Mimpi Makan Soto

Sabtu, 3 Februari 2018 | 21:22 WIB
0
1830
Mimpi Makan Soto

Di ujung jalan kecil ini ada jalan agak besar. Di jalan yang agak besar itu ada pertigaan, kemudian belok ke kanan ada jalan raya. Di jalan raya itu ada mall besar, persis di depan mall besar ada super market. Di depan super market itulah aku ditumpangi olehnya.

Semalam, aku tidur sangat nyenyak. Terlelap hingga aku tidak tahu mendengkur atau tidak. Aku coba mengingat-ingat apa yang terjadi dengan mimpiku. Mencoba menyambungkan apakah kejadian ini arti dari mimpi makan soto semalam.

Pagi hari ketika aku terbangun, aku bertanya pada istriku tentang mimpi yang baru saja aku alami. Tentu saja istriku tidak mengerti dan tidak peduli. Sebetulnya aku juga tidak mempedulikan mimpiku itu. Sekedar pertanyaan iseng saja untuk membangun percakapan dengan istriku.

Seperti biasa aku berangkat pukul enam pagi untuk mencari nafkah. Tidak lupa juga mengantar anakku untuk berangkat sekolah terlebih dahulu. Terkadang dua orang teman dari anakku juga ikut menumpang. Yusuf dan Rudin namanya, mereka tahu ketika aku lewat menuju ke arah sekolah pasti di dalamnya ada anakku.

Aku merasa tidak keberatan Yusuf dan Rudin menumpang untuk berangkat sekolah tanpa membayar. Ini bukan semata-mata soal ongkos tumpangan. Kebaikan mereka kepada anakku sudah lebih dari cukup untuk membayar tumpangan setiap hari.

Kemudian setelah sesampainya di sekolah aku segera balik kanan untuk menuju lokasi tempat aku biasa mangkal. Alamarhum kakekku pernah berkata, bahwa apa yang kita tanam itu yang akan kita tuai. Mungkin saja aku tidak bisa menuainya, tapi secara tidak sadar anakku sudah bisa menuai apa yang aku tanam.

Matahari bersinar cerah. Termometer yang aku pasang di bajajku menunjukan suhu tiga puluh empat derajat celsius. Aku melamun. Menunggu antrian untuk giliran aku menarik penumpang. Satu bajaj di depanku sudah lepas landas. Kini giliranku ada di barisan depan.

Macetnya ibu kota sudah menjadi makanan setiap hari. Aku nikmati saja apa yang aku santap setiap harinya. Kalau aku nikmati semua tidak akan terasa berat. Semua akan tetasa ringan seperti keripik singkong. Di dalam bajaj aku masih mennggu dan menunggu.

"Tolong antarkan saya ke Istana, saya ada pertemuan penting."

"Hah? Isyana, Pak?"

"Is.. Ta.. Na..."

"Oh... Istana. Ongkosnya tujuh puluh ribu ya, Pak."

Aku yang sedang melamun tiba-tiba terkejut dengan suara yang tak asing lagi bagiku.

"Loh, ga bisa ditawar ongkosnya?"

"Ohh nggak bisa, Pak. Ini harga spesial buat Pak Presiden. Hehehehee," Sahutku sambil cengar cengir.

"Ya sudah, saya naik. Yang penting cepat."

Aku sampai detik ini masih tidak menyangka, ada seorang pemimpin negara menumpang bajajku. Ia ditemani seorang pengawal yang mengingat akan faktor keamanan. Boro-boro ABS, starter saja kadang susah. Apalah bajaj ku ini, cuma kaleng yang dikendarai oleh remah-remah kerupuk kulit.

"Pengawalnya kemana, Pak?"

"Oh.. terjebak macet, Mas," Sahut Pak Presiden.

"Loh kok bisa, Pak?" Kejarku.

"Iya, bisa aja Mas. Namanya juga ibu kota."

Aku sadar betul kalau ini adalah kesempatanku untuk berbincang dengan orang nomor satu di negara ini. Aku terus memberanikan diri untuk memancing percakapan.

"Oh bukannya, bisa terhindar macet dengan adanya iring-iringan pengawal ya, Pak,"

"Saya berusaha tidak mau seperti itu. Itu namanya arogan. Buat apa adanya bajaj kalau tidak untuk saya tumpangi. Sudah lama narik bajaj, Mas?"

"Lumayan, Pak. Sejak saya akil baliqh."

"Ada yang mau saya keluhin boleh, Pak. Satu aja kok."

"Apa tuh, Mas?"

"Eehmm... anu Pak. Anu TDL itu. Tarif dasar listriknya saya berasa minta ampun di situ. Emang sih naiknya nggak seberapa, cuma kan orang receh seperti saya terasa banget jadi beban di punggung."

"Biasanya saya membayar enam puluh ribu setiap bulan, sekarang bisa sembilan puluh ribu setiap bulannya. Harusnya bisa buat kebutuhan lain, sekarang beberapa rupiah itu teralih buat bayar listrik."

"Satu lagi, Pak."

"Loh katanya cuma satu, Mas?"

"Iyaa berhubung kesempatanya cuma satu kali ini aja ngobrol sama Pak Presiden secara langsung. Jadi satu lagi ya, Pak?"

"Iya, Monggo..."

"Anu Pak, harga BBM. Harga BBM jangan naik-naik terus Pak. Kalo bisa ya turun terus harganya. Soalnya berpengaruh kesegalanya. BBM naik otomatis semua harga naik. Beras, sayuran, perabotan, rokok, kopi, sampe mie rebus di warung burjo juga naik."

"Ya, ya.. saya bisa mengerti. Nanti bisa saya bahas saat pertemuan." Jawabnya.

Tak terasa tempat yang kami tuju sudah sampai.

"Ongkosnya, 70 ribu kan? Ini saya kasih 200ribu. Pembayaran ongkos sepesial buat kamu ..., ehmm siapa nama kamu, Mas?"

"Marja, Pak. Istri satu, anak dua. Anak yang nomor dua sudah almarhum."

"Baik. Terimakasih banyak, Mas Marja."

"Siap, Pak. Jangan lupa ya Pak, keluh kesah saya tolong sampaikan ke menteri terkait."

Hari itu semakin sore. Karena sangat senangnya aku bisa bertemu dengan orang nomor satu di negara ini, bumi berputar terasa menjadi sangat cepat. Terlihat dari celah gedung-gedung bertingkat, matahari sudah berada di ufuk barat. Aku segera kembali ke rumah.

Sesampai rumah aku menceritakan kejadian itu pada istriku.

"Jadi seperti itu, Bu. Mungkin ini arti dari mimpi makan soto semalam."

"Loh, Pak. Kamu enggak sekalian mempertanyakan soal layanan kesehatan masyarakat receh seperti kita?"

"Nggak sempet, Bu..."

"Oh ya sudah, ayo kita makan. Sebentar Pak, aku siapkan."

Makanan sudah dihidangkan. Ada nasi, sambel terasi, teri, dan beberapa helai tempe goreng. Tak lupa juga segelas teh manis hangat.

Aku melihat dan mengambil sebuah tempe. "Ini tuh tempe atau tisu, Bu? Makin hari makin tipis aja."

Tak mau kalah, sambil mengeluarkan dompet Sumijah balik bertanya, "Ini dompet atau tisu, Pak? Makin hari makin tipis aja."

Sontak, mendengar jawaban itu kami tertawa dengan lepas. Bahagia dalam kesederhanaan yang amat sederhana ini.

***