Saya tidak tahu persis berapa persentase kesukaan masyarakat Indonesia terhadap Jokowi, setelah lebih tiga tahun menjabat sebagai presiden, sejak November 2014. Bisa jadi, kesukaan (beda dengan popularitas, berbeda juga dengan kecintaan) mantan Walikota Solo dan mantan Gubernur DKI ini menurun, bisa jadi juga meningkat, atau bahkan stagnan di angka sekitar 50 persen sebagaimana hasil survey National Institutet For President, November 2016.
Saya juga tidak rahu persis, apakah Jokowi akan kembali mencalonkan diri menjadi presiden pada tahun 2019 mendatang. Yang jelas, jika beliau mencalonkan diri kembali sebagai presiden dengan sepopuler apapun pasangan calon wakil presidennya (maaf bagi para pendukung dan simpatisan), nasib Jokowi akan sama dengan nasib Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok.
[irp posts="8580" name="Mengapa 6 Golongan Ini Selalu Menuding Jokowi Anti Islam?"]
Ada beberapa catatan serius yang bisa dijadikan pijakan dan referensi, terutama hasil penelitian yang saya lakukan antara tahun 2008-2009. Penelitian yang kemudian saya jadikan tesis itu mendapat "reaksi" dari sejumlah tim penguji Universitas Indonesia (almamater saya) seperti dari Prof Aloysius (ahli rekonsiliasi), alm Prof Sasa Djuarsa (ahli komunikasi) serta DR Effendi Ghazali (ahli komunikasi politik).
Tesis yang sangat sederhana itu sebenarnya, namun penggarapannya cukup melelahkan, karena sample atau responden yang saya ambil secara acak itu berasal dari berbagai tingkatan sosial ekonomi dan tingkatan pendidikan, mulai dari laki/ perempuan yang tidak bersekolah hingga responden yang memiliki gelar doktor.
Tesis itu membahas soal stigma, label, cap seorang kandidat atau calon kandidat. Tesis itu hampir mengarah pada kebenaran, karena pada Pemilu 2009, Susilo Bambang Yudhoyono menjadi pemenang, mengungguli pesaingnya seperti Wiranto dan Prabowo.
Joko Widodo atau Jokowi, sejak setahun belakangan ini mendapat kecaman, cap, label atau stigma yang sangat-sangat negatif. Beberapa catatan penting dari stigma itu adalah:
1. Jokowi distigma sebagai tokoh yang membela dan melindungi Ahok. Sementara stigma yang melekat di dalam diri Ahok adalah Penista Agama. Jokowi kemudian di stigma sebagai pembela dan pelindung penista agama.
2. Jokowi diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai yang identik dengan Keluarga Megawati ini dinilai kalangan kelas menengah keatas menjalankan kebijakan otoritarian sehingga keberadaan Jokowi sebagai presiden hanya sebagai simbol atau boneka kecil yang bisa digendong ke mana-mana.
3. Di kalangan militer, Jokowi dinilai sebagai Presiden yang pro pada komunis, karena secara tidak langsung Jokowi, setuju dengan upaya untuk mengusut kembali sejarah dan dugaan pembunuhan tokoh-tokoh komunis di jaman itu. Kita sangat memahami militer adalah institusi yang tidak pernah kompromi dengan komunis atau komunis gaya baru.
4. Presiden Jokowi melakukan kerjasama ekonomi dan politik dengan negara-negara Tiongkok atau Korea Selatan. Presiden mengabaikan hubungan bilateral dengan negara-negara Islam seperti Arab Sudi, Irak atau yang negara-negara organisasi Islam (OKI).
5. Presiden Jokowi lebih memilih sebagian besar pejabat negara/setingkatnya dari kaum minoritas (kristiani) ketimbang dari kalangan muslim. Stigma ini memang mengarah ke SARA, tapi memang begitulah caranya.
[irp posts="8541" name="Setelah Tiga Tahun Kepemimpinan Jokowi"]
Dari lima stigma, label, cap di atas akan semakin meruncing hingga menjelang pemilu presiden, apalagi kalau stigma-stigma itu dijadikan isu kampanye atau bahkan black campaign dan disebarkan ke mushola-mushola atau mesjid. Dengan demikian, saya harus menyatakan nasib Jokowi akan sama atau lebih buruk dari Ahok, kalau dalam pertandingan.
Namun demikian, masih ada waktu untuk ke luar dari stigma itu. Asal saja Jokowi dan tim suksesnya membaca sebagian dari kesimpulan tesis saya itu.
Terima Kasih.
***
Editor: Pepih Nugraha
Catatan serius sebelumnya:
http://pepnews.com/2018/01/18/catatan-serius-untuk-presiden-joko-widodo-1-dua-jenderal-baru-tni-di-istana/
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews