Istri Teladan

Senin, 12 Februari 2018 | 15:47 WIB
0
676
Istri Teladan

Lastri mendengar suara berdebam dari ujung selasar dan menjulurkan kepalanya dari dapur.

Setelah menghembuskan napas panjang, dia memasukkan potongan daging ayam ke dalam baskom dan melemparkan sarung tangan ke atas meja.

Mendudukkan Nenek ke lantai, sepenuhnya bersandar di dinding membuat punggungnya nyeri. Nenek, menangis, meminta maaf, dan meneteskan air mata ke ke kuku jari kakinya.

Lastri menyeka wajah Nenek dengan lengan baju dan mengangkatnya. Dengus napasnya bergema di lorong menjadi ukuran tenaga yang dikerahkannya, yang menggerus pelumas sendi tulangnya yang aus.

Lastri menguatkan pahanya, mengeraskan rahangnya. Menuntun Nenek menyusuri lorong ke tempat tidur.

Dia menarik kursi-kursi di seputar meja dapur dan merebus ayam. Dia mendengar Garin masuk bersama anak-anak saat memasukkan wortel, kacang polong dan kentang. Sup dan perkedel. Telur orak-arik. Kopi dan teh. Menu untuk enam orang.

Jendela dapur kacanya buram. Keringatnya bercucuran.

Apa yang kamu tidak suka, Garin? Baiklah, aku akan tambahkan daun singkong rebus. Tidak, tidak apa-apa. Aku bisa memetiknya sendiri.

Lastri menata meja makan.

Adik Garin yang bungsu tinggal bersama mereka. Dia ikut makan malam. Dia masih bujangan, baru diterima di kerja di sebuah pabrik.

Dia akan membayar setiap bulan setelah menerima gaji, kata Garin.

Dia juga telah mengosongkan sebuah lemari. Sebagai gantinya, Dina yang mengungsi ke gudang.

Paman Rudi akan tidur bersama Milo.

Lastri mematikan api kompor. Saat membawa sup ke atas meja, kakinya tersenggol kaki kursi sehingga mangkuk sup berguncang. Kuah sup tumpah sedikit mengenai lengannya.

Dia bergumam minta maaf pada Rudi, yang hanya mendengus dan menyendok nasi dari cambung hingga tak bersisa sebutir pun. Untung Lastri sudah menyembunyikan sedikit sup dan perkedel untuk sarapan anak-anak besok.

Nenek tidur awal. Milo, si sulung, sudah mandi. Dina si bungsu masih berdebu, bau keringat dan matahari, meski, lebih bersih dari biasanya. Juga lebih hangat dari biasanya.

Lastri memeriksa telinga Milo, ada sedikit kotoran yang dibersihkannya dengan kapas baby oil. Kemudian dia memandikan Dina. Lastri mengeringkannya dengan handuk yang kering dan menyisir rambutnya. Rambutnya yang ikal samar harum minyak zaitun. Dina, penjelajah semak dan selokan, kini telah menjelma menjadi putri raja.

Lastri menggendong Dana dan membaringkannya ke ranjang kayu dengan kasur kapuk yang tipis. Dia menutup pintu lemari agar isinya yang berantakan tak terlihat mata.

Dina berbalik ke dinding dan mengigau. Lastri menggosok punggungnya penuh kasih sayang. Sebuah ciuman lembut mendarat di dahi Dina.

Di menyeberang selasar, masuk ke kamar anak sulungnya yang mendengkur halus. Tangannya menyisir rambut Milo yang agak gondrong dengan jemarinya, kemudian menekan tombol lampu. Kenaikan tarif listrik luar biasa. Namun dia tahu, tak lama lagi Paman Rudi akan masuk dan menyalakannya setelah menyesap habis kopi dan rokok di teras depan.

Milo akan terganggu dan terbatuk-batuk oleh silaunya cahaya, meraih inhaler asma. Lastri akan mendengar napas berdengik-dengik yang dari bawah selimut oleh paru-paru yang berderak-derak memompa menuntut oksigen. Jika hal itu berlangsung lama, maka dia akan datang untuk membantu menggosok-gosok dada Milo dengan balsem.

Tengah malam, Lastri akan mematikan lampu kamar Paman Rudi setelah memperbaiki letak selimut dan menuju ruang tamu. Dia  membuka sofa lipat perlahan agar tak menimbulkan suara berisik. Memasang seprai dan membangunkan Garin yang tertidur di depan televisi,  kemudian berbaring di samping suaminya.

Dan Lastri menangis.

Air matanya untuk keluarga yang dimilikinya dan untuk keluarga yang diwarisinya. Untuk anak-anak yang dilahirkannya, anak-anak yang ditanggungnya. Dan untuk suaminya yang baik yang pernah menjanjikan segalanya danpada akhirnya, memberinya tugas tanpa terpikir untuk menepati janjinya.

Lastri tidur. Dia tidak bermimpi.

Dia terlalu lelah untuk bermimpi.

Banda Aceh, 11 Februari 2018

***