Sulit untuk dibuktikan, namun segala hal yang berbau politik uang, memainkan isu-isu SARA, dan politisasi agama sudah menjadi bagian dari alat memperoleh kekuasaan, bahkan tak dapat dipungkiri, fenomena pilkada selalu saja dihiasi oleh sesuatu yang disebut “kosmetikasi politik”.
Agama, seringkali dijadikan alat untuk memoles setiap kontestan agar tampak “cantik” dan “menarik” dan disisi lain, agama juga seringkali “dipolitisasi” untuk menghantam atau menjatuhkan lawan politik dalam sebuah ajang kontestasi.
Bukankah menjanjikan uang 1 triliun untuk kesejahteraan pesantren dan masjid juga sama masuk kategorisasi politisasi agama? Bahkan mungkin dapat menjurus ke soal politik uang, jika pada akhirnya janji politik seorang kontestan dibuktikan terlebih dahulu sebelum dirinya menang dalam ajang kontestasi.
Tidak hanya itu, kekhawatiran banyak pihak soal ini, kemudian melahirkan sebuah kebijakan baru yang oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) disebut sebagai “pedoman khotbah”. Lagi-lagi ini terkait dengan agama yang seringkali dipolitisasi, dijadikan “kosmetik” bagi tujuan-tujuan politik.
Padahal sejauh ini, soal ujaran kebencian, penghinaan, atau pencemaran nama baik—apapun bentuknya—telah diatur secara ketat dan tertuang dalam undang-undang, sehingga hal-hal yang menyangkut teknis soal agama yang dijadikan alat politik,terkait SARA, mendiskreditkan pihak lain, atau menebar kebencian jelas memiliki konsekuensi hukum.
Tak perlu lagi membuat aturan-aturan khusus soal pedoman khotbah, karena setiap orang yang terbukti melakukan praktik SARA sudah tentu memiliki konsekuensi hukum.
Kosmetikasi politik dalam pilkada, jelas terlihat ketika tiba-tiba seorang kontestan menjadi sangat agamis. Tidak hanya dari soal berbusana, bahkan setiap majelis pengajian didatangi, diiming-imingi banyak hal, bahkan tanpa harus mengajukan proposal, masjid-masjid atau mushola yang sedang dibangun, justru disambangi dan disumbang.
Inikah politisasi agama? Ya, jika agama kemudian dijadikan “kosmetik” bagi dirinya agar tetap terkesan “cantik” dan “menarik” dalam pandangan masyarakat. Lucunya, umat muslim seringkali menjadi sasaran utama untuk dijadikan mesin pendulang suara. Lebih lucu lagi, hari-harin mereka yang sedang menjadi kontestan selalu ingin berdekatan dengan “ulama” dan memperhatikan para “ulama”, padahal sebelumnya kenalpun tidak.
Santernya isu politisasi agama, bahkan hingga menjadi perhatian khusus forum bergengsi seperti Musyawarah Besar Pemuka Agama di Jakarta. Hal ini tentu saja mengindikasikan, paling tidak, soal agama yang dijadikan alat kekuasaan semakin mengkhawatirkan.
Untuk memenangkan sebuah kontestasi, agama paling sering dijadikan kosmetikasi politik paling laku, walaupun sebenarnya tanpa disadari, agama sendiri telah direndahkan, karena dipaksa mengikuti prosedur kepolitikan. Padahal, agama seharusnya tetap menjadi ruh dan substansi dari politik itu sendiri, bukan dimanfaatkan menjadi alat apalagi sekadar kosmetik politik. Walaupun ada anggapan yang menyatakan bahwa itu bukan “politisasi agama”, tetapi “kontekstualisasi agama”, bagi saya, dalam konteks politik apalagi jelang pemilu, politisasi agama itu tetap dijalankan meski diperhalus sekalipun kebahasaannya.
Wacana soal agama dan politik—apakah entitasnya bersatu atau terpisah—selalu menjadi perdebatan dan pada akhirnya tetap menjadi drama “ikhtilaf” (perbedaan yang tidak substantif). Di satu sisi, agama dan politik adalah suatu kesatuan—seperti dalam Islam—dimana setiap praktik politik tentu saja harus didasarkan nilai-nilai agama, karena agama adalah cara pandang, etika, dan moralitas yang selalu membatasi, membimbing, dan mengarahkan tujuan politik secara baik dan benar.
Walaupun mesti diakui, bahwa ada yang beranggapan bahwa politik sebagai sesuatu yang “kotor” penuh intrik, mengabaikan nilai moral, menghalalkan berbagai cara demi kekuasaan, merupakan satu hal yang jauh dari dimensi keagamaan. Agama sudah semestinya tetap menjadi pedoman berpolitik, mengedepankan etika dan moralitas, dengan nuansa “kesucian” yang melekat didalamnya, bersih dari berbagai unsur kepolitikan yang praktiknya cenderung “kotor”.
Hal inilah barangkali yang terus diaktualisasikan dan dikontekstualisasikan dalam berbagai forum lintas agama, agar masing-masing pemuka agama memiliki kesamaan visi dan misi, terutama dalam soal menjaga kerukunan dan persatuan umatnya.
Bukan soal politisasi agama-nya, karena hal tersebut pasti selalu hadir dalam momen-momen kontestasi politik, tetapi soal terus menyadarkan umat beragama, bahwa hendaknya keberagamaan dipergunakan sebagai panduan dalam berpolitik, sehingga agama tidak “dipaksa” bahkan “direndahkan” sekadar melayani keinginan hasrat politik yang dipergunakan para kandidat untuk meraup keuntungan dalam setiap iklim kontestasi.
Saya meyakini ini memang sangat sulit, tetapi membangun kesadaran dimana agama adalah sesuatu yang “suci” dan “privat” bagi setiap pemeluknya, tidak direndahkan dan dihinakan melalui segala praktik kepolitikan yang cenderung “kotor”.
Jangan sampai kemudian terjadi saling klaim, ada sebagian kelompok yang menyatakan bahwa kelompok tertentu sedang menjalankan praktik “politisasi agama” padahal kelompok dirinya juga dengan sengaja “memanfaatkan” isu agama untuk mendongkrak popularitasnya sendiri, bahkan dipergunakan untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya.
Agama tetap menarik dijadikan kosmetik politik oleh siapapun, karena itulah satu-satunya cara jika mau menang dalam kontestasi politik di negeri ini. Kandidat yang enggan menggunakan “simbol” keagamaan, jangan harap dilirik atau dipilih oleh masyarakat Indonesia yang konon agamis. Penggunaan agama sebagai simbol dalam politik, tak jauh berbeda dengan praktis politisasi agama, bukan sedang menjalankan “kontekstualisasi” agama.
Simbolisasi agama tentu saja berdimensi luas, entah itu atribut keagamaan yang selalu melekat, kedekatan dengan pemuka agama, janji politik menyumbang masjid atau pesantren, atau tempat ibadah lainnya, setali tiga uang dengan praktik “politisasi agama”.
Efek politisasi agama dalam beragam ajang kontestasi, tentu saja berdampak besar terhadap cara pandang masyarakat terhadap dunia politik, sehingga tidak salah jika belakangan, santernya isu politisasi agama seringkali dihubungkan dengan SARA, ujaran kebencian, mempertajam setiap perbedaan, kuatnya arus primordialisme adalah masalah sosial yang kian mengkhawatirkan.
Tidak menutup kemungkinan, bahwa ada serangkaian agenda politik yang memang dijalankan oleh aktor-aktor “kuat” dan “tak terlihat” yang tujuannya justru mengeruk berbagai keuntungan dalam setiap kegiatan politik. Kita sedang dihadapkan pada sebuah kenyataan politik yang cukup rumit, dimana agama terus menerus diseret kedalam pusaran perebutan kekuasaan, sehingga nilai-nilai kebaikan agama justru hancur, direndahkan, dijadikan bahan olok-olok, jatuh sekadar menjadi entitas bagi sebuah kosmetikasi politik.
Nilai substantif agama justru lebur dalam nuansa “simbolisasi” dan “politisasi” dan ini justru ditularkan oleh para elit agama, penguasa, dan mereka yang memiliki kepentingan untuk memperoleh kekuasaan.
Jika agama sekadar dijadikan “kosmetik”, maka jangan harap istilah “politisasi agama” di negeri ini musnah, yang ada malah semakin bertambah.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews