Awas Bahaya Laten Soehartoisme!

Sabtu, 24 Februari 2018 | 05:50 WIB
0
490
Awas Bahaya Laten Soehartoisme!

Beberapa hari setelah pengundian nomor parpol peserta Pemilu 2019, Tommy Soeharto Ketua Dewan Pembina (baca: owner) Partai Berkarya, menyatakan; “Salah satu hal yang memprihatinkan di era pemerintahan Jokowi adalah membengkaknya utang negara,” sebagaimana ditulis di Tempo.co, 20 Februari 2018.

“Keadaan bangsa negara kita sangat memprihatinkan, seperti utang negara yang sudah sampai USD 340 miliar. Kalau ditanya kepada Presiden atau Menteri Keuangan kapan itu akan lunas, tidak ada yang tahu mengenai itu,” ucap Tommy ketika acara silaturahmi Partai Berkarya di Graha Granadi, Jakarta Selatan pada Senin, 19 Februari 2018.

Weit! Lelucon tingkat dewa. Entah Dewa Bujana atau Dewa PLO. Kalau nilai utang luar negeri jaman Soeharto berkuasa bisa dilunasi, di era kekuasaannya yang 32 tahun itu, Indonesia takkan seblangsak sekarang. Apalagi, jika utang tak dikorupsi, yang dalam hitungan Kwiek Kian Gie, bisa dikembalikan 30 persen saja kondisi ekonomi Indonesia akan jauh lebih baik.

Kritik Tommy berkait pembangunan infrastruktur, sementara hal itu tak berkorelasi dengan penurunan biaya komoditas. Itu kritik ngawur. Pembangunan infrastruktur (apalagi baru marak setelah lebih dari 50 tahun merdeka), berbeda dengan jualan jagung bakar kaki-lima. Cara berfikir Tommy, cacat sejak dari pikiran. Itu terjadi pada hampir semua pengritik kebijakan Jokowi, termasuk Amien Rais dan Duo Fuck.

Karena bukan ahli ekonomi, saya kutipkan tulisan teman, Her Suharyanto, yang expert mengenai utang luar negeri:

Data sampai akhir 2017, utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 3.886 trilyun. Besar banget? Tentu saja besar banget, apalagi untuk ukuran kebutuhan saya, yang banyak utang pula.

Besar kecil, tergantung cara melihat. Pro pemerintah atau Prabowo. Meski Tommy belum tentu pro Prabowo, mereka sama-sama tak menyukai Jokowi, yang menyusahkan keduanya.

Besar kecil utang ditakar dengan perputaran ekonomi negara bersangkutan. Sangat sederhana sebenarnya, seperti pedagang sayur mencari pinjaman agar jualannya lebih banyak dan omsetnya lebih tinggi.

Per Februari 2017, perputaran ekonomi Indonesia (PDB) mencapai Rp 12.400 triliun. Jika perekonomian kita tumbuh 5%, berarti sekarang paling tidak sudah mendekati Rp 13.000 triliun. Artinya, utang pemerintah (Rp 3.886 trilyun), besarnya sekitar 33%-35% dari perputaran ekonomi yang dihasilkan. Prosentase inilah yang selalu dilihat para pengelola ekonomi negara. Apakah nilai utang 33%-35% angka yang besar? Sekali lagi, siapa capres idaman Anda 2019.

Jika mau lebih adil, atau proporsional, bandingkan dengan nilai utang luar negeri negara lain, berdasar data badan intelijen Amerika, CIA (2018):

Sepuluh negara pengutang terbesar, dengan nilai prosentase utangnya, sbb: 1. Jepang (223%). 2. Yunani (180%). 3. Lebanon (142%). 4. Yaman (135%). 5. Italia (131%). 6. Portugal (127%). 7. Cabo Verde (127%). 8. Mozambique (119%). 9. Jamaica (117%). 10. Gambia (116%).

Indonesia (di era Jokowi tentu) di urutan berapa? Indonesia masuk dalam 45 negara yang presentase utangnya kecil dan dinilai sangat sehat. Bandingkan jaman Soeharto, dan presiden setelahnya, kita diurutan berapa. Atau, biar nggak sensi, bandingkan dengan negara lain. Singapura masuk urutan 11 dengan 114%. Malaysia urutan 94 dengan nilai utang 52%. India urutan 102 (50%). Negara besar seperti Amerika dan Inggris di urutan 26 (90%) dan 43 (77%).

Mau data yang lain, yang agak dekat dengan Indonesia? Mesir di posisi 15 (dengan prosentase utang 104%). Vietnam, 69 (62%). Korea Selatan, 103 (50%). Thailand, 120 (44%). Filipina, 130 (42%). Irak, 66 (63%).

Atau, karena kita banyak keranjingan dengan Arab, mau dibandingin dengan negara itu, yang berada di posisi 162 dengan prosentase utang sebesar 30%? Kalau cupet diskusinya, pasti perbandingan dengan Arab itu akan dipakai. Tapi, kenapa tak dibandingkan dengan Iran, di posisi negara ke 194 dengan prosentase utang cuma 14%? Pasti alasannya klasik, Iran ‘kan negara Syiah! Apa hubungannya!

Tapi begitulah. Saya sih cuma mau ngomong, hati-hati. Waspadalah dengan bahaya laten Soehartoisme, dengan orde buluknya. Tommy bilang, utang negara di jaman ayahnya hanya US$54 milyar, sedang menurutnya, jaman Jokowi sudah US$340 milyar. Besar kan? Iyalah kalau cuma melihat angka, bukan nilai inflasinya.

Kalau menurut teman saya, dan saya bisa mengerti, jaman Soeharto memang lebih enak. Alasannya? Pada waktu Orde Baru dulu, kata teman saya, pasangannya masih muda, dan fresh, belum kendor.

***

Editor: Pepih Nugraha