Tentang Putri Solo

Jumat, 26 Januari 2018 | 07:20 WIB
0
3253
Tentang Putri Solo

Status ini masih berkaitan dengan status saya sebelum ini, tentang serial Postcard (PS) tempo doeloe, sekira tahun 1910-an yang dicetak oleh Penerbit Tan Bie Djie Djocja. Saya memang menyisakan satu pertanyaan dasar tentang perbedaan aura kecantikan antara perempuan trah Mataram, khususnya antara wanita Sala dan Djogja. Sebenarnya lebih tepat ditulis sebagai Putri Solo (sic!) dan Kenya Djogja.

Kenya itu sebuatan anonim dari kata "gadis", artinya posisnya linier: sesama perawan thing-thing. Saya tidak tahu kenapa kata "putri" jauh lebih melekat pada orang Sala, daripada Djogja? Sehingga untuk ngangkat gengsi orang Djogja sering menyebut anak gadis mereka sebagai "diajeng". Yang belakangan jadi ikon "putri-putri-an" dengan ajang Dimas-Diajeng itu.

Mungkin ini, watak inferioritas orang Jogja kepada orang Sala, dalam masalah kecantikan. Bagi orang Jawa sendiri, terdapat banyak sekali perbedaan teks perihal ini, mereka sering ribet dengan pemilahan kata cantik, ayu, manis, kenes, canthas, dan lain-lain. Padahal yang intinya sama menunjukkan daya tarik khusus yang dimiliki seorang wanita.

Inipun masih diperumit bagaiaman mereka menyebut kata perempuan dengan pembedaan antara wadon, estri, dan wanita. Bertingkat-tingkat yang kadang-kadang menurut selera dan emosi situasional dari seseorang dalam memandang wanita pada saat itu juga. Catat saat itu saja!

Dalam konteks Putri Solo saya pikir ada suatu hiperbola yang sungguh luar biasa dibandingkan wanita etnis Jawa dari daerah-daerah lainnya di mana pun. Dalam sebuah lagu, yang kebetulan juga dijuduli "Putri Solo" (yang kemudian bahkan dibuatkan film-nya pada tahun 1950-an) ada sebuah metafora yang menurut saya di luar relatif kebenarannya, tapi paling cocok, puitis, sekaligus melodius.

Dikatakan bahwa "Putri Solo, mlakune kaya macan luwe", berjalannya seperti harimau lapar. Harimau yang anggun, kuat, galak, tetapi sekaligus lemah lembut. Tapi ia disindir sedemikian hakusnya ibarat harimau lapar. Klemak-klemek ning gampang nyathek (gontai tapi siap menerkam). Di bait awal dengan tegas dikatakan putri Solo, ayune kepara nyata. Sialan! Jadi, di sini keayuan orang Solo itu sudah dimitoskan awalnya, dan kemudian jadi nyata akhirnya.

Dalam konteks ini, saya selalu percaya pada mitos bahwa putri Sala itu ahlinya membuat patah hati seoarang pria. Jika tidak percaya coba tanyaka pada Sri Sultan Hamengku Buwana IX, Sutan Syahrir, bahkan Presiden Soekarno yang secara bersama-sama patah hati oleh seorang putri bernama Gusti Nurul. Dialah legenda kecantikan putri Solo, yang dapat dianggap simbol persemawaan ketradisionalan sekaligus kemodernan seoarng putri Jawa.

Alih-alih menerima pinangan raja, presiden, atau perdana menteri negara sebesar NKRI, ia lebih memilih tentara biasa yang di ujung kariernya "hanya" berpangkat Kolonel. Ia adalah legenda wanita Jawa modern yang akan selalu dikenang. Dan saya sepakat!

Kembali ke konteks postcard, ada sebuah karya yang karena mitos tersebut yang meerupakan pelopor foto model era awal, yang menurut saya terbaik sepanjang masa. Sebuah foto hitam putih karya Kasian Chepas, yang kemudian dalam format kartu pos dijadikan Full Colour melalui proses colouring. Ia diberi judul Vrouw uit Solo (Putri dari Solo), padahal ia adalah orang asli Jogja yang dipotret di studio Foto Chepas di kawasan Lodji Kecil, yang juga di Jogja.

Tapi untuk mengangkat pemasarannya ia dijuduli demikian, dan sialnya itu dipercaya benar, berhasil secara pasar dan justru sungguh jadi mitos kecantikan wanita Solo. Padahal kalau dilihat secara katuranggan (dalam istilah modern bahasa tubuh), antara Jogja dan Solo sama sekali beda.

Secara fisik putri Jogja lebih bulat (cenderung oval), bandingkan dengan orang Solo yang lebih tirus. Wanita Jogja lebih canthas, lebih banyak bergerak dibanding wanita Solo yang lebih melambai tapi anggun. Sorot matanya, orang Jogja terasa lebih tajam, dibanding orang Solo yang lebih sayu tapi merayu.

Ah, terlalu panjang pembanding, tapi singkat kata saya setuju Putri Solo lagak langgam-nya kaya macan luwe. Ia sebagaimana anggapan umum mudah membuat pria patah hati.

Perbandingan ini, sekali lagi hanya dari kacamata bagaimana dahulu di masa kolonial kedua daerah ini saling mempersepsi. Konon dulu anak raja atau bangsawan Jogja lebih sulit memperistri Putri Solo, dibanding anak raja Surakarta bila mereka ingin memperistri diajeng Jogja. Saat ini, hubungan seperti ini sudah terlalu cair di Kraton Djogja tidak ada satu diajeng anak HB X yang bahkan ingin diperstri anak Raja Surakarta, bahkan mereka memilih menurut selera masing-masing, yang terkadang sungguh absurd!

Pun demikian pula banyak putri Solo yang jatuh hati ke pria dari tanah manca, bahkan manca negara. Hari-hari ini, pilihan selera dan kemerdekaan pribadi adalah panglima!

Untuk teman-teman yang penasaran, tak tulis ndak kalian jadi hantu!

***

Editor: Pepih Nugraha