Meja Sembahyangan Itu

Rabu, 7 Maret 2018 | 07:22 WIB
0
858
Meja Sembahyangan Itu

Ini sebuah cerita tentang bagaimana sebuah hati saling bertaut. Tidak harus antar manusia, tapi manusia dengan benda mati. Tentang barang-barang lama, yang oleh si pemilik aslinya sudah dianggap usang, terbuang, dan tidak penting lagi, hingga berakhir di tempat rongsokan. Bahkan di antaranya adalah barang-barang yang pada mulanya dianggap bernilai spiritual tinggi, digunakan untuk berdoa, dalam konteks tertentu digunakan untuk mengenang leluhur mereka.

Sebuah meja persembahyangan, yang dulu bagi komunitas Tionghoa adalah salah satu furniture terpenting (dan juga pasti terbaik) yang harus ada di rumah mereka. Saya ingin bercerita, mulai dari bagaimana saya bisa memilikinya. Suatu proses yang rumit, butuh waktu panjang, tapi berakhir dengan tidak terduga.

Saya pertama kali melihat barang ini, sekira tahun 2006 beberapa saat setelah Jogja mengalami gempa, di sebuah bakul antik di dekat rumah saya di Kotagede. Saat kawasan tua ini porak poranda dilanda gempa, hingga nyaris banyak rumah tua dengan joglo-joglo antiknya tumbang, bahkan hancur karena saling menimbun. Kenapa demikian, karena rumah-rumah mereka sudah berpadu dengan tembok-tembok bata double (pasangan bata utuh), namun tanpa kerangka besi. Sehingga ketika rubuh, betul-betul lebur, mumur, hancur!

Ketika saya pertama kali melihatnya, si Bakul punya barang dagangan tiga meja persembayangan. Harganya pun menurut saya sangat mahal (tentu untuk ukuran saya). Saya tanya yang terbaik, dia sebut di angka belasan juta. Saya jawab: oh ora ketuk aku (gak nyampe saya).

Beberapa tahun kemudian, saya dolan lagi, dan tersisa satu yang saya taksir itu. Dia tawarkan kepada saya dengan harga nyaris setengahnya dari harga tawaran semua. Saya masih tetap nyengir kemahalan. Demikian terus peristiwa itu terjadi hingga tahun ketujuh, tahun 2013. Si bakul bilang: "Wis mas, bayaren sak karepmu, barang kuwi pengen melu kowe. Aku wis selak sepet pitung tahun ra payu-payu."

Saya baru sadar selama tujuh tahun itu, nyaris setiap tahun saya kunjungi, saya hanya melihat dan tak pernah menawar sekalipun. Lalu saya ke ATM, menguras uang tabungan saya yang tak pernah seberapa itu. Saya berikan, dan sialan tanpa dilihat jumlahnya langsung diterima oleh si bakul sahabat saya itu. "Kurang pora?", tanya saya. Dijawab, "Wis pokoke gek ndang diangkut! Ndak selak owah pikiranku". Gih segera dibawa, daripada saya berubah pikiran!

Saya merasa sangat kejam, karena saya nyaris membayar 1/6 dari harga yang ditawarkan semula. Seperenam! Dan berpindahlah meja setinggi 2,5 meter itu ke Gallery Buku saya. Menjadi ikon terpenting, furniture terbaik yang saya miliki. Saya percaya, yang dikatakan sahabat saya itu betul: Ia telah memilih saya untuk saya miliki!

Padahal keinginan saya memiliki juga dengan dasar yang sederhana. Saya punya beberapa pernik khas masyarakat Tionghoa, dan saya ingin meletakkannya di situ. Saya pernah membeli tiga patung Dewa Keberuntungan, saat saya dolan ke Bangkok. Dulu ketiga patung dewa ini dapat ditemukan hampir di setiap rumah Cina dan banyak toko-toko milik masyarakat Cina di altar kecil dengan segelas air, sebuah persembahan seperti jeruk , terutama selama Tahun Baru Cina.

[caption id="attachment_11940" align="alignleft" width="506"] Fu, Lu, Shou (Foto: Andi Setiono Mangoenprasodjo)[/caption]

Secara tradisional, susunan mereka adalah dari kanan ke kiri, sehingga Fu ada di sebelah kanan (lambang keberuntungan), Lu di tengah (lambang kemakmuran), dan Shou di paling kiri (simbol keabadian). Dan kemudian saat saya nglencer ke Singapura, membeli replika patung Pixiu atau Pi Yao yang awalnya dikenal sebagai Bi Xie yang berguna "untuk mengusir roh-roh jahat". Ia dianggap sebuah mitos makhluk legendaris Cina sebagai pelindung yang sangat kuat para praktisi Feng Shui. Bentuknya menyerupai singa bersayap, yang dianggap masyarakat Cina sebagai makhluk keberuntungan yang memiliki kekuatan mistis yang mampu menggambar Cai Qi dari segala arah.

Barulah kemudian, saat satu persatu sahabat saya berkunjung, bercerita bahwa meja ini memiliki penunggu, seorang yang konon yang sangat ramah, tapi suka membaca. Suka menyapa siapa saja, yang mengunjungi perpustakaan saya.

Hingga Jeng Asrida Ulinuha menuliskannya, tapi sekaligus mengkritik saya. Betapa saya "sangat mengabaikanya", membuatnya hanya sebagai pajangan mati.

Hingga menjelang Imlek ini saya sadar, lalu pergi ke Pajeksan membeli sesuatu yang membuatnya sedikit lebih hidup: sepasang lampion, dua lilin merah, dan sebungkus hio. Hingga seorang sahabat saya kemarin berkunjung, lalu mengejek saya "Kowe saiki nggawe klentheng nang omahmu to!"

Tak apa, sebagai orang yang mintip-mintip agnostik, saya sadar rumah saya terlalu sarat dengan simbol-simbol banyak agama: dari mulai Budha, Durga, Ganesha, Yesus Kristus, bahkan Marlim dan Samin. Saya senang akhirnya bisa menuliskannya, walau (amat, sangat) terlambat. Selamat Imlek, jangan lupa sebentar lagi Cap Go Meh.

Tulisan untuk sahabat-sahabat saya yang semoga masih merayakannya: Kuan Tjek SenYap LiangAndreanto RosliDewi KurniawatiVerry Agus Hendrawan,Ariati Indriani SarwonoAgus Leonardus IINani WinarnyAnastasia MerrianaWerie YosephineHarjanto HalimKoniherawati SantosoDadang Christanto Yeni Mada Kris Budiman Felix Suhendar Albert Go.

***

Editor: Pepih Nugraha