Kegagalan JR Saragih – Ance Selian yang diusung Partai Demokrat, PKB, dan PKPI untuk bisa maju sebagai paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara pada Pilkada Sumut 2018 yang ditetapkan KPU Sumut bisa saja menimpa paslon lainnya.
Dasarnya, pasal 78 PKPU RI Nomor 3 yang sudah diubah menjadi PKPU Nomor 15/2017. (2) Penggantian Bakal Calon atau Bakal Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf b dan huruf c dapat dilakukan pada tahap sebagai berikut:
a. sampai dengan tahap verifikasi persyaratan calon; b. sebelum penetapan Pasangan Calon; atau c. sejak penetapan Pasangan Calon sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemilihan.
Jadi, sekitar sebulan sebelum pemilihan pun, penggantian bakal calon masih bisa dilakukan, Dengan kata lain, sekalipun sudah ditetapkan KPU, maka berdasarkan PKPU di atas, sampai dengan 30 hari sebelum pemilihan, masih dimungkinkan terjadi pergantian calon.
Perhatikan point “c” itu: c. sejak penetapan Pasangan Calon sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sebelum hari pemilihan. Belajar dari kasus JR Saragih yang oleh KPU Sumut dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) itu hanya karena soal legalitas ijazah SMA-nya.
Sehingga, dari yang semula ada tiga paslon, dua paslon: Edy Rahmayadi – Musa Rajekshah yang diusung Partai Gerindra, PKS, PAN, Golkar, PAN, Nasdem dan Djarot Saiful Hidayat – Sihar Sitorus, yang diusung koalisi PDIP dan PPP, dinyatakan Memenuhi Syarat (MS).
Sedangkan pasangan JR Saragih – Ance Selian, dinyatakan tidak lolos karena TMS tadi. Dan mendengar keputusan KPU tersebut, JR Saragih pun menangis. Ia tak kuasa menahan tangis saat memberikan penjelasan kepada wartawan pasca pencoretan oleh KPU Sumut.
JR Saragih adalah seorang lulusan Akademi Militer (AMN) dengan pangkat terakhir Letnan Dua dan Bupati Kabupaten Simalungun 2 periode (2010-2015 dan 2016 – 2021). Legalisir ijazah JR Saragih bermasalah, dan tidak diakui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sumut.
Hal yang dialami JR Saragih bisa saja terjadi pada paslon lainnya pada Pilkada Serentak 2018 ini. Hanya karena legalisir ijazah SMA-nya dinyatakan bermasalah, pencalonan JR Saragih digagalkan oleh KPU Sumut pada Senin, 12 Februari 2018.
Jika menyimak kasus JR Saragih, jelas sekali, seperti halnya saat mendaftar di AMN, berarti ia juga menggunakan ijazah SMA-nya yang perlu dilegalisir di Disdikbud Sumut. Bagaimana kalau ada calon yang lulusan luar negeri dengan gelar Doktor dan Master?
Apakah si calon ini perlu juga melegalisir ijazahnya di perguruan tinggi luar negeri tersebut? Apalagi, saat mendaftar di KPU dia sudah jelas menggunakan gelar Doktor dan Master-nya. Artinya, selain legalisir ijazah SMA, dia pasti menyerahkan legalisir ijazah S2 dan S3-nya.
Dengan kata lain, dia seharusnya juga menyerahkan verifikasi atau penyetaraan atas ijazah S2 dan S3-nya dari Ditjen Dikti Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Apakah ini juga dilakukan oleh Dr. Emil Elestianto, MSc, bacawagub Jatim 2018?
Senin, 12 Februari 2018, KPU Jatim mengumumkan Hasil Penelitian Perbaikan Dokumen Persyaratan Pencalonan dan Persyaratan Calon pada Pilkada Jatim 2018 yang telah mendaftar ke KPU Jatim dengan hasil sebagai berikut:
Khofifah Indar Parawansa - Dr. Emil Elestianto, MSc dinyatakan Memenuhi Syarat (MS). Begitu pula Drs. Saifullah Yusuf - Puti Guntur Soekarno, juga dinyatakan Memenuhi Syarat (MS). Demikian pengumuman yang ditandatangani Ketua KPU Jatim Eko Sasmito.
Dasar: Pertama, Pasal 62 ayat (1) dan ayat (5) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor: 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota;
Kedua, Surat Ketua Komisi Pemilihan Umum Nomor: 100/PL.02.2-SD/06/KPU/I/2018 pada 26 Januari 2018 perihal Ketentuan Pengumuman Hasil Penelitian Perbaikan. Sebagaimana di dalam pengumuman itu, ada nama cawagub Dr. Emil Elestianto, M.Sc.
Nama cawagub untuk Khofifah Indar Parawansa itu tertulis dalam hasil penelitian KPU. Berarti, saat mendaftar, Emil juga menggunakan ijazah S3 dan S2-nya.
Sedangkan untuk paslon cagub – cawagub Saifullah Yusuf – Puti Guntur Soekarno tercantum di sini. Di sini Saifullah Yusuf tidak mencantumkan gelar S1. Hasil Penelitian Perbaikan kedua paslon Pilkada Jatim 2018 mendatang itu tercantum di sini juga.
Seperti halnya JR Saragih, meskipun hanya memakai ijazah SMA, toh ia perlu legalisir juga, apalagi seorang Doktor dan Master lulusan Jepang seperti Emil Elestianto. “Verifikasi itu jika dipakai sebagai syarat,” ujar seorang profesor kepada PepNews.com.
Tapi, “Kalau jadi cagub kan tidak butuh syarat harus S1 atau S2 dan seterusnya,” lanjut guru besar di sebuah PTN di Jatim ini. Persoalannya, pemakaian gelar Doktor dan Master di nama Emil itu tidak sesuai dengan lazimnya yang berlaku di Jepang.
[irp posts="8695" name="Menurut Aturan, Puti Guntur dan Emil Dardak Harus Mundur"]
Kecuali kalau yang dipakai mencalonkan itu ijazah SMA-nya di Indonesia. Jika gelar yang tercantum dalam pengumuman lembaga resmi seperti KPU Jatim itu memakai Doktor dan Master, berarti saat mendaftar Emil juga menyerahkan ijazah S3 dan S2-nya.
Jejak digital mencatat, pada 2001 (saat berusia 17 tahun), Emil memperoleh gelar diploma dari Melbourne Institute of Business and Tecknology. Emil lalu meneruskan pendidikan S1 di Universitas New South Wales, Australia.
Sedangkan gelar S2 dan S3 didapatkan dari Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang. Di sini jelas sekali bahwa Emil lulusan Jepang. Artinya, seharusnya jika ia mau memakai gelar, yang benar itu Emil Elestianto, PhD.
Seperti halnya Prof. Sukardi (Ainul Fatah), salah seorang dari enam ahli mikro kultur bakteri dunia, gelar S2 dan S3 diperoleh dari Universitas Ryu Kyu, di Pulau Kyushu, Yokohama, Jepang. Sehingga, namanya menjadi Prof. Sukardi, PhD.
Menurut seorang alumni sebuah universitas di Jepang, lulusan S3 di Jepang itu biasanya dia mencantumkan gelar doktornya PhD, bukan Dr. Kalau Emil memakai gelar Doktor (Dr) itu bisa dianggap pemalsuan, apalagi jika tidak ada verifikasi dari Ditjen Dikti.
“Secara administratif akan lebih aman jika Emil yang katanya lulusan Jepang, dia tetap pakai PhD,” ujar sumber PepNews.com. Sebab, kalau Emil mendaftar ke KPU Jatim menggunakan gelar Doktor-nya, “Berarti ijazahnya perlu diverifikasi di Ditjen Dikti dulu.”
PhD atau panjangnya Doctor of Philosophy merupakan gelar yang diberikan pada seseorang yang telah menyelesaikan studi tingkat doktoral (S3). Salah satu definisi lain, yang rasanya tidak salah, menyebutkan PhD sebagai Permanent Head Damage, yang tidak ada sangkut paut dengan PhD.
Apa bedanya PhD dengan Doktor? Di Indonesia, perbedaan PhD dan Doktor menjadi sangat penting karena universitas-universitas di Indonesia belum diakui secara internasional untuk menganugerahkan gelar PhD pada seseorang.
Itu sebabnya gelar yang diberikan kalau lulus S3 dari universitas di Indonesia adalah Doktor, dan bukan PhD. Konon, beberapa dosen di ITB dulu gak pernah mau gelarnya ditulis Doktor. Maunya PhD. Sebab, untuk mendapatkan gelar PhD susah bingit!
Makanya, akan lebih elegan jika Emil dalam pencalonannya mencantumkan gelar PhD-nya, bukan Dr. Sehingga lengkapnya menjadi: Emil Elestianto, PhD. Nah, mengapa Emil justru mengubahnya jadi Dr. (Doktor), bukan PhD (Doktor of Philosophy)?
[irp posts="6784" name="Contoh La Nyalla, Emil Dardak Sebaiknya Mundur dari Pilkada Jatim"]
Apa dasarnya Emil mengubah gelarnya menjadi Dr? Bukankah gelar PhD itu yang berlaku di Jepang? Apakah Emil memang sudah melakukan verifikasi/kesetaraan dari Ditjen Dikti untuk persyaratan pencalonan sebagai bacawagub Jatim 2018? Jujur itu mulia!
Logikanya, jika Emil dalam pencalonannya mencantumkan gelar Dr, jelas ini bisa disebut pembohongan publik, karena seharusnya gelar yang dicantumkan itu adalah PhD dan harus terverifikasi dari Ditjen Dikti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
JR Saragih yang menggunakan ijazah SMA saja masih harus dilegalisir ke Disdikbud Sumut, apalagi Emil yang S3 lulusan luar negeri. Jika tidak ada verifikasi dari Ditjen Dikti, jelas ini merupakan pelanggaran administrasi dan ketidak-jelian KPU Jatim!
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews