Tahun 2018 Industri Sawit Tetap Memiliki Prospek yang Baik

Kamis, 1 Februari 2018 | 13:45 WIB
0
550
Tahun 2018 Industri Sawit Tetap Memiliki Prospek yang Baik

Pada refleksi 2017, kokoh dan bertahan di tengah badai. Inilah gambaran yang tepat untuk industri sawit Indonesia pada 2017. Tantangan dari berbagai sisi menghadang perkembangan industri sawit Indonesia, tetapi industri sawit Indonesia terus berbenah diri dan meningkatkan kinerjanya di berbagai aspek.

Pada 2017, Industri sawit Indonesia mencatatkan kinerja yang baik. Berdasarkan data yang diolah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), produksi CPO pada 2017 mencapai 38,17 juta ton dan PKO sebesar 3,05 juta ton, sehingga total keseluruhan produksi minyak sawit Indonesia adalah 41,98 juta ton.

Angka tersebut menunjukkan peningkatan produksi sebesar 18% jika dibandingkan dengan produksi tahun 2016 yaitu 35,57 juta ton yang terdiri dari CPO 32,52 juta ton dan PKO 3,05 juta ton. Sementara itu stock minyak sawit Indonesia pada akhir tahun 2017 adalah 4,02 juta ton.

“Sementara itu harga rata-rata CPO pada 2017 tercatat US$ 714,3 per metrik ton, meningkat 2% dibandingkan dengan harga rata-rata pada 2016, yaitu US$ 700,4 per metrik ton,” kata Sekretaris Jenderal GAPKI Togar Sitanggang, dalam jumpa pers GAPKI, Selasa (30 Januari 2018).

Berdasarkan data yang diolah GAPKI dari berbagai sumber (Kementerian ESDM, Kementan, Kemenperin, BPS, GAPKI, APROBI, GIMNI, APOLIN, AIMMI dan BPDPKS), ekspor minyak sawit Indonesia (CPO dan turunannya) tidak termasuk biodiesel dan oleochemical pada 2017 meningkat cukup signifikan.

“Yaitu sebesar 23% atau dari 25,11 juta ton pada tahun 2016 meningkat menjadi 31,05 juta ton pada 2017. Nilai sumbangan devisa minyak sawit juga meningkat seiring kenaikan volume ekspor dan harga yang cukup baik,” lanjut Togar Sitanggang.

Pada 2017 nilai ekspor minyak sawit Indonesia menembus 22,97 miliar dollar AS, meningkat 26% dibandingkan pada 2016 yang hanya mencapai 18,22 miliar dollar AS. Nilai ekspor minyak sawit pada 2017 ini merupakan nilai tertinggi yang pernah dicapai sepanjang sejarah ekspor minyak sawit Indonesia.

Pada 2017, hampir semua negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia mencatatkan kenaikan permintaan minyak sawitnya. “India mencatatkan kenaikan permintaan yang signifikan baik secara volume maupun persentase,” ujar Togar Sitanggang.

Sepanjang 2017, India meningkatkan permintaan minyak sawitnya menembus 7,63 juta ton atau naik 1,84 juta ton, naik 32% dibandingkan dengan tahun 2016 dimana total permintaan sebesar 5,78 juta ton. Ekspor ke negara-negara Afrika juga mencatatkan peningkatan 50% (2016 : 1,52 juta ton, 2017 : 2,29 juta ton).

Kenaikan terus diikuti oleh China sebesar 16% (2016 : 3,23 juta ton, 2017 : 3,73 juta ton), Negara-negara Uni Eropa naik 15% (2016 : 4,37 ton, 2017 : 5,03 juta ton), Pakistan naik 7% (2016 : 2,07 juta ton, 2017 : 2,21 juta ton), Amerika Serikat naik 9% (2016 : 1,08 juta ton, 2017 : 1,18 juta ton), Bangladesh naik 36% (2016 : 922,85 ribu ton, 2017 : 1,26 juta ton) dan Negara-negara Timur Tengah naik 7% (2016 : 1,98 juta ton, 2017 : 2,12 juta ton).

Sepanjang 2017, kekhawatiran akan adanya kebakaran lahan bisa diatasi dengan baik, hampir tidak ada kasus kebakaran di perkebunan kepala sawit. GAPKI dan perusahaan anggotanya telah melakukan berbagai upaya mencegah terjadi kebakaran lahan dan hutan (karlahut) di sekitar konsesi dengan pembentukan Desa Siaga Api di berbagai daerah.

Dan, sampai pada akhir 2017 telah tercatat lebih dari 572 Desa Siaga Api yang dibentuk oleh perusahaan anggota GAPKI dengan berbagai nama. Pelatihan antisipasi dan mitigasi karlahut juga dilaksanakan di berbagai daerah. Kegiatan ini akan terus ditingkat dan dilanjutkan untuk ke depannya.

Pada 2017 sejumlah masalah di dalam dan luar negeri yang dihadapi industri sawit nasional adalah sebagai berikut:

[caption id="attachment_9516" align="alignleft" width="526"] Pertemuan GAPKI (Foto: Mochamad Toha)[/caption]

Pertama, masalah ketidakpastian hukum terhadap HGU perkebunan tetap menjadi kekhawatiran paling besar disebabkan: Terbitnya PP 57/2017 dan peraturan turunannya; Penetapan kawasan hutan melalui SK-SK Penetapan Kawasan Hutan.

Kedua, Peraturan Daerah (Perda) yang kontraproduktif masih bermunculan di daerah-daerah.

Ketiga, kampanye negatif dari dalam dan luar negeri semakin gencar dilaksanakan LSM/NGO lokal dan asing terutama isu hak asasi manusia seperti child labour dan perampasan hak masyarakat adat.

Keempat, isu hambatan dagang juga bermunculan di berbagai negara seperti: a. Amerika Serikat yang memberlakukan antidumping untuk biodiesel Indonesia; b. Resolusi Parlemen Eropa menyebutkan pelarangan biodiesel berbasis sawit karena dinilai masih menciptakan banyak masalah dari deforestasi, korupsi, pekerja anak, sampai pelanggaran HAM; c. India menaikkan pajak impor minyak sawit dua kali lipat di tahun 2017 dibanding dengan tahun 2016; d. Senat Australia kembali mengajukan RUU Competition and Consumer Amendment (Truth in Labeling – Palm Oil).

Menurut Togar Sitanggang, hambatan perdagangan yang dilakukan oleh berbagai negara sangat ironis dengan kinerja ekspor yang masih meningkat cukup signifikan. “Hal ini menunjukkan bahwa minyak sawit masih merupakan minyak nabati yang sangat vital bagi dunia dan akan terus dibutuhkan seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat tiap tahunnya,” lanjutnya.

Berbagai upaya menghambat pertumbuhan industri ini akan terus dilancarkan karena persaingan dagang minyak nabati yang semakin ketat. Dalam kondisi seperti ini, kata Togas Sitanggang, pemerintah diharapkan lebih jeli lagi dalam melihat permasalahan dan dihimbau untuk tidak mengeluarkan regulasi-regulasi yang justru menghambat perkembangan industri sawit yang notabene saat ini merupakan mesin penghasil devisa terbesar dalam menyokong perekonomian Indonesia.

Prospek Tahun 2018

 

Pelaku usaha industri minyak sawit Indonesia khususnya GAPKI tetap optimis pada 2018 industri sawit Indonesia tetap memiliki prospek yang baik. Ini didukung dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin membaik.

Sesuai dengan kebijakan Pemerintah untuk meningkatkan investasi, meningkatkan ekspor khususnya ke pasar non tradisional, meningkatkan produktivitas nasional dan pengurangan kemiskinan serta kesenjangan ekonomi maka program kerja 2018 akan difokuskan pada:

Pertama, merawat pasar ekspor tradisional dan promosi minyak sawit Indonesia di pasar-pasar baru ekspor; Kedua, meningkatkan program kemitraan dengan petani sawit swadaya untuk replanting dan peningkatan produktivitas; Ketiga, Penguatan dan Percepatan Implementasi Sustainability/ISPO.

Keempat, penanganan hambatan perdagangan termasuk isu-isu negatif seperti: Antidumping biodiesel asal Indonesia oleh Amerika Serikat; Sawit dituding sebagai penyebab utama deforestasi masih akan tetap ada terutama di Uni Eropa; Rencana Negara Uni Eropa menghentikan program biodiesel dari minyak sawit pada tahun 2021; Persepsi negatif terhadap minyak sawit sebagai minyak nabati less healthier dan low quality di beberapa negara masih terus dibicarakan hampir di semua negara-negara pengimpor.

Kelima, penanganan isu-isu domestik seperti: Penanganan masalah lahan gambut dan pecegahan kebakaran lahan dan hutan; Penanganan masalah penetapan kawasan hutan; Sosialisasi kepada stakeholders tentang strategis dan pentingnya industri sawit.

***