Menceriwisi Jokowi

Senin, 5 Februari 2018 | 20:16 WIB
0
416
Menceriwisi Jokowi

Sejak 2014, ingat 2014, dmn Pak Jokowi memenangi Pilpres, sejak itu pula banyak orang-orang yang harusnya akhlaknya mumpuni menjadi aki-aki yang mempikunkan diri dan laki-laki jadi banci, mulutnya ceriwis ke  sana ke mari. Di periode itu pula ada PKI lagi, ada buruh Cina datang memenuhi Indonesia jutaan jumlahnya, tiba-tiba Pak Jokowi jadi anak orang Cina, ganti agama. Pokoknya tiba-tiba banyak penyakit sosial kayak dihinggapi lalat babi.

HTI dan FPI juga dihinggapi sawan, kalau kumat mulutnya berbuih-buih menghina Pancasila, ulama dan meremehkan semua aparat negara nyaris tidak ada yang luput dari caci maki mereka, seolah dunia dan khususnya Indonesia sudah menjadi milik mutlak yang bisa dipalak dengan otak koplak dan akhlak cekak.

Serta luar biasanya orang-orang dengan pendidikan yang selangit bisa tunduk dan taklit kepada mulut murah orang yang mereka baptis menjadi imam yang kursus khotbahnya dengan mendesah di kandang kambing. Diminta mempertanggung jawabkan perbuatannya lari terkencing-kencing, umrah nggak balik, plesiran nggak pulang.

Ceriwis, konotasinya adalah emak-emak yang nongkrong sambil cari kutu, ngomong ngalur ngidul, dari mulai kegantengan tukang sayur sampai urusan kasur keluar ngerocos kayak kenalpot bocor. Sampai maaf urusan kebendaan suaminyapun bisa diceritain sambil cekikikan bahwa tadi malam dia sampai nggak tahan. Artinya ceriwis itu apa saja diomongin, semua bisa salah dalam takaran pikiran cekak, kelas bekiak.

Harusnya bagi kelas-kelas manusia berpendidikan, moral juga diutamakan bukan mulut busuk yang diobral. Mereka harusnya ada pada domain MENGKRITISI, bukan MENCERIWISI.

Mengkritisi adalah mencermati, bisa melihat salah dan benar, menganalisa secara tajam dan memberi jalan keluar. Pikiran demikian memang bisa ada bila niatnya membangun bersama atas kejayaan berbangsa dan bernegara, tidak bisa keluar dari niat liar yang cuma menginginkan kekuasaan dan perampokan dengan jubah keagamaan serta menjual keseragaman dalam ruang keberagaman.

Mereka lupa Nusantara ada karena keberagaman, bahkan keyakinan yang dianutnya tumbuh kembang dengan kesadaran bersama, toleransi penganut keyakinan orang-orang sebelumnya, bukan tiba-tiba ada.

Akhlak itu bentukan, dan moral itu kesepakatan, keduanya tumbuh bersama dalam keseimbangan tidak bisa berjalan secara parsial, sehingga orang-orang yang tidak mempunyai keseimbangan itu mungkin salah bentuk atau di tengah jalan usianya kena serangan mental yang fatal.

[irp posts="9741" name="Balada Kartu Merah Fahri Hamzah"]

Keceriwisan akut dari manusia-manusia penakut ini kian hari kian luar biasa gencarnya, mereka mengira 250 juta rakyat Indonesia ini boneka yang bisa mereka seragamkan dalam balutan keburukan pikiran dan jungkirbaliknya akhlak. Namun demikian bagi yang waras kita diuntungkan dengan makin tajamnya mereka menjadi bejat makin gampang pula orang menilai bahwa mereka bukan makhluk bermartabat.

Contoh-contoh para nalar liar ini ditiru oleh anak-anak yang sedang dalam proses dididik, parahnya kampus-kampus pun sudah dijejali doktrin liar bahkan ke arah perbuatan makar. Agama dijadikan alat politik kepentingan, negara yang dihasilkan dari darah pahlawan mau dijadikan bancaan murahan orang-orang kelas picisan.

Kita lawan, ya kita lawan dan harus dihabiskan jangan dibiarkan.

Kritis harus, ceriwis diberangus.

Horas Medan. 522018.

***

Editor: Pepih Nugraha