Pernah dengar lelucon tentang perbedaan antara anak SMA jurusan IPA dan IPS? Begini leluconnya "Anak IPA tuh kalau mangga jatuh ya dihitung kecepatannya, beda kalau anak IPS mangga jatuh ya dijual kan enak tuh dapet duit". Pada akhirnya lelucon itu akan menyinggung bahwa apa yang dilakukan anak IPA adalah sesuatu yang kurang kerjaan, lho iya dong ngapain coba mangga jatuh pake dihitung segala kecepatannya? Duuh kurang kerjaan. Eh tapi itu hanya lelucon saja ya.
Bicara tentang ilmu eksak maka erat kaitanya dengan jurusan IPA atau Sains di SMA, katanya kalau masuk jurusan IPA itu harus siap-siap dibuat pusing oleh berbagai macam rumus hitung-hitungan. Ya memang pusing sih kalau sudah membahas rumus-rumus eksak apalagi kalau jawabannya gak ketemu-ketemu, jangankan aku yang otaknya pas-pasan, kadang teman sekelas yang terkenal pintar aja sering kebingungan sendiri kalau mencari jawaban dari soal hitung-hitungan. Karena kebetulan ketika di SMA aku ambil jurusan IPA jadi ada banyak pengalaman tentang bagaimana keadaan kelas tersebut pada umumnya.
Ada satu pengalaman menarik yang membuatku berpikir sejenak. Saat itu memang keadaan kelas sedang riuh tak karuan karena semua murid kebingungan menyelesaikan soal-soal fisika. Karena biasanya untuk membahas pelajaran beberapa murid akan diminta oleh guru untuk mengerjakan soal di papan tulis secara acak atau berdasarkan nomor absen.
Nah karena untuk mengantisipasi agar tak mati kutu di depan papan tulis maka banyak murid yang mengerjakannya lebih dulu agar ada bayangan ketika diminta mengerjakan soal dipapan tulis. Ketika aku sedang pusing mengerjakan soal tiba-tiba salah satu temanku bicara begini "Sebenernya kita percuma lho belajar rumus kayak begini, lagian juga gak bakal kepake kalo udah kerja mah", aku langsung berpikir sejenak dengan kata-katanya.
Memang ada benarnya juga perkataan temanku tersebut, toh ketika lulus dari sekolah aku gak akan jadi arsitek atau pekerjaan apapun yang berhubungan dengan rumus ini. Dan semua terbukti saat ini, fakultas yang aku ambil memang cenderung kepada permasalahan sosial bukan hitung-hitungan rumus eksak.
Sia-siakah ilmu eksak yang dipelajari?
"10 tahun lagi walaupun aku tidak tahu apa itu 'Log', aku masih bisa hidup baik-baik."
Seperti itu lah qoute dari sebuah film You are the Apple of My Eye. Ya, kutipan dari film ini pun ada benarnya juga, toh untuk sekarang pun secara perlahan ada beberapa pelajaran eksak yang mulai aku lupakan, tapi pada kenyataannya hidupku masih tetap baik-baik saja.
Permasalahan yang datang dalam hidupku saat ini juga sama sekali tak ada hubungannya dengan rumus eksak apalagi dapat deselesaikan oleh rumus tersebut, oooh sama sekali tidak. Karena aku salah satu orang yang menyandang julukan "Banting stir," ya itu lah julukan yang akan diberikan kepada setiap orang yang melanjutkan kuliahnya tak sesuai dengan jurusan yang ia ambil ketika di sekolah.
Jadi jelas kalau hidupku saat ini tak memiliki permasalahan dengan rumus-rumus eksak.
Namun pernyataan dari kawanku dan qoute dalam film tersebut juga dapat dibenarkan tapi bisa juga tidak, ya tergantung pemikiran pribadi juga sih. Lho kenapa ?
Pertama, mungkin untuk 10 tahun ke depan atau lebih hidup ini akan baik-baik saja tanpa mengingat kembali apa itu rumus hitung-hitungan. Tapi semua hal yang akan terjadi di masa yang akan mendatang tak ada seorang pun yang tahu, kelak bisa saja ilmu tersebut sangat dibutuhkan.
Atau hal paling sederhananya adalah kita pasti akan menjadi sosok orang tua bagi anak-anak kita nanti, dan semua orang tua tak ingin terlihat bodoh di hadapan anaknya sendiri. Setidaknya dengan ilmu yang kita pelajari tersebut, dapat kita gunakan untuk mengajari sang buah hati agar bisa membantu proses belajarnya di sekolah.
Kedua, sejatinya ilmu dalam bentuk apapun pasti memiliki manfaat dan tak akan terbuang sia-sia, kecuali kalau disalahgunakan ya. Sekalipun di masa depan ilmu eksak yang telah dipelajari sama sekali tidak terpakai dalam kehidupan seseorang, namun apa salahnya untuk tetap diingat, ya setidaknya kita tidak benar-benar menyesal karena sudah bersusah payah mempelajarinya di masa sekolah.
Ketiga, dalam hal-hal sederhana sebenarnya kita bisa saja dihadapkan dengan beberapa ilmu eksak yang pernah dipelajari, hanya saja mungkin kita tak menyadarinya atau bahkan tak mau memikirkannya. Misalnya ketika melihat film sci-fi yang sudah tak asing lagi dengan teori relativitas, sepertinya sebagian orang akan bilang terlalu berat untuk memahami film tersebut, tapi bagi kita yang pernah mempelajari ilmu-ilmu dasarnya mungkin akan sedikit membantu untuk memahami alur cerita dari film sci-fi tersebut.
Jadi tak perlu khawatir dengan ilmu eksak yang sudah dipelajari disekolah akan terbuang sia-sia, apalagi hal tersebut dijadikan alasan bagi seorang siswa di kelas IPA untuk bermalas-malasan mempelajarinya.
Jujur aku juga ada sedikit perasaan menyesal karena jarang mempelajari ilmu tersebut dengan serius saat di sekolah, entah ketika kembali membuka catatan semasa SMA apakah aku masih bisa memahaminya atau tidak, yang jelas aku ingin terlihat sebagai sosok ibu yang bisa membantu ketika anakku bertanya tentang ilmu eksak yang dia pelajari.
Kan malu juga kalau diledek anak sendiri sepert ini "Ah mama waktu sekolah masuk jurusan IPA, tapi ngerjain soal begini aja gak bisa sih... payah," kemudian dengan mudah akan aku jawab dengan ucapan "Aduh mama lupa" waduuuh malah makin diledek sepertinya wkwkk.
Ilmu yang kita pelajari tak selalu berpatokan dalam dunia kerja saja untuk mengukur manfaatnya. Mau waktu sekolah jurusannya IPA dan setelah lulus malah bekerja menjadi seorang guru sosiolgi pun bukanlah hal yang harus dianggap aneh, yang aneh itu belajar banyak ilmu eh setelah lulus malah jadi seorang koruptor, tuh anehkan??? Oh mungkin salah satu ilmu korupsi juga pernah ia pelajari hehee.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews