Hampir semua Lembaga survei telah mengumumkan hasil survei tentang elektabilitas calon Presiden, Jokowi selalu berada di tingkat teratas namun masih di bawah 50 persen, disusul oleh Prabowo di urutan kedua. Hanya hasil survei dari Polltracking yang elektabiltas Jokowi mencapai lebih dari 50 persen.
Jokowi didukung 8 partai di mana PDIP menjadi partai kedelapan yang mengusung Jokowi sebagai capres 2019. Sebelumnya ada Partai Nasdem, Hanura, Golkar, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Pembangunan, Perindo, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Di antara delapan partai pendukung Jokowi, hanya PKPI yang dinyatakan tak lolos Pemilu 2019 oleh KPU.
[irp posts="11257" name="Percayalah, Elektabilitas Prabowo Subianto Akan Semakin Turun"]
Meski sementara Prabowo adalah kans kuat untuk bersaing di pilpres 2019 sampai hari ini pun belum secara resmi mencalonkan atau dicalonkan sebagai calon presiden 2019 termasuk partainya sendiri Gerindra. Padahal berkaca pada pengalaman Susilo Bambang Yudhono saat ingin maju periode kedua jelang Pilpres 2009, elektabilitasnya mencapai 60 persen.
Jokowi justru konsisten di angka 40 persen, padahal setahun sebelum pemilu, menunjukkan kemungkinan masih ada kesempatan bagi calon lain untuk bisa mengalahkan Jokowi. Ingat pilgub DKI di mana seorang Ahok dengan elektabilitas tertinggi hingga menjelang pemilihan dan koalisi gemuknya tidak mampu memenangi pilgub DKI.
Itulah politik seperti permainan bola belum tentu unggulan menjadi pemenang karena selalu ada strategi politik yang dilakukan dari masing- masing tim untuk memenangkan pertandingan. Pilpres 2019 bila hanya diikuti dua calon Jokowi vs Prabowo ini pertandingan "el clasico" yang sangat seru untuk dinikmati.
Menikmati sebuah pertandingan "el clasico" di sebuah pertandingan sepakbola selalu ada fanatisme yang kadang berlebihan, bahkan benturan kekerasan pun kerap terjadi hingga kecurangan terkadang menjadi sebuah tindakan yang lumrah demi memenangkan sebuah pertandingan.
Begitupun jika nantinya pilpres 2019 kembali terjadi hanya dua calon antara Jokowi vs Prabowo menjadi sebuah pesta demokrasi "el clasico" yang banyak dinanti, itulah demokrasi suara terbanyak yang harus kita pahami.
Namun jika sebagian besar partai hanya ingin mencari aman dengan mendukung Jokowi dan Prabowo hanya didukung Partai Gerindra maka Jokowi pada akhirnya akan melawan kotak kosong!
Ini adalah kemunduran dalam proses demokrasi karena ketidakberanian sedikitpun dari partai untuk menjadi oposisi, apakah mendirikan partai hanya bertujuan untuk mencapai jabatan dan kekuasaan? Bukankah demokrasi yang baik harus selalu ada oposisi?
Percuma demokrasi dibangun jika tidak ada penyeimbang/oposisi bagi penguasa karena bila itu terjadi kita akan kembali ke masa orba di mana partai hanya hiasan belaka untuk memenuhi syarat bahwa Indonesia biar disebut negara demokrasi.
[irp posts="11355" name="Pesan Politik di Balik Kacak Pinggangnya Anies di Depan Jokowi"]
Partai Golkar sendiri yang tidak terbiasa menjadi oposisi hingga hengkang meninggalkan koalisi oposisi, memanglah berat untuk berani menjadi oposisi bagi sebuah partai, tapi apakah partai hanya dibentuk untuk ikut mendompleng kepada kekuasaan supaya dapat jatah jabatan? Atau jangan-jangan partai-partai terpengaruh dengan elektabilitas hasil survei sementara calon presiden, dikira hasil survei itu sangat dipercayainya melebihi percayanya kepada takdir?
Elektabilitas Jokowi yang belum mencapai 60 persen masih banyak kemungkinan terjadi, seharusnya partai politik itu mampu mengatur strategi untuk memenangkan sebuah pesta demokrasi bukan mencari alibi karena tak mampu mengkaderisasi.
Bangun negeri ini dengan demokrasi sesuai tujuan reformasi tanpa takut untuk menjadi oposisi, karena pemerintah dan oposisi sama-sama membangun untuk kemajuan demokrasi.
Mending jadi penjilat karena jelas statusnya...
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews