Rencana Duet Jokowi-Prabowo dan Pentingnya Poros Tengah Jilid II

Kamis, 1 Maret 2018 | 16:47 WIB
0
606
Rencana Duet Jokowi-Prabowo dan Pentingnya Poros Tengah Jilid II

Dalam kamus politik: "tidak ada musuh abadi, yang ada adalah kepentingan abadi". Jika permusuhan tidak membawa keuntungan, mengapa tidak berdamai saja? Bersatu justru akan mendatangkan manfaat kepada kedua belah pihak yang bertikai dan Indonesia pun akan muncul menjadi bangsa yang disegani dunia.

Beredar isu bahwa Prabowo akan tetap maju di Pilpres 2019 nanti. Tetapi kali ini bukan sebagai capres melainkan sebagai cawapres dan itupun cawapresnya Jokowi.

Pertanyaannya adalah: "Apakah itu mungkin? Ataukah ini hanya lelucon orang-orang yang sudah mulai gerah di tahun politik? Ataukah ini merupakan harapan dari orang-orang yang ingin melihat kedua tokoh fenomenal ini berkerjasama dan bersinergi membangun Indonesia?"

Mungkin saja. Mengapa tidak? Dalam politik tidak ada musuh abadi, yang ada adalah kepentingan abadi. Ada banyak alternatif untuk meraih visi/misi dan tujuan partai. Jika plan A tidak menguntungkan dan plan B menghadapi jalan buntu, mengapa tidak mencoba plan C-Z?

[irp posts="11257" name="Percayalah, Elektabilitas Prabowo Subianto Akan Semakin Turun"]

Untuk maju dua langkah terkadang kita perlu mundur satu langkah. Dan untuk meraih kemenangan terkadang kita perlu berteman dengan "musuh". Koperatif lebih sering memenangkan persaingan dari pada non-koperatif. Dalam pertempuran, konflik bersenjata tidak lebih menguntungkan dari pada diplomasi.

Prabowo dan partai Gerindra pasti selalu mempunyai pertimbangan matang sebelum memutuskan segala sesuatu. Apalagi keputusan untuk menetapkan capres dan cawapres? Ini adalah salah satu keputusan terbesar partai.

Jika hitung-hitungan politik Partai Gerindra bahwa Prabowo sangat sulit untuk mengalahkan Jokowi di Pilpres 2019 nanti, apakah kalah 2 kali dari orang yang sama tidak "memalukan" dan menciderai marwah partai?

Saya pikir Gerindra harus berpikir lebih cerdas. Mundur 1 langkah untuk maju 2 langkah. Berteman dengan PDIP untuk meraih simpati konstituennya. Berteman dengan musuh untuk kemudian "menghipnotis" simpatisannya dengan kebesaran hati.

Agar Gerindra dan Prabowo tidak hanya "cuap-cuap" mengomentari kinerja pemerintah maka Gerindra dan Prabowo harus terjun langsung ke pemerintahan untuk membuktikan diri. Dan tentu saja bukan hanya sekedar koalisi tetapi menjadi eksekutif, menjadi RI-2. Dan jalan satu-satunya adalah mundur 1 langkah menjadi orang nomor 2 di negeri ini.

Ada 2 keuntungan ganda yang akan didapatkan Gerindra dan Prabowo jika proyek besar ini terealisasi. Kemungkinan pertama adalah Gerindra akan "bertambah besar" di Pilpres 2019 nanti dan kemungkinan kedua adalah Prabowo akan menjadi RI-1 di Pilpres 2024 nanti.

[irp posts="11500" name="Inilah Alasan PAN dan PKB Belum Dukung Jokowi!"]

Sebaliknya ada kerugian besar bagi Gerindra dan Indonesia jika Prabowo dan Jokowi kembali bertarung di Pilpres 2019 nanti. Pilpres 2014 masih menyisakan luka yang belum sembuh hingga saat ini dan jika aroma Pilpres 2014 diulangi kembali pada Pilpres 2019 maka luka tersebut akan semakin menganga. Apakah Gerindra memilih sebagai negarawan atau pecundang?

Saya sangat berharap dengan "duet maut" Jokowi-Prabowo bersinergi membangun Indonesia menjadi negara yang paling "ditakuti" di dunia. Bukan berseberangan membentuk 2 kubu yang saling bermusuhan yang potensial menimbulkan perpecahan.

Pertanyaan terakhir adalah, jika Jokowi-Prabowo maju di Pilpres 2019 nanti terus yang menjadi lawannya siapa?

Tenang. Tidak perlu pusing. Akan ada Poros Tengah Jilid II sebagai penantang. Di sinilah pentingnya peran bapak Amien Rais sebagai king maker. Ketidaksukaannya kepada pemerintah yang sekarang akan menguntungkan Indonesia untuk menghindar capres/cawapres tunggal.

Salam Indonesia Raya....

***

Editor: Pepih Nugraha