Jangan terkecoh dengan judul tulisan di atas yang meminjam plesetan pribahasa "sebab nila setitik rusak susu sebelanga" itu. Tetapi, mari kita lihat niat mulia Gubernur Anies Baswedan memberi kesempatan hidup kepada makhluk hidup, meski ia "sekadar" penarik atau pengayuh becak. Lewat kebijakannya, Anies tidak sedang melanggar hak asasi manusia (HAM), tetapi sebaliknya, sedang memuliakannya.
Beberapa pekan belakangan kosa kata "becak" naik daun, sempat membuat sibuk Google atau Twitter untuk menempatkannya sebagai trending topic. Sama seperti kata "pribumi" mencuat ke permukaan, orang yang paling berjasa membuat kata-kata itu menjadi tren di media sosial cuma satu orang, yaitu Anies Baswedan.
Becak keberadaannya sudah dari tahun "jebot", boleh jadi jauh sebelum zaman kuda gigit besi, becak sudah wara-wiri di jalanan Ibukota Batavia. Tetapi hampir dipastikan, becak belum ada kala Jakarta masih bernama Sunda Kalapa. Di Jawa Barat, penarik becak disubut "Tukang Beca" (tanpa huruf "k" di belakang "beca") yang merujuk kepada pekerjaan seseorang. Di Jakarta penarik (lebih tepatnya pendorong) becak disebut "Abang Becak" dan di Makassar disebut "Daeng Becak".
Iin Parlina dari Grup Bimbo, meski besar dan tinggal di Bandung, tetapi saat menyanyikan lagu balada tentang para penarik becak ini menggunakan istilah Jakarta, yaitu "Abang Becak". Sebelum melaju ke cerita berikutnya lewat tulisan ini, mari kita rehat sejenak mendengarkan suara khas Iin Parlina ini!
[embed]https://youtu.be/B2nKWsR2D68[/embed]
Para gubenur zaman Soeharto berkuasa nyaris tanpa hati dan belas kasih kepada para tukang becak ini. Dengan alasan tidak manusiawi karena menerapkan pepatah Ciamis "eksploatasyiong delong parlong" (exploitation de l'homme par l'homme) nasib bacak terpuruk di dasar laut menjadi sekadar rumpon penghuni berjenis-jenis ikan yang menjadi tangkapan nelayan. Saat itu pemerintah beralasan, becak lebih baik dirumponkan karena meningkatkan kesejahteraan nelayan.
Para tukang becaknya tentu saja tidak turut dirumponkan, mereka dikembalikan ke daerah asal seperti Indramayu, Karawang, Cirebon atau ke beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka diminta mencari pekerjaan yang lebih manuasiawi lagi, pekerjaan yang tidak mengeksplotasi tenaga manusia untuk memanjakan manusia lainnya.
Kini dengan lahirnya gubernur baru di DKI Jakarta yang berpaling kepada hak asasi manusia di mana becak boleh hidup kembali -semoga tidak ada inisiatif mengangkat lagi rumpon dari dasar lautan- maka berbondong-bondonglah para mas-mas becak atau tukang becak kembali ke Ibukota.
Di Ibukota perputaran uangnya luar biasa kencang, mumpung gubernurnya bagian dari hati rakyat Indonesia, bukan sekadar warga Jakarta saja, mereka ingin merasakan manisnya Ibukota.
Mereka ini tentu saja bukan pemilik becak yang dulu dirumponkan pada masa gubernur Wiyogo, Surjadi atau Sutiyoso, buktinya tidak ada yang berinisiatif mencari dan mengambil becak yang dulu dirumponkan ke dasar laut. Mereka ini boleh jadi anak atau bahkan cucunya, yang karena persoalan sosialogis, anthropoligis dan ekonomis, mereka hanya bisa bekerja sebagaimana nenek moyangnya bekerja. Pelaut ya melaut, tukang becak ya menarik becak.
Nah, para keturunan penarik becak masa lampau itu kemudian datang ke Jakarta untuk menarik becak. Mungkin tidak sekadar bernostalgia atas apa yang nenek-moyang mereka lakukan sebelumnya, bahkan di antara mereka yang menyerbu Jakarta dengan becak yang diangkut truk itu baru pertama kali datang ke Jakarta. Alasannya sederhana, mengayuh becak di mana-ya mana sama saja, yang penting punya tenaga. Apalagi wakil gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno berbaik hati bakal ngasih pelatihan cara menggenjot becak yang benar.
Gubernur Anies tidak menutup mata atas kehadiran para penarik becak baru yang datang ke Jakarta. Seyogyanya ia berbahagia, sebab programnya disambut antusias rakyat kecil di luar warga Jakarta, ini modal yang cukup buat nanti mencalonkan diri sebagai Presiden RI, bukan? Bahwa Jakarta buat semua orang dan semua orang berhak hidup di Jakarta sebelum Ibukota dipindahkan paksa (kemungkinan) ke Samarinda (sama gue aje kali hehehe...).
[irp posts="9044" name="Anies Baswedan Bikin Gemes, Mata Najwa Menggemaskan"]
Elektabilitas dan popularitas Anies sudah otomatis akan otomatis naik tajam selihai merayapnya monyet yang dilatih memetik kelapa. Jadi, alangkah kecewanya para tukang, mas, daeng dan abang-abang becak yang telanjur datang ke Jakarta harus dipaksa pulang kembali ke daerah asalnya. Alasannya jitu, para penarik becak asli Jakarta (di sini Anies tidak menggunakan istilah "pribumi"), menolak kedatangan para penarik becak pendatang baru.
"Mereka datang ketahuan terus pulang dan apa yang terjadi becak-becak yang di sini pun menolak jadi kita cepat dapat laporan karena becak yang berada di sini pun tidak menghendaki kedatangan becak baru," jelas Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat 26 Januari 2018 sebagaimana diberitakan sejumlah media online.
Nah, jangan sampai para tukang becak pribumi asli Jakarta mengadakan revolusi penolakan, Dinas Perhubungan DKI Jakarta bersama dengan Serikat Becak Jakarta (Sebaja) kini sedang mendata becak-becak yang ada di Ibu Kota. Buat apa didata? Untuk diberi stiker. Jadi nantinya akan ada "becak pribumi" dan "becak nonpri". Yang "nonpri" terpaksa dikembalikan dan kalau tetap membandel menggunakan cara Soeharto, dirumponkan!
Lebih mengenaskan lagi, para penarik becak yang datang ke Jakarta dari Indramayu dan Cirebon, bakal dipulangkan kembali ke Jawa Barat. Bahkan Anies mengatakan keberadaan mereka sudah ditindak oleh Satpol PP. Becak-becak malang yang layu sebelum berkembang itu sudah diamankan dan akan dikembalikan ke daerah asalnya.
[caption id="attachment_9240" align="alignright" width="554"] Yani Wahyu Purwoko (Foto: Inilah.com)[/caption]
Kebijakan manusiawi yang sarat dengan nuansa HAM dan keberpihakan nyata pada rakyat kecil itu kesannya justru merepotkan Anies sendiri. Jangan dihitung pontang-pantingnya Kepala Satpol PP DKI Jakarta Yani Wahyu Purwoko yang kini tidak bisa istirahat tenang. Yani bersama timnya harus selalu menggagalkan masuknya becak-becak dari sejumlah daerah yang dibawa ke Jakarta dari hari ke hari.
Menurutnya Yani, becak dari luar daerah itu dengan mudah bisa ditemukan di wilayah Jakarta Barat seperti Bandengan, Pekojan dan Tambora. Padahal Jakarta itu ada Selatan, Timur, Utara, dan Pusat. Yani dan bossnya, Anies, bisa sedikit tertolong karena becak pendatang baru tidak mungkin berseliweran di Kabupaten Kepulauan Seribu!
[irp posts="8938" name="Sudah Tepat Anies Batalkan Pembuatan Lift di Rumah Dinasnya"]
Tetapi bukan Anies Baswedan kalau tidak mahir berwacana. Sudah ada selentingan yang ditiupkan bahwa kehadiran para penarik becak di Jakarta dari daerah itu sebagai hasil kerjaan para "kecebong" dan pendukung yang kalah pada Pilkada DKI Jakarta tempo hari. Jadi, diri Anies dan para "kampret" pendukungnyalah yang ketiban sial.
Kalau sudah begini, Anies seperti bermain bumerang. Istilah backfire mungkin terlalu kasar toh meski tembakan berbalik ke arahnya, ia tidak akan "mati" dengan kebijakannya itu. Padahal kalau saja Anies mendengar usulan politikus Nasdem Ahmad Sahroni yang menilai becak lebih baik berada di tempat wisata seperti Ancol, Ragunan dan Taman Mini, ia mungkin tidak akan kerepotan sendiri.
Ya kerepotanlah, sebab kalau didiamkan 100 hari ke depan saja, Jakarta akan dipenuhi para abang becak abang becak yang kata Iin Parlina "di tengah jalan cari muatan untuk mencari makan". Sekarang, becak sudah berani melenggang di jalan protokol MH Thamrin dan Jenderal Sudirman.
Genjoooootttt, Bang!
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews