Cerita bersambung ini diadaptasi dari naskah pertunjukan Agus Noor berjudul Hakim Sarmin
Hakim Sarmin berdiri di aula Pusat Rehabilitasi dengan senyum yang mengembang. Di hadapannya berdiri dr. Putra, Pak Panjaitan, dan Komandan Kuncoro yang mengenakan ikat leher yang berasal dari janur kuning. Mereka memandangi Pak Walikota dan sekertarisnya yang terikat di kursi.
“Anda nampak sehat, Pak Walikota,” sapa Hakim Sarmin.
“Kau benar-benar kelewatan, Hakim,” kata Pak Walikota melihat Hakim Sarmin dengan tatapan yang tajam.
Hakim Sarmin mengangkat bahunya dengan jenaka.
“Walaupun kita berdemokrasi, tapi di dalamnya kita masih menggunakan politik dinasti. Karena itulah yang menjadi walikota selalu berasal dari keluarga Anda,” kata Hakim Sarmin. “Saya paham. Kekuasaan karena keturunan sepertinya sudah menjadi budaya sehingga walaupun berdemokrasi, orang yang berkuasa tetap itu-itu saja.”
“Apa yang sebenarnya kau inginkan?” tanya Pak Walikota.
“Aku menginginkan revolusi!” jawab Hakim Sarmin dengan tegas. “Harus ada perubahan di setiap kota di negara ini agar yang memimpin adalah pemimpin yang sungguh-sungguh mampu memimpin. Bukan karena keturunan atau kekayaan.”
“Haruskah kalian melakukan ini padaku?” tanya Pak Walikota lagi. “Kita punya hukum. Kalian bisa mengadukanku ke pengadilan.”
“Pengadilan?” tanya Hakim Sarmin sambil tertawa terbahak-bahak. Dia seperti geli sekali mendengarkan pernyataan Pak Walikota.” Maaf Pak Walikota. Tapi ini pernyataan Anda lucu sekali. Tidak kah Anda sadar, Anda sedang berbicara pada hakim?”
Pak Walikota tertegun. Kata-kata Hakim Sarmin seolah menyadarkannya.
“Lagipula, apakah saya perlu mengingatkan Anda bagaimana Anda bisa duduk dan menjabat menjadi walikota sekarang ini?” tanya Hakim Sarmin lagi dengan muka serius.
Pak Walikota terdiam. Dia tidak bisa membantah lagi. Pak Walikota sadar tidak bisa menuntut keadilan apapun karena dia juga pelaku ketidakadilan dan sudah memanipulasi hukum.
Sembari berbincang-bincang tadi, Hakim Sarmin diam-diam mengambil tali dan melilitkan ke tubuh Pak Walikota. Tiba-tiba dengan sekali gerakan, Hakim Sarmin sudah menjerat tali ke leher Pak Walikota hingga Pak Walikota gelagapan, merontan, namun tak berdaya.
Di sebelahnya terlihat sekertaris walikota menyaksikan kejadian itu sambil memicingkan mata dan mengepalkan tangan. Sekertaris walikota merasa ngeri. Hakim Sarmin dengan seringai dingin makin kuat menjerat leher Pak Walikota yang makin lama makin melemah.
Hakim Sarmin baru melepaskan jeratannya setelah Pak Walikota tidak melakukan gerakan perlawanan lagi. Pak Walikota bahkan sudah tidak bernafas.
Hakim Sarmin lalu menengok ke arah sekertaris walikota yang bermuka pucat pasi.
“Kau bukan orang yang harus dihabisi. Tapi ada baiknya kalau kau diamankan,” kata Hakim Sarmin.
Sekertaris walikota tidak menjawab. Dia hanya terdiam. Sepertinya dia masih syok melihat kejadian tadi. Komandan Kuncoro pun dengan sigap menuntun sekertaris walikota keluar dari ruangan itu.
“Kita akan mempersiapkan masa depan yang baru,” kata Hakim Sarmin.
Dr. Putra dan Pak Panjaitan membungkuk dan memberi hormat pada Hakim Sarmin.
(Tamat)
***
http://pepnews.com/2018/03/01/muslihat-hakim-sarmin-12-democrazy/
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews