Mencari Pemimpin, Bukan Mencari Upin Ipin

Senin, 19 Februari 2018 | 21:06 WIB
0
394
Mencari Pemimpin, Bukan Mencari Upin Ipin

Malam lalu telah dilakukan pengundian nomor urut partai untuk mengikuti Pileg dan sekaligus Pilpres 2019. Komentar-komentar tentang nomor selalu standar, jawabannya nomor semua baik, namun ada juga yang bernafsu mendapat nomor tertentu, seperti OSO targetnya nomor 1,2 atau 3, eh dapatnya 13.

Nomor mitos sial ini harusnya tidak ada bila ketua KPUnya orang Cina, mungkin akan diganti nomor 12A atau 14. Ya apalah arti sebuah nomor, karena kami sejak dulu sebagai rakyat tidak peduli kalian nomor berapa, semakin kemari kami tidak bisa kalian kelabui, mau nomor berapa saja yang penting kalian kerja bukan cuma bicara dan retorika.

Pagi ini di Japos, iklan dua halaman full color partai demokrat S14P, partai besutan Pince, Sis NS ( alm) dan kawan-kawan ini adalah partai penuh cerita, bermula slogan kampanye "katakan tidak pada korupsi" thn 2009, dan akhirnya ternyata Demokrat jadi mesin koruptor. SBY nyaris gagal total karena tingkat keberhasilannya dalam pembangunan relatif rendah, yang tinggi cuma keluhan dan rekaman.

Partai ini diakuisisi dari pendirinya, diambil paksa oleh keluarga Cikeas menjadi partai keluarga, dikontrol penuh oleh keluarga, lihat saja, bahkan mengambil nomor urut saja anaknya berdua yang mengambilnya, kayak tidak ada orang lain yang bisa kerja.

Menyoroti partai sebenarnya ibarat ngomongin buah mangga lewat dikali, dia mengapung ke hilir, lewat begitu saja, bisa dipandang tapi tidak bisa dimakan. Semua partai nyaris sama prilaku transaksional tidak bisa dihindari, lihat saja minggu-minggu terakhir saat sekarang ada Pilkada, begitu banyak yang kena OTT KPK, apa itu fenomena, bukan, itu budaya yang sudah lama ada.

Jual beli suara, pinjam uang kampanye dibayar proyek, komisi 5-15 % sudah biasa, karena mereka bukan berniat kerja, mereka hanya ingin berkuasa, kaya dan sok gaya. Kerja menjadi nomor lima, modal kembali dulu, urusan rakyat nanti saja.

Kembali modal sebenarnya bisa dengan halal, kalau gaji pasti tidak mencukupi, tapi uang operasional bisa menutupi, masalahnya mereka menjadi begitu serakah saat sudah menduduki jabatan, sehingga uang operasional tidak mencukupi untuk mengembalikan modal, karena kembali plus untung yang dicari.

Gaduhnya DPR dengan segala kelakuannya, menjadi lembaga terkorup 2016, itu adalah predikat neraka, namun mereka cuma tertawa-tawa, ya karena memang malunya sudah tak ada, mereka cuma bercanda dan menyerang lawan politiknya. Jokowi, kalau saja manusia satu ini mentalnya mental ngeluh sudah lama dia diserang stroke. Untung saja mental bajanya lapis sembilan, sehingga dia menter tak menggubris mulut-mulut kotor murah yang kerap menyinyirinya.

Dan, makin kemari makin terasa bahwa Jokowi itu "berisi" bukan cuma nyali, namun daya juangnya luar biasa, daya diamnya begitu kuat menahan gejolak hati yang tidak pernah terpanasi oleh ucapan-ucapan tak bermutu dari kelas politikus kutu.

[irp posts="10615" name="Inilah Penampakan Kantor Kepresidenan untuk Jokowi Kerja di Papua"]

Bagaimana 2019, tanya rekan saya, apakah Jokowi aman, bisa iya bisa tidak. Karena sekelas PDIP yang menjadi rumahnya saja kadang masih tak rela dengan langkahnya. Intervensi Mega kadang begitu terasa, lihat saja kongres partai di Bali tahun 2015, Jokowi Presiden RI diundang tak diberi porsi memberi sambutan.

Jujur saya kurang suka kepada Mega karena ketusnya, dia bak ratu yang tak bisa dibantah, untung Jokowi betah, kalau tidak dia sudah pindah ke partai lain yang lebih nyaman dalam ukuran merebut kekuasaan, tapi dia tidak demikian, Jokowi itu manusia berbudi yang nyaris tidak punya emosi, namun dia jeli, taktis dan tinggi strategi, tinggal kita tunggu apa kata Tuhan, apakah Indonesia akan diberi pemimpin atau cuma dikasi hadiah Ipin- Upin, jangan fokus dengan partai karena di sana banyak yang cuma "bangkai".

Bahagia dan nelangsa tipis bedanya. Semoga Indonesia bisa cepat dewasa ditangan pemimpinnya. Dan Grace Natali sebagai pemimpin muda bisa punya selera beda bukan jadi salah gaya.

***

Editor: Pepih Nugraha