MCA itu Muslim Cyber Army. Itu nama yang diciptakan sendiri, akibatnya orang akan mengidentifikasi sesuai dengan nama itu. Ketika MCA digulung polisi sebagai kelompok penebar hoax, bukan berarti polisi menangkap umat Islam. Yang ditangkap polisi adalah penebar hoax dan fitnah. Yang ditangkap polisi adalah pengacau di medsos. Gak ada hubungannya dengan agama yang dianut.
Jadi saat polisi menangkapi mereka yang menggunakan nama MCA, bukan berarti polisi menangkapi umat Islam yang aktif dakwah di internet. Anggapan itu adalah generalisasi untuk membenturkan penegakkan hukum dengan bersembunyi di ketiak umat.
Kasus mesum yang tersebar di berbagai media dengan chat dan pose nudis itu kasus termasuk kategori kriminal. Ketika seorang penceramah agama yang dijadikan tersangka karena kasus itu, bukan berarti polisi menjadikan penceramah agama sebagai tersangka. Dia sebagai tersangka karena berbuat mesum. Gak ada hubungannya dengan profesinya sebagai pendakwah.
Nah, slogan kriminalisasi ulama itu seperti ingin menyembunyikan perilaku buruk seseorang di ketiak ulama. Dia berusaha menyembunyikan aibnya ke dalam jubah keulamaan.
Atau ketika ada seorang jemaah gereja yang aktif memberikan sumbangan ditangkap polisi karena korupsi. Yang ditangkap adalah seorang koruptor. Bukan statusnya sebagai jemaat gereja.
Mau duit korup digunakan untuk membangun 10 gerejapun, dia tetap saja ditangkap.
Sama seperti ketika seluruh dunia memerangi kelompok yang menamakan dirinya IS (Islamic State). Yang diperangi adalah perilaku biadabnya. Bukan karena membawa nama Islam.
Atau ketika Indonesia memutuskan melarang HTI, seperti yang dilakukan Saudi atau Turki. Yang dilarang itu adalah organisasi yang berkehendak mengubah dasar negara. Yang membahayakan masa depan bangsa.
Bahwa orang-orang HTI berdalih mereka sedang berdakwah, tapi dakwahnya membawa kerusakan kehidupan berbangsa, negara wajib memberangusnya.
Bukti kerusakan yang ditimbulkan HTI bisa dilacak dari para tersangka teroris. Ada belasan tersangka teroris di Indonesia, yang pernah bersentuhan dengan ajaran HTI.
Jadi bukan dakwahnya yang dilarang. Tapi jenis 'dakwah' yang kemudian menginspirasi orang untuk menjadi teroris yang wajib dihabisi. Masa negara mau membiarkan kanker di tubuhnya berkembang liar?
Jika pelarangan HTI ini diplintir menjadi pemerintah memusuhi umat Islam, sekali lagi ini cuma strategi HTI untuk bersembunyi di ketiak umat.
Perilaku orang seperti itu, seperti perusuh yang melempari polisi dengan batu. Lalu ketika dikejar mereka berusaha membaur dengan kumpulan orang lainnya. Tujuannya agar kumpulan orang yang sebetulnya baik-baik saja itu, akan melawan polisi. Padahal yang dikejar polisi adalah oknum yang melempar batu itu. Bukan seluruh kumpulan orang yang lain.
Orang dipermasalahkan karena perilakunya, bukan karena status sosialnya. Atau apa agamanya. Itu dulu yang harus kita jadikan pegangan.
[irp posts="11562" name="Manifesto MCA dan Peran Jasmev"]
MCA tukang fitnah, ISIS, 'ulama' yang kriminal, atau HTI adalah para perusuh pelempar batu yang berusaha bersembunyi di balik ketiak umat Islam. Mereka selalu berupaya membenturkan umat Islam dengan siapapun yang dianggap lawan mereka.
Lalu bagaimana mestinya reaksi kita? Ya, jangan mau dimanfaatkan oleh para pemgasong agama seperti ini. Pisahkan diri kita dari mereka, lalu desak polisi menegakkan hukum. Sebab gerombolan seperti merekalah yang membuat hidup beragama ini menjadi rusak.
Sekali lagi, perilaku mereka seperti orang yang melempar batu, lalu bersembunyi di balik ketiak umat Islam. Kerjanya cuma bikin rusuh.
"Mungkin karena manusia itu diciptakan Tuhan dari tanah, mas," ujar Bambang Kusnadi.
"Maksudnya, Mbang?"
"Iya, orang-orang yang suka membuat rusuh dan onar itu, mungkin diciptakan dari tanah sengketa, mas."
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews