Setelah Undang-undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-undang Nomor 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi disahkan pada tanggal 19 Mei 1999 pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie, maka Undang-undang No. 11/PNSP/Tahun 1963 Tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi secara sah dinyatkan tidak berlaku.
Undang-undang Subversi yang telah diterapkan sejak tahun 1963 tersebut dianggap Undang-undang yang selalu mencurigai setiap orang yang vokal terhadap pemerintah dan rentan digunakan untuk menjerat pihak-pihak yang tidak disenangi oleh pihak penguasa sehingga undang-undang ini dianggap merusak tatanan demokrasi dan melanggar hak azasi manusia.
Melihat perkembangan demokrasi di Indonesia sejak era reformasi yang dianggap sudah kebablasan khususnya dalam hal penghormatan terhadap simbol-simbol kenegaraan maka usulan untuk menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) muncul kembali sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kemunculan pasal penghinaan presiden di RKUHP menuai pro-kontra dalam masyarakat lantaran sebelumnya melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, MK pernah membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dalam KUHP.
[irp posts="9776" name="Pasal Penghinaan Presiden Kembali Hidup di Era Jokowi"]
Pemberlakuan pasal ini dianggap sebagai kemunduran demokrasi karena seakan-akan mensakralkan jabatan presiden dan mengkultuskan presiden sebagai orang yang anti kritik. Lagi pula presiden dianggap bukan sebagai simbol negara tetapi hanya orang yang berganti setiap periode.
Apabila pasal ini juga tetap akan dibahas dan disahkan maka dikuatirkan akan rentan disalahgunakan seperti undang-undang subversi sebelumnya yaitu untuk menjerat orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah sehingga pemerintah tak ubahnya seperti penjajah. Dan tentu saja pasal ini pasti akan diajukan kembali ke MK untuk dialakukan uji materi.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah pasal penghinaan presiden ini perlu tetap dibahas dan disahkan dalam RKUHP?
Menurut saya sangat perlu, khususnya pada masa-masa sekarang dimana demokrasi kita masih amburadul. Negara kita adalah negara yang beradab yang saling menghormati satu sama lain tanpa memandang kedudukan atau jabatan, tak terkecuali presiden.
Presiden boleh dikritik dan harus selalu diingatkan. Tetapi bukan untuk dihina atau dihujat. Bukan untuk difitnah dan dijelek-jelekkan dengan cara apapun dan melalui media manapun. Bukan untuk fotonya diedit sembarangan, diinjak-injak atau dilecehkan sesuka hati, termasuk keluarganya.
Siapapun presidennya kelak, apakah pilihan kita atau pilihan orang lain, tetapi bila beliau dinyatakan menang dan sah secara hukum maka beliau adalah presiden seluruh masyarakat Indonesia dan wajib dihormati. Tentu saja boleh dikritik tetapi bukan dengan cara-cara yang tidak beradab dengan menghina, menghujat, memfitnah dan menjelek-jelekkannya sesuka hati. Sama sekali itu bukan demokrasi tetapi ulah orang-orang di masa jahiliah yang tidak berpendidikan dan tidak beragama.
Sekali lagi apakah pasal penghinaan presiden perlu dibahas dalam RKUHP dan selanjutnya disahkan menjadi KUHP?
Tentu saja sangat perlu, dengan catatan pasal demi pasal tidak bertentangan dengan demokrasi dan HAM dan juga harus jelas dan tidak menimbulkan multitafsir sehingga tidak disalahgunakan untuk kepentingan penguasa. Tetapi hal tersebut tak perlu dikuatirkan, ada MK yang senantiasa siap untuk menguji setiap undang-undang yang disahkan pemerintah.
Untuk kepentingan siapakah pasal penghinaan presiden ini? Tentu saja bukan untuk Jokowi. Tetapi untuk seluruh masyarakat Indonesia yang beradab dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Salam....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews