Mantap kalipun kutengok! Tapi acama pulak Sumut bisa kayak gitu?
Pemilihan gubernur Sumatera Utara jadi perhatian besar di negeri ini. Ada tiga hal yang bikin geger di persiapan Pilkada Sumut, pertama faktor adanya jenderal berstatus masih dinas aktif yang jadi calon (konon saat akan mundur dari TNI). Kedua, faktor Djarot yang "bukan Putera Daerah" "berani-beraninya" ikut mencalonkan diri. Ketiga, faktor pejabat gubernurnya berasal dari petinggi kepolisin yang masih aktif berdinas.
Sumatera Utara merupakan salah satu daerah di luar pulau Jawa yang pejabat gubernurnya merupakan petinggi kepolisian yang masih aktif. Hal ini tak seperti umumnya pejabat gubernur berasal dari kalangan birokrat Kemendagri.
Nama yang disebut-sebut akan menduduki kabatan itu adalah Kadiv Propam Polri yaitu Irjen Pol Martuani Sormin. Beliau dianggap paham dengan karakteristik wilayah Sumut.
Penunjukan pejabat gubernur dari kalangan kepolisian itu memunculkan polemik tersendiri di kalangan elit politik nasional dan publik awam. Tentu saja Kemendagri tidak akan ceroboh sebelum mengambil kebijakan tersebut. Sebagai lembaga yang berwenang penunjuk pejabat gubernur, tentu Kemendagri sudah memperhitungkan landasan peraturan dan hukumnya.
Polemik muncul lebih kepada persoalan "psikologis" publik saja, apalagi tak semua orang awam paham peraturan yang berlaku. Orang awam tahunya polisi dan TNI tidak boleh menduduki jabatan sipil selagi masih aktif. Menjadi "pejabat gubernur" dianggap "berpolitik"--yang "haram" bagi TNI/Polisi aktif. Padahal, sebagai abdi negara, keduanya bisa dan harus siap ditugaskan di manapun.
Posisi "pejabat gubernur" bukanlah jabatan politik dari hasil pemilihan umum daerah (Pilkada). Hal tersebut berbeda dengan Gubernur defenitif yang dipilih lewat Pilkada secara demokratis. Pejabat gubernur merupakan penunjukan oleh pemerintah pusat dengan pertimbangan tertentu terkait berbagai hal penting dan sensitif di wilayah tersebut.
Berdasarkan pemahaman peta masalah dan pertimbangan karakteristik Sumut terkini itulah Kemendagri menunjuk jenderal polisi aktif sebagai 'pejabat gubernur' yang sifatnya sementara sampai Gubernur sesungguhnya dipilih secara demokratis dan resmi dilantik.
Terkait majunya Pangkostrad Edy Rahmayadi (jenderal aktif) mencalonkan diri di Pilgub Sumut awalnya jadi polemik tersendiri. Setelah era reformasi, hampir tidak ada petinggi TNI yang lepas jabatan dan baju dinas demi merebut kursi kepala daerah. Umumnya jenderal TNI aktif berebut jadi Kepala Staf Angkatan atau jabatan Panglima TNI. Lalu, ada apa dengan Edy Rahmayadi? Apakah hanya karena panggilan 'ibu pertiwi' sebagai putera daerah? Hanya dia lah yang tahu. Dan publik hanya bisa menduga-duga dengan beragam interpretasi dan persepsinya.
Majunya Djarot Syaiful Hidayat -mantan gubernur DKI era Ahok- juga bikin geger. Dia dianggap "orang luar" yang hanya coba-coba "anu nasib" merebut kursi Sumut 1.
Sebagian kalangan pengamat dan publik menganggap Djarot hanya buang-buang waktu dan energi saja. Dia tidak akan terpilih karena "bukan Putera Daerah" dibandingkan calon lainnya yakni Edy Rahmayadi (etnis Melayu) dan JR Saragih (Etnis Batak). Bahkan isu terkini, salah satu Putera daerah itu "sudah pasti menang".
Aiii...aii, ngeri kalipun Sumut ini!
Konstelasi "Putera Daerah" inilah yang jadi isu utama keterpilihan seorang gubernur di Sumut. Pertanyaannya adalah, putera daerah Sumut yang (etnis) mana? Seberapa hebat putera daerah Sumut pernah mampu membuat pembangunan daerahnya menggema di kancah nasional? Mana bukti putera daerah Sumut yang namanya populer karena berhasil jadi Gubernur membangun Sumut setara atau melebihi keberhasilan provinsi di pulau Jawa?
Edy Rahmayadi merupakan putera daerah Sumut beretnis Melayu yang bersatus Calon Kepala Daerah. Dia belum punya prestasi apapun jadi pemimpin daerah.
Bahkan saat memimpin organisasi PSSI yang notabene organisasi non militer, dia bikin "blunder" terkait beberapa pemain nasional yang dikontrak klub Malaysia. Timnas sendiri belum berpretasi yang diharapkan publik bola. Carut marut soal pelatih timnas nasional hingga kini belum jelas dan masih tanda tanya publik. "Abang urus PSSI aja belom beres, acamana pulak mau urus Sumut?" Hal ini jadi catatan minus seorang Edy Rahmayadi.
Calon Gubernur Sumut lainnya, yakni JR Saragih dari etnis Batak. Dia merupakan tokoh daerah Sumut namun namanya relatif belum bergema di tingkat nasional. Sebagai tokoh daerah, belum ada ide dan karya besarnya yang membawa nama Sumut dibicarakan secara positf di kancah nasional.
Sementara calon ketiga yakni Djarot "si bukan putra daerah" tak diragukan lagi pengalaman dan kemampuannya memimpin dan mengelola daerah. Dari yang "tidak ada apa-apanya" menjadi daerah yang dibicarakan secara positif. Dari jabatan Walikota Blitar sampai Wagub DKI. Membicarakan prestasi Djarot sebagai kepala daerah akan banyak hal yang bisa dipaparkan. Ini modal kuat dia untuk bertarung di Sumut.
Membicarakan kostelasi putera daerah Sumut jadi gubernur, maka bisa sejenak tengok kebelakang. Dua gubernur Sumut terdahulu tersangkut KPK saat masih aktif menjabat. Mereka (Gatot Pudjo Nugroho dan Syamsul Arifin adalah dua putera daerah Sumut. Demikian juga bila melihat hasil pembangunan yang sudah dicapai hingga saat ini. Sebagai contoh, jalan-jalan dan infrastruktur di kota Medan saja masih banyak yang hancur-- sehingga dikabarkan Jokowi sempat jengkel "marah-marah".
Pembangunan kota memang wewenang walikota, namun tentunya Gubernur selaku pemimpin tertinggi di daerah punya kewenangan mengarahkan sang walikota untuk melakukan langkah pembangunan terbaik di wilayahnya. Namun toh hal itu tidak tampak hingga sampailah berita tentang rusaknya infrastruktur jalan mencuat di pemberitaan nasional. "Acamana pulak ini ?"
Bila konstelasi putera daerah diutamakan, maka suara pemilih putera daerah akan pecah antara Edy Rahmayadi dan JR. Saragih. Pecahnya suara ini akan menguntungkan posisi Djarot untuk meraih suara pemilih "rasional" yang menginginkan pembangunan Sumut ditangan orang yang paham dan pengalaman memimpin daerah. Mereka ingin Sumut maju sesuai tata kelola yang sebenarnya. Mereka tak ingin terjebak terlalu lama oleh preseden putera daerah namun tak juga bikin pembangunan Sumut hebat secara fisik dan tata kelola. Sebagian dari mereka juga adalah putera daerah Sumut beretnis Jawa yang nenek moyangnya sama dengan Djarot!
Satu hal lagi, Djarot bukan orang luar murni, wakilnya Sihar Sitorus adalah putera daerah asli yang punya rekam jejak baik. Dia putera pengusaha DL Sitorus yang dihormati banyak orang Sumut. Kepemimpinan Sumut kelak adalah satu paket, yakni gubernur dan wakil gubernur. Ini model kepemimpinan Djarot yang akan menampilkan peran wakilnya tak kalah dengan Djarot sendiri. Ini point penting yang tak dimiliki calon lainnya.
Tambah satu lagi bang! Apa itu? Anu bang, pengaruh Jokowi yang sudah 'jadi orang Batak' sejak dia punya menantu dan besan orang Batak. Figur Jokowi dan kedekatkannya dengan Djarot bisa jadi jalan mulus hubungan gubernur-presiden. Spirit membangun Jokowi bisa cepat ditularkan ke Djarot/Sihar Sitorus. Bah! Bisa bakal banyak kali pun proyek ke Sumut.
Jadi lae, kau jangan sekali-kali sepelekan Djarot, bah!
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews