profesi pengacara. Suami dokter Susan Lim, Deepak Sherma, mengadu ke instansi yang mengawasi pengacara.
Selama proses hukum menghadapi pasien dari Brunai itu, dokter Susan menggunakan jasa pengacara. Suami dr Susan merasa pengacara itu berlebihan dalam menentukan tarif.
Dr Susan ditagih USD 1 juta untuk jasa pengacara tersebut. Atau sekitar Rp 10 miliar.
Deepak Sharma, seorang pensiunan bank, lantas menggugat ke pengadilan tinggi Singapura. Pengadilan mengabulkan. Fee pengacara tersebut diturunkan menjadi SGD 370.000. Atau sekitar Rp 4 miliar.
Sang pengacara masih keberatan: mengapa yang menggugat Deepak Sharma, suaminya. Kok bukan dokter Susan sendiri.
(Bersambung)
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews