Apakah Kami Merasa Harus Kearab-araban?

Sabtu, 17 Februari 2018 | 22:23 WIB
0
787
Apakah Kami Merasa Harus Kearab-araban?

Sejak tinggal di Norwegia 9 tahun lalu, selain bahasa Norwegia, ada satu bahasa lagi yang perlahan tapi pasti jadi akrab di telinga. Bahasa Arab.

Sebagai salah satu negara yang kebijakan imigrasinya paling terbuka di Eropa, Norwegia menerima begitu banyak imigran, termasuk pencari suaka dan pengungsi, dari seluruh dunia sejak puluhan tahun lalu. Mulai dari berkecamuknya Revolusi Iran, perang Afghanistan, konflik India-Pakistan, bencana kelaparan di Ethiopia dan Somalia, perang saudara di Sudan, Eritrea, Burundi, Bosnia, Perang Irak, hingga yang terbaru tragedi kemanusiaan di Suriah.

Belum lagi posisi Norwegia sebagai negara yang punya kewajiban internasional untuk menerima "pengungsi kuota" dari negara yang tidak berperang tapi banyak mengakibatkan banyaknya pengungsi seperti Nepal atau negeri Cina (tertindasnya kaum muslim Uighur). Hanya muslim Rohingya saja yang belum mulai memasuki Norwegia saat ini. Entah di masa yang akan datang.

Meski bukan anggota Uni Eropa, Norwegia ikut menandatangani kesepakatan European Economic Community (EEC), yang membuat negara ini harus siap dan terbuka pada tenaga kerja dari seluruh negara anggota EEC. Perlahan Norwegia menjadi negara dengan kebangsaan yang beragam dan berwarna.

Manusia dengan berbagai warna kulit, gaya berpakaian, hingga bahasa, bebas hidup di sini. Kesempatan terbuka bagi siapa saja untuk saling mengenal kebudayaan bangsa lain.

Pergaulan saya dengan banyak pemilik toko bahan makanan halal di Haugesund membuat saya sedikit banyak paham bukan saja bahasa Arab, tapi juga karakter orang Arab.

Saya jadi tahu bahwa suami istri Arab biasa saling memanggil dengan nama. Bukan dengan sebutan "Abi-Ummi" seperti sebagian masyarakat non-Arab termasuk di Indonesia.

Awalnya saya kaget ketika mendengar Basmah, pemilik toko makanan halal asal Irak, memanggil suaminya hanya dengan namanya (Ya'aroub). Juga istri pemilik toko halal yang menyebut suaminya cukup dengan Ibrahim. Istilah orang Jawa "njambal".

Jadi panggilan "Abi/Abu" dan "Ummu/Umm" itu adalah julukan dari orang luar kepada mereka yang sudah punya anak. Misalnya saya, bukan dipanggil Icha atau Savitry, tapi Umm Fatih (Ibunya Fatih).

Khutbah di masjid Haugesund selalu disampaikan dalam dua bahasa: Norwegia dan Arab. Jadi mau tidak mau jamaah akan semakin sering mendengar ucapan berbahasa Arab oleh imam/khatib. Meski tidak 100% mengerti artinya, tapi secara garis besar kita akan menangkap maksudnya.

Khutbah dalam bahasa Arab seperti ini memang sudah jadi tradisi di sini. Karena begitu banyak jamaah imigran yang bahasa ibunya memang bahasa Arab. Jadi bisa dibilang mereka adalah minoritas yang banyak. Sedangkan kami orang Indonesia yang hanya segelintir ini mutlak minoritas. Terima nasib sajalah đź™‚.

Ketika berinteraksi dengan teman-teman Arab itu (juga teman asal Somalia dan Sudan yang bahasa ibunya Arab), sesekali saya menyisipkan kosakata Arab. Maksudnya sebagai tanda keakraban sekaligus penghormatan terhadap mereka.

Meski kata-kata yang saya gunakan masih sangat dasar dan umum, setidaknya komunikasi di antara kami selalu cair dan lancar.

Tiap berjumpa, teman Arab hampir selalu menyapa dengan "Ma'assalaam", "ahlan wa sahlan", dan "Khayfa haluki?". Dari mereka saya jadi tahu cara menjawabnya, "Khoyr, alhamdulillah".

Juga ucapan "syukran" atau "jazakallah/jazakillah khoyr" yang berarti terima kasih, sudah ringan kami ucapkan.

Jawaban "afwan" yang awalnya saya kira berarti "maaf", ternyata juga punya arti "terima kasih kembali".

Ungkapan "in syaa Allah, maa syaa Allah, SubhanAllah, wallahi" terucap secara spontan di antara percakapan bahasa Norwegia. Adakah rasa aneh? Tidak sama sekali.

Selain bernama "Umm Fatih", saya juga sering dipanggil "ukhty", "søstera mi", "my sister", atau "habibie" oleh istri pemilik toko daging asal Baghdad.

Alhamdulillah Allah memberi kesempatan kepada kami sekeluarga untuk bisa merantau begitu jauh dari tanah air. Pengalaman yang membawa begitu banyak kenangan suka duka, susah senang, dan tentu saja membuka wawasan.

Siapa sangka ketika kami berada hampir "di ujung dunia" seperti sekarang, kami justru bisa berteman baik bukan saja dengan orang lokal Norwegia, tapi juga saudara seiman yang notabene berbahasa Arab.

Apakah lantas kami merasa harus jadi kearab-araban hanya karena kami berusaha bercakap-cakap dalam bahasa Arab, bersahabat dengan orang Arab, atau menyukai kuliner Arab? Tentu saja tidak.

Keindonesiaan kami sama sekali tidak berkurang, meski tiap hari dipenuhi dengan bahasa dan budaya selain Indonesia. Malah di lain pihak kami merasa bersyukur dapat tambahan saudara sesama muslim di Tanah Viking ini.

Ketika saya berusaha melontarkan kosakata Arab dan ternyata salah, teman saya akan tersenyum santun dan melafalkan ucapan yang benar.

Bergaul dan belajar sesuatu yang baru itu seharusnya memang demikian, kan. Ada keberanian untuk mencoba. Kalau takut salah terus, kapan bisanya?

Demikian pula bila kita merasa lebih dulu bisa atau pengetahuannya lebih banyak. Bukan berarti kita punya hak untuk merasa lebih pintar apalagi mematikan kepercayaan diri mereka yang ingin belajar, bukan?

Untuk urusan bahasa ini, kadang saya merasa iri pada anak-anak yang selalu begitu percaya diri mengucapkan kata apa saja yang ia tahu, dalam bahasa apapun. Kalau ia salah dalam pengucapan atau penulisan, ia hanya akan tersipu tanpa rasa malu atau kapok untuk melanjutkan. Itu proses belajar.

Beda dengan kita yang sudah dewasa ini. Kadang keinginan belajar (khususnya bahasa) begitu besar, tapi rasa takut salah atau dicap ini itu membuat keberanian itu maju mundur cantik.

Mungkin tidak semua dari kita punya kesempatan untuk belajar bahasa langsung dari penutur aslinya. Tapi itu bukan alasan untuk mandeg. Belajar terus.

Bila di sekitar kita ada teman yang fasih dengan bahasa asing, manfaatkan untuk belajar. Sekarang juga banyak aplikasi atau media belajar online yang sangat memungkinkan kita untuk mempelajari bahasa apapun secara praktis dan benar. Yang penting ada kemauan, in syaa Allah ada jalan.

Bila kita merasa lebih tahu atau lebih berpengalaman, transferlah ilmu dengan cara yang baik. Tanpa merendahkan, tanpa mengejek, tanpa membuat orang surut untuk terus belajar.

Pintar saja tidak cukup. Orang berilmu harus lebih dulu membekali dirinya dengan adab.

Untuk teman-teman di Indonesia, terutama kaum muslim, jangan malu dan jangan takut dicap kearab-araban hanya karena kita ingin menyelipkan satu dua kata dalam bahasa Arab. Tentu sebaiknya kita juga tahu dulu arti dan penggunaan yang benar. Bahasa Arab adalah bahasa agama Islam. Jadi sudah sewajarnya kaum muslim bersemangat mempelajarinya.

Sadarkah kita, begitu banyak kata-kata bahasa Arab yang diserap ke dalam bahasa Indonesia tercinta? Syukur, ilmu, kopi, majelis, ikhlas, jerapah, abadi, jawab, nafas, kuliah, kursi, kertas, dan entah berapa ribu kata lagi. Silakan cek kamus, Wikipedia, atau renungkan sendiri setiap kata yang sering kita ucapkan.

Nggak akan adalah cerita, gara-gara bahasa Arab, bahasa Indonesia jadi tersisih. Menjaga bahasa Indonesia yang baik dan benar juga bisa kok, sembari kita belajar bahasa apapun, termasuk bahasa Arab.

Mungkin bisa ditanyakan ke anak saya Fatih. Kedua orangtuanya Indonesia tulen. Ia lahir di Inggris, pernah tinggal sebentar di Indonesia, Malaysia, dan setengah hidupnya kini dia habiskan di Norwegia. Soal bahasa jangan ditanya. Bahasa Indonesianya alhamdulillah lancar dengan logat Jawa Timur yang medok, bahasa Jawa ngoko dia lancar sekali.

Bahasa Norwegia berlogat Haugesund sudah mendarah daging karena bahasa itu yang dia pakai sehari-hari di pergaulan. Bahasa Inggrisnya membuat ayah bundanya minder. Dia punya cita-cita untuk belajar bahasa Arab, karena dia ingin memahami ayat-ayat Alquran yang dia baca tiap hari.

Selain itu dia juga ingin bisa berbahasa Cina, karena itu adalah bahasa bisnis saat ini.

Tentu saja kami dukung sepenuhnya.

Maka, yaa akhi, yaa ukhty, jangan malu dan jangan patah arang untuk terus belajar dan menggunakan bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari.

Jazakumullah khoyron katsiiron.

Wassalaam.

Icha (Perantau Indonesia yang ingin fasih bahasa Arabnya)

Haugesund, Norwegia

15 Februari 2018

***

Editor: Pepih Nugraha