Jika acuannya adalah singkatannya, semestinya tidak demikian. PSI Lama atau Partai Sosialis Indonesia adalah partai dimana Soemitro Djojohadikoesoemo, ayah Prabowo Soebianto ikut bernaung. Pun sekalipun Fadli Zon pasti akan sangat bangga bila dikaitkan dengan PSI.
PSI adalah partainya kaum intelek, dimana ia tidak punya ambisi untuk menjadi partai massa, ia tidak pernah bermimpi memiliki pengikut dengan jumlah jutaan. Ia sejenis partai "Think Tank" atau saat ini sering disebut "King Maker", di mana tidak ada satu pun kebijakan pemerintah yang luput dari meja diskusi mereka. Walaupun berjumlah minoritas, ia mampu mengkontrol bahkan mempengaruhi sangat kuat banyak kebijakan pemerintah.
Apalagi ia didukung oleh tokoh-tokoh nasional yang kemudian dicatat sebagai para negarawan bangsa. Sebut tokoh lintas generasi dan lintas bidang yang pernah bergabung dalam partai ini mulai Sutan Sjahrir, Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Soetan Takdir Alisjahbana, Mochtar Loebis, bahkan Soe Hok Gie dan YB Mangoenwijaya. Kemudian ada Sultan Hamengkubuwana IX dan Jenderal A. H. Nasution walau bukan anggota PSI, tapi mereka memiliki hubungan informal yang kuat dengan partai berlambang bintang ini.
Hanya karena blunder, seorang Soemitro yang menjadi agen CIA dan mendukung Gerakan PRRI/Permesta-lah partai ini dibubarkan Soekarno. Bahkan Sjahrir sempat ditahan tanpa pengadilan, oleh tuduhan yang sama sekali tidak dilakukannya. Catat: genetik keluarga ini telah sejak lama menjadi musuh dalam selimut di negeri ini. Sial pula, penguasa orde selanjutnya malah memungutnya sebagai menantu!
PSI baru, yaitu Partai Solidaritas Indonesia, dengan sangat cerdas menggunakan akronim dan romantisme lama yang sangat melekat pada semangat PSI Lama. Mereka hadir dengan kultur yang sebenarnya sama dengan PSI Lama, kekuatan orang muda yang progresif dan berpikiran terbuka. Segmen yang sama persis yang dibidik saat Gerindra lahir, sama-sama menunjukkan semangat nasionalisme di awal mereka mulai mempromosikan diri.
[irp posts="11659" name="Bahas Pilpres, Benarkah Istana Telah Melakukan Blunder?"]
Mari kita lacak akar nama Gerindra! Indonesia Raya selain nama lagu kebangsaan Indonesia, kemudian adalah nama salah satu koran yang Pro-PSI, yang digawangi oleh Mochtar Loebis. Koran inipun mengalami dua kali dibredel, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Artinya, walau tidak pernah kentara benar ada rasa jealous (cemburu dan risi) pada sisi Gerindra, ketika akhirnya PSI lahir.
Dan, semakin menjadi ketika, secara perlahan PSI mampu menarik simpati secara luas. Bukan saja di segmen yang selama ini jadi bidikan Gerindra, apa dan siapa yang disebut "kelas menengah baru", atau dalam bahasa hari ini generasi muda milineal. Hanya dengan beda yang mencolok mata: pendukung Gerindra Prabowo adalah segmen yang cari gampang tanpa banyak berkeringat, mudah terjebak dalam pikiran irasional, dan mudah menuduh. Apa yang disebut juga sebagai kelas menengah teologis.
Sedangkan pada pihak PSI mereka menyebutnya dengan bahasa mereka progresif dan terbuka. Yang bisa diterjemahkan sebagai mereka yang bersemangat anti korupsi, rasional tapi penuh toleransi. Mereka akan sangat suka bila disebut sebagai kelas menengah milinealis. Asyik!
Pada titik inilah, saat para pimpinannya meminta waktu bertemu Jokowi di Istana Negara. Langsung menyemburlah kritik dan cacian dari Gerindra kepada PSI. Mereka menuduh PSI melanggar tata krama dan protokoler kepresidenan, melakukan kampanye politik di situs yang semestinya netral. Sebaliknya Jokowi tak luput dianggap melakukan "blunder", dengan menerima dukungan politik PSI pada saat jam kerja yang semestinya digunakan untuk urusan kenegaraan.
[irp posts="11788" name="PSI, Ajian Semar Mesem dan Budaya Politik"]
Intinya di mata Gerindra keduanya adalah kolaborasi atau pasangan setan dan iblis. Menganggap dan menuduh keduanya gak ada baiknya dan gak tahu diri. Padahal ini pertemuan biasa, yang siapa pun yang mengajukan audiensi, kewajiban Presiden untuk menerimanya.
Hingga tiba, pada titik Polri berhasil membongkar jaringan Muslim Cyber Army (MCA), yang semestinya mudah saja diduga dan dituduhkan oleh banyak kalangan bahwa tokoh-tokoh Gerindra berada di balik mereka. Dan lalu kalap-lah, Fadli Zon melaporkan si ini, dan si itu, yang selama ini dianggap musuh politik mereka ke Polisi. Sebuah sinyalemen sederhana yang dalam politik akan abadi sepanjang masa: Maling teriak Maling!
Dan bahkan, secara terbuka terjadi perang cuitan di twitter antar Sekjen PSI, Raja Juli Antoni dengan Fadli Zon, yang seara administratif berposisi sebagai Wakil Ketua Umum Gerindra. Dan seperti biasa, siapa yang kepepet dan mendekati kalah, ia yang akan pertama melakukan pelaporan ke Polisi. Gaya basi yang tak pernah busuk!
Suka atau tidak suka, PSI sangat berhasil memancing Gerindra bersuara, bertindak bodoh dan gegabah. Sebuah promosi gratis yang tanpa biaya buat PSI.
Di sini menunjukkan bahwa partai-partai orang tua, memang selamanya tidak akan pernah kembali muda. Dia sangat mudah dipermainkan dan dijebak anak muda dengan gaya kekiniannya yang tanpa beban. Tidak salah bila dikatakan Gerindra, pantas sangat khawatir dengan trend peningkatan popularitas PSI.
Dua hal yang tidak banyak orang tahu, Pertama, Gerindra sebenarnya sedang membenci dan memusuhi adik kandung ideogisnya sendiri. Wajar karena ia berpihak kepada rival seterunya; Kedua, manuver Fadli Zon itu lebih banyak cari muka ke Prabowo, menyelamatkan dirinya sendiri daripada menjaga reputasi partainya.
Di sini jangankan martabat negeri-nya sendiri Indonesia, atau marwah lembaga yang ia pimpin sendiri: DPR. Bahkan, kehormatan partainya sendiri ia injak2 tanpa pernah menyadarinya. Tipikal mantan aktivis kampus yang sudah gagal jadi negarawan, sejak hari pertama ia mengaku politisi!
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews