Sweeping di Pamekasan Madura oleh Laskar Pembela Islam

Kamis, 25 Januari 2018 | 08:46 WIB
0
642
Sweeping di Pamekasan Madura oleh Laskar Pembela Islam

Sweeping yang dilakukan oleh Laskar Pembela Islam (LPI), kelompok milisi di bawah naungan Front Pembela Islam (FPI), di Pamekasan Madura nyata-nyata tindakan melawan hukum. Tindakan vigilante yang mendapat perlawanan dari masyarakat setempat tersebut telah mengakibatkan jatuhnya korban luka-luka akibat tindak kekerasan, mulai dari pemukulan dengan pentungan hingga penyiraman air cabai.

Selain itu, tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh LPI-FPI tersebut telah mengakibatkan trauma di kalangan anak-anak dan perempuan.

Atas kejadian tersebut, SETARA Institute mengingatkan kepada pemerintah dan publik tentang beberapa hal berikut:

Pertama, tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh LPI-FPI semakin menegaskan watak kekerasan yang tidak beradab yang ditampilkan secara berpola dan konsisten oleh FPI.

Kedua, FPI, sebagaimana kelompok-kelompok laskar vigilante lainnya selalu memanfaatkan masyarakat sebagai objek untuk menunjukkan eksistensi dan daya tawar diri mereka, terutama dalam perhelatan politik yang mulai menghangat di Jawa Timur.

Ketiga, kelompok-kelompok kekerasan ini seringkali menggunakan tameng agama dan klaim mewakili aspirasi mayoritas muslim dalam melakukan tindakan-tindakan organisasional untuk kepentingan mereka sendiri. Padahal umat Islam di Indonesia pada umumnya mengimani Islam yang berorientasi rahmatan lil ‘alamiin, termasuk umat Islam di Madura.

Keempat, impunitas atau ketiadaan tindakan hukum yang memadai dan menjerakan dari pemerintah atas aksi-aksi mereka di berbagai tempat telah mengundang pengulangan tindakan oleh FPI dan laskar-laskar keagamaan lainnya. Ketiadaan hukuman itu selalu mengundang kejahatan yang lebih besar (impunitas semper ad deteriora invitat).

Oleh karena itu, SETARA Institute mendesak;

1) pihak kepolisian untuk mengambil tindakan hukum yang memadai dan menjerakan kepada pelaku sweeping brutal di Pamekasan Madura,

2) pemerintah untuk memberikan tindakan hukum secara organisasional kepada FPI dan ormas-ormas milisional lainnya yang secara berpola melakukan tindak kekerasan, tindakan melawan hukum, dan aksi main hakim sendiri,

3) para politisi yang sedang berkompetisi dalam perhelatan Pilkada dimana pun untuk tidak memanfaatkan kelompok-kelompok tersebut untuk bertindak sebagai “polisi moral” yang seringkali mengatasnamakan dan mengklaim sebagai representasi aspirasi mayoritas demi kepentingan menghimpun suara (vote getting).

Sebaliknya, partai politik dan kontestan hendaknya bertindak positif mempromosikan toleransi dalam kampanye elektoral dengan mengusung politik kebangsaan melalui tawaran gagasan dan program yang kondusif bagi toleransi dan kebinekaan.

***

Editor: Pepih Nugraha