Lolos dari Maut (6): Hampir Saja Skenario "By Pass" di Lever

Kamis, 15 Februari 2018 | 14:50 WIB
0
490
Lolos dari Maut (6): Hampir Saja Skenario "By Pass" di Lever

Tidak ada jalan lain. Tindakan harus segera dilakukan. Pecahnya pembuluh darah utama saya harus segera diatasi. Saya pun bertanya. Kapan dokter James Wong melakukan tindakan. Saya sudah siap. Baik skenario 1 maupun skenario 2.

James Wong terdiam sesaat. “Besok (hari Minggu) saya harus ke Myanmar sampai Selasa. Saya bisa lakukan Rabu,” ujarnya.

Bagi saya, demikian juga Robert Lai, teman baik saya itu. Rabu itu terlalu lama. Saya ingin dilakukan sesegera mungkin. Kalau perlu saat itu juga (Sabtu). Tapi CT scan khusus yang lebih detil masih harus dilakukan. Paling cepat hari Minggu besok.

Jadwal James Wong ke Myanmar gak bisa ditawar. Robert terpaksa menghubungi teman baik saya yang lain. Orang penting Singapura. Terpaksa.

Saya sebut dia mentor saya di banyak hal. Beliau sudah beberapa kali membantu saya keluar dari krisis. Beliau pun bergegas menjenguk saya di RS. Sambil menyalahkan mengapa tidak sejak awal menghubunginya.

Beliau pun telepon sana-sini. Akhirnya ditemukan ahli saluran darah terkemuka di Singapura. Namanya: Benjamin Chua. Prakteknya di Mount Elizabeth. Tapi berkat wibawa sang beliau, dokter Benjamin bersedia datang ke RS Mount Alvernia. Melakukan pemeriksaan. Dan memerintahkan dilakukan CT scan khusus keesokan harinya (Minggu).

Satu persatu beberapa bagian tubuh saya di scan. Otak, leher, dada atas, jantung, perut dan entah apalagi. Dua jam penuh saya menjalaninya di ruang CT Scan yang dingin. Serasa beku. Dari sinilah akan ditentukan nasib saya. Apakah harus menjalani operasi terbuka di leher. Untuk membuat bypass saluran darah ke otak kanan. Atau ada cara lain.

Siangnya dokter Benjamin melihat hasil CT Scan. Dia tersenyum. “Tidak perlu bypass,” katanya. Alhamdulillah. Saya pun amat lega. Tapi, katanya, harus dilihat sambil jalan nanti. Apakah cukup memasang stent di sepanjang saluran darah utama, atau harus ditambah dengan pembuatan cerobong ke arah saluran darah otak.

Dokter Benjamin berusia 44 tahun. Bulan lalu. Dia baru saja sukses menurunkan berat badannya. Dari 112 kg ke 96 kg. Masih ingin turun lagi lima kilogram. Dia lulusan Duke University di Virginia, AS. Saya pernah ke kampus ini dua tahun lalu. Tim basketnya juara NCAA. Kami pun punya bahan ngobrol tentang almamaternya itu. Dokter Benjamin masih memperdalam lagi ilmu saluran darahnya di Melbourne, Australia.

Baju dan celananya tampak kebesaran. Kedodoran. Kepalanya dicukur gundul. Kacamatanya cukup tebal. Dia tahu bajunya sudah tidak cocok dengan ukuran badannya now. “Kenapa tidak ganti baju?” tanya saya. “Nanti saja. Sekalian setelah turun lagi lima kilo,” katanya. “Kalau ganti sekarang istri saya bisa mengira saya punya pacar baru,” guraunya.

Kami pun kembali bicara serius. Tentang tindakan cepat untuk mengatasi rantasnya pembuluh darah utama saya.

“Saya akan lakukan tindakan Senin besok sore,” katanya. Apakah material yang akan dipasang di sepanjang saluran utama darah saya sudah siap? “Sudah,” katanya.

Yes, Sir. I am ready,” jawab saya.

Dijelaskannya kemungkinan akan dipasang stent di sepanjang saluran utama pembuluh darah saya. Stent yang bagian atas terbuat dari bahan yang beda dengan stent bagian bawah. Panjangnya, total, sekitar 50 cm. Mulai dari belokan paling atas sampai dekat pusar di perut.

Di belokan yang letaknya sekitar 20 cm dari jantung itulah aorta saya retak. Dinding paling dalam di saluran darah itu pecah. Darah mengalir di luar jalur.

Saat pecah itulah dada sakit, punggung nyeri, sesak nafas dan seterusnya. Itu terjadi satu jam setelah saya makan banyak korma mentah di Madinah.

Apa hubungannya? Saya tidak tahu. Dokter juga tidak tahu. Mungkin kebetulan saja. Mungkin juga, saat itu perut saya perlu suplay darah ekstra banyak untuk mencerna material yang aneh-aneh di perut. Yang jelas, saluran darah saya sudah mulai menua. Kurang perawatan pula.

[caption id="attachment_10526" align="alignleft" width="504"] Aorta (Foto: Disway.id)[/caption]

Sejak dua tahun lalu, sejak menjalani pemeriksaan di kejaksaan tinggi Jatim saya tahu tekanan darah saya tinggi. Saat pemeriksaan itu kepala saya berat. Saya minta didatangkan dokter.

Jaksa memanggil dokter kejaksaan. Dilakukanlah test tekanan darah. Saya kaget: 180/110. Ini tinggi luar biasa. Saya takut stroke.

Jaksa menawarkan apakah pemeriksaan perlu dihentikan. Saya jawab tidak. Hanya saja perlu istirahat dulu. Maka pemeriksaan diistirahatkan sementara. Saya diminta duduk diam di kursi ruang itu selama setengah jam. Pemeriksaan pun diteruskan lagi. Sampai malam.

Sejak itu seharusnya saya rajin minum obat darah tinggi. Tapi saya kurang disiplin. Saya baru minum kalau pemeriksaan tekanan darah saya menunjukkan tinggi. Apalagi saya harus menjalani proses hukum yang panjang.

Tekanan darah tinggi itu, dalam kurun waktu yang lama, membuat dinding saluran darah saya mengeras. Mudah retak. Terutama kalau dihantam tekanan darah yang lagi tinggi.

Itulah yang terjadi pada saya di Madinah.

Darah menghantam dinding pas di posisi belokan. Dinding retak. Darah menerobos masuk. Mencari jalan baru di antara dinding dalam dan dinding luar. Darah terus mencari jalan sendiri di sela-sela dinding itu. Merantas terus ke bawah. Bergerak liar di antara dinding dalam dan dinding luar.

“Ini memang sakit. Lebih sakit dari serangan jantung,” ujar dokter Benjamin.

Kian lama saluran darah saya membesar. Darah yang melewati saluran baru (disebut false lumen) lebih banyak dibanding darah yang mengalir di saluran yang benar (true lumen).

Akhirnya pasok darah untuk organ-organ di bagian perut berkurang. Lama-lama itu akan membahayakan liver, ginjal dan seterusnya. Lama-lama dinding luar itu bisa pecah. Itulah saat kematian harusnya tiba. Karena itu tindakan yang cepat diperlukan.

Seharusnya di RS Madinah itulah bisa ditemukan kalau terjadi aorta dissection. Lalu dilakukan tindakan di sana. Tapi sudah takdirnya begitu.

Harus dioperasi di Singapura. Telat sekali. Setengah bulan setelah itu.

Untuk operasi Senin sore itu harus dilakukan di RS yang masih baru di Singapura: RS Farrer Park. Di kawasan Little India.

Saya memang harus pindah rumah sakit. Tapi saya putuskan oke. Tidak perlu menunggu kedatangan istri dan anak saya yang baru dapat tiket Selasa pagi.

Robert sudah menjelaskan ke anak saya tentang operasi itu berikut resiko-resikonya. Misalnya kelumpuhan di kaki. Atau gangguan ke otak. Istri dan anak saya rasional: segera lakukan.

Tidak harus menunggu.

(Bersambung)

***

Tulisan sebelumnya:

http://pepnews.com/2018/02/15/lolos-dari-maut-5-perintah-tiba-tiba-harus-masuk-icu-dulu/