“Ketidaktahudirian”, Makin Banyaknya Orang Yang Tak Tahu Diri

Jumat, 2 Maret 2018 | 11:05 WIB
0
1666
“Ketidaktahudirian”, Makin Banyaknya Orang Yang Tak Tahu Diri

Sudah berapa kali kita melihat, orang yang telah terbukti melakukan korupsi, bahkan membunuh, masih berani mengajukan diri menjadi pejabat publik, bahkan presiden? Di tempat lain, kita juga bisa melihat, bagaimana orang yang suka berbohong, bahkan melakukan pelecehan seksual, justru menjadi pemimpin dari negara terkuat di dunia sekarang ini.

Di dunia bisnis, kita juga bisa melihat hal yang serupa. Pebisnis, yang sudah terbukti melanggar prinsip-prinsip integritas dalam bisnis, masih percaya diri untuk terus menjabat sebagai pemimpin perusahaan, bahkan punya ambisi maju sebagai presiden. Suara dan dukungan dibeli dengan uang, walaupun dengan mengorbankan kehormatan diri dan prinsip-prinsip kehidupan yang luhur. Padahal, yang diwariskan dari sepak terjangnya hanya satu, yakni keteladanan tentang ketidaktahudirian.  

Ada juga para pemuka agama yang menggunakan peran sosialnya untuk menyebarkan kebencian dan perpecahan. Mereka menggunakan jubah suci pemuka agama, supaya mendapat dukungan. Padahal sejatinya, mereka teroris penyebar petaka. Lagi-lagi, mereka cukup tak tahu diri untuk terus melakukan hal tersebut, tanpa ada rasa malu sedikitpun.

Yang paling parah mungkin adalah keberadaan para penegak hukum yang tak tak tahu diri.

Mereka dipercaya masyarakat untuk menegakkan hukum seadil mungkin. Namun, mereka justru menyelewengkan kepercayaan tersebut demi menumpuk harta pribadi. Bahkan, mereka melakukannya secara terbuka, seringkali justru bangga dengan sikap tidak tahu diri yang ditunjukkan.

Pertanyaan sederhana pun muncul. Mengapa ada orang-orang yang sungguh tak tahu diri di muka bumi ini?

Tentang Ketidaktahudirian

Orang-orang yang tak tahu diri semacam itu memiliki tiga ciri yang sama.

Pertama, mereka adalah orang-orang yang buta keadaan. Mereka memainkan peran sebagai badut yang haus kuasa, tanpa sadar, bahwa mereka memperburuk keadaan sekitar mereka, dan hidup mereka sendiri. Kerakusan telah membuat mereka buta terhadap makna kehidupan yang sebenarnya.

Dua, dari kebutaan tersebut, mereka memaksakan kehendaknya kepada masyarakat. Ambisi jadi penguasa menutupi akal sehat dan hati nurani yang mereka punya. Segala cara mewujudkan kehendak menjadi kenyataan ditempuh, termasuk cara-cara yang justru mengorbankan integritas mereka sebagai manusia beradab. Masyarakat akan hancur, jika orang-orang yang tak tahu diri ini terus bermunculan, bahkan bertambah jumlahnya.

Tiga, orang-orang yang tak tahu diri hidup dengan waham kebesaran. Mereka merasa lebih hebat dan lebih luhur dari orang-orang lainnya. Dengan cara berpikir ini, mereka ingin berkuasa, dan menindas orang-orang di sekitarnya. Waham kebesaran ini bisa berujung ke banyak petaka, seperti lahirnya penguasa tunggal di dalam politik totaliter yang menghancurkan struktur pemerintahan yang beradab, serta membunuh musuh-musuh politiknya dengan kejam.

Akar Ketidaktahudirian

Ada empat hal yang kiranya terselip di balik mental tidak tahu diri ini.

Pertama, orang dengan mental tak tahu diri memiliki pemahaman yang salah tentang kehidupan. Mereka mengira, mereka bisa menipu dan memanfaatkan orang lain untuk kepentingan mereka. Mereka tak paham, bahwa keberadaan orang lain secara langsung terkait dengan keberadaan mereka. Ketika orang lain rugi dan menderita, merekapun juga rugi dan menderita.

Dua, masyarakat kita memang mengalami krisis keteladanan. Para pemimpin rakyat dan pemimpin agama tidak hidup dengan nilai-nilai moral yang luhur. Sebaliknya, mereka justru hidup dengan berpijak pada kerakusan dan kesombongan. Tak heran, mayoritas generasi muda hanya hidup mengikuti mereka, yakni mencari cara untuk cepat kaya dan bisa memamerkan kekayaannya. Tanpa keteladanan moral yang hidup dari para pimpinan masyarakat, nilai-nilai moral hanya akan menjadi buih debu yang lenyap ditiup angin.

Tiga, di dalam masyarakat yang miskin pemikiran kritis, struktur sosial dan budaya menjadi lemah. Sedikit perubahan akan membawa goncangan besar di dunia sosial. Pengaruh asing yang menyesatkan pun bisa masuk begitu saja, tanpa ada tanggapan kritis dari masyarakat. Di dalam masyarakat semacam ini, orang-orang bermental tak tahu diri bisa terus tampil ke depan, tanpa terkena sanksi sosial apapun.

Empat, di dalam masyarakat munafik, moralitas akan terus dikumandangkan, namun jarang dilaksanakan. Terciptalah masyarakat sakit jiwa yang terbelah kepribadiannya. Orang-orang tak tahu diri menjadi menjamur di dalam masyarakat semacam itu. Dapat pula dikatakan, bahwa mereka adalah anak-anak dari masyarakat munafik.

Keempat hal ini harus disadari sepenuhnya. Perubahan sosial ke arah masyarakat yang lebih adil, makmur, setara dan beradab hanya bisa terjadi melalui kesadaran terhadap keempat akar ketidaktahudirian di atas. Budaya tahu diri memang tidak bisa diciptakan dalam waktu singkat. Namun, upaya mewujudkannya amatlah penting sekarang ini.

Apakah anda tidak muak menyaksikan orang-orang korup, bejat, tukang fitnah, pembunuh, penipu dan penyebar kebencian tampil sok suci di panggung publik?

***

Editor: Pepih Nugraha