Cara Lurah dan Camat Cidahu Lindungi Iman Rakyatnya

Sabtu, 10 Februari 2018 | 08:38 WIB
0
544
Cara Lurah dan Camat Cidahu Lindungi Iman Rakyatnya

Di sungai Cidahu, Sukabumi ada orang kreatif yang iseng. Mereka menyusun batu di sungai bertumpuk dalam keseimbangan. Jumlahnya ada 99 tumpukan. Masyarakat gempar mengira ada keajaiban.

Camat dan Lurah resah lalu merusak batu-batu itu. Alasannya, takut masyarakat jadi musyrik!

Saya bergumam, sampai segitunya.

Sebetulnya waktu membaca berita penghancuran susunan batu hasil karya orang iseng itu, saya teringat film The Gods Must Be Crazy. Bapak-bapak yang semangat menendang tumpukan batu di sungai Cidahu, seperti Xi, lelaki bercawat dari gurun Kalahari. Xi mengira, botol Coca-cola bebas yang jatuh dari langit adalah akibat ulah Tuhan. Maklum, Xi belum punya HP untuk mencari tahu informasi soal botol Coca-cola.

[caption id="attachment_10161" align="alignleft" width="524"] Batu bersusun (Foto: Kompas.com)[/caption]

Tapi, Lurah dan Camat di Cidahu pasti punya HP dong. Dia bisa mencari info soal seni susun batu yang di Ngawi (masih di Indonesia) sedang populer. Tapi sudahlah, bapak-bapak itu berbuat demikian karena untuk melindungi iman rakyatnya. Meski akhirnya jadi lelucon. Masa soal seni menyusun batu, sampai bawa-bawa Tuhan segala,

Kemarin di medsos beredar kisah seorang ibu di atas bus TransJakarta yang menolak ketika diberi duduk oleh lelaki muda yang baik hati. Mungkin wajah lelaki itu mirip Andy Lau, makanya ibu berjilbab itu menolak karena alasan agama. "Gak usah, saya muslim" kaya si ibu.

Lho kalau muslim emang kenapa? Ohh, dia mengira yang memberi kursi dengan baik hati itu adalah seorang kristen. Dia tidak rela diperlakukan dengan baik oleh orang yang berbeda agama.

Ibu itu geer, dia pikir dia bisa masuk kristen hanya karena dipersilakan duduk di dalam bus? Artinya untuk tetap menjadi muslim dia harus rela berdiri di bus yang penuh sesak tersebut. Baginya, tidak ada kebaikan dari orang yang berbeda agama dengannya.

Ada kisah lain, seorang pengendara ojeg online menolak penumpang ketika dilihat penumpang perempuan yang mengordernya memakai kalung salib. Dia berkata, saya muslim, menolak order dari non muslim. "Batalkan saja."

Penumpang yang ditolak itu mungkin ngerundel dalam hati, "Mentang-mentang muslim."

Pada Natal kemarin, ada seorang pedagang kue cokelat di Makasar yang menolak membuat kue untuk mesanan Natal. Alasanya sama. "Saya muslim."

Ada lagi seorang pengusaha laundry tidak mau menerima order dari pelangganya yang kristen. Alasanya dia tidak mau pakaian yang lain tercampur dengan pakaian pelanggan non-muslim itu.

Caelah, segitunya.

Entah siapa yang mengajarkan masyarakat seperti ini, hingga isi kepalanya pada keseleo begini.

Saya sering bertanya dalam hati, apakah semakin tinggi keimanan seseorang akan semakin tinggi juga kebencian dengan orang yang beragama lain?Apakah untuk melindungi sebuah keyakinan harus dilakukan dengan pemeran kebodohan seperti yang dilkukan Muspida Cidahu? Atau harus dilakukan dengan menafikkan bahwa kita hidup dalam masyarakat yang plural.

Jika benar demikian, betapa tidak menariknya hidup beragama.

Iya, di Indonesia memang sebagian besar warganya beragama Islam. Jadi sikap mentang-mentang itu bisa disombongkan. Sebagian orang seperti hendak menyingkirkan orang yang bergama lain dalam kehidupan sosialnya.

Bagaimana jika mereka hidup sebagai pengungsi Suriah yang meminta belas kasian dari masyarakat di Eropa? Mau berlagak mentang-mentang muslim?

Bagaimana jika mereka suatu saat hidup di negara non-muslim, apakah sikap mentang-mentang itu masih bisa diteruskan?

Entahlah, saya semakin merasakan, ada yang aneh dalam sikap sebagian orang menjalankan agamanya. Semakin beragama, kesannya semakin bengis dan tidak toleran terhadap perbedaan. Semakin piawai cara dia membenci saudaranya yang beragama lain. Mereka menganut agama mentang-mentang.

Saya meyakini Islam bukanlah agama mentang-mentang. Islam adalah agama penyerahan diri total kepada Allah dan penghargaan kepada kemanusiaan. Bahkan Rasul diturunkan untuk rahmat semesta alam.

"Sampeyan juga suka mentang-mentang, Mas," celetuk Bambang Kusnadi. "Mentang-mentang makan bubur gak diaduk, suka lupa bayar..."

Ssssttt, jangan buka rahasia dong, broh...

***

Editor: Pepih Nugraha