Ini nggak ada hubungannya dengan zoon politicon-nya Aristoteles. Ini binatang beneran yang mendadak tenar setelah Pilpres 2014. Elektabiltas yang dimaksud adalah keterpilihan nama binatang yang kerap disebut oleh warganet dalam konotasi negatif tentu saja. Baik dalam skala nyinyir kelas wahid maupun kelas buncit.
Keterbelahan masyarakat setelah pilpres 2014 ditandai dengan sebutan Jokower di satu pihak dan Prabower di pihak lain. Nama binatang mulai masuk setelah Pak Jokowi memamerkan kegemarannya memelihara Kodok. Mendadak Kodok menjadi populer.
Medsos yang memang sifat dasarnya adalah nyinyir menemukan istilah baru bagi Jokower. Anak Kodok, kecebong ikut terangkat namanya. Kecebong disematkan bagi Jokower. Elektabilitas Kecebong meroket. Berdasarkan survey BRTS (Bang Rojak Tukang Surpe) prosentase Kecebong 70 persen, Kodok 30 persen.
Tentu saja Jokowers tidak tinggal diam. Waktu itu parpol masih terbagi dalam dua koalisi besar. Koalisi Merah Putih di kubu Pak Prabowo, dan Koalisi Indonesia Hebat di kubu Pak Jokowi. Nah, Koalisi Merah Putih (KMP) oleh Jokowers dipelesetkan singkatannya menjadi Kampret. Mulailah nama Kampret merangkak naik menyalip elektablitas Kodok, tapi tetap belum bisa menyalip Kecebong.
Hasil Survey BRTS, urutan pertama dengan perolehan 50 persen dipegang oleh Kecebong. Kampret urutan kedua, 35 persen. Kodok terpuruk di angka 15 persen.
Tentu saja Jokowers tidak puas. Mereka kembali menggali cerita masa pilpres berlangsung. Waktu itu Pak Prabowo dikenal gemar memelihara kuda kualitas kelas wahid. Dalam satu kampanye akbar, Pak Prabowo nampak gagah menunggang kuda. Jokowers berusaha memasukan Kuda dalam kontestasi Pilnyium (pemilihan nyinyiran umum ) tapi sayangnya gagal. Kuda kalah bersaing dengan Kecebong, Kampret dan Kodok.
Setelah dua koalisi besar bubar. Parpol-parpol KMP antri di depan Istana minta jatah menteri dibalut dengan kata-kata manis, dukungan tanpa syarat, menyisakan Gerindra dan PKS, Kampret kehilangan legitimasinya. Elektabiltasnya langsung melorot di angka 5 persen.
Kegaduhan politik terus berlanjut di arena Pilkada DKI. Karena Jokower otomatis Ahoker, maka muncul binatang Onta. Bermula dari aksi dua satu dua (212) yang bikin geger seantero republik ini, bahkan sampai ke negeri seberang. Peserta aksi dua satu dua dianggap kearab-araban, maka itu dinyinyirin sebagai Onta. Elektabiltas Onta mulai melesat menenggelamkan Kampret bahkan Kodok. Hasil survey BRTS, Kecebong 50 persen, Onta 45 persen, Kodok 5 persen.
Di tengah kegaduhan Pilkada DKI muncul isu keberpihakan polisi pada petahana. Mulailah muncul binatang Wereng Coklat. Kehadiran Wereng menenggelamkan popularitas Kodok. Hasil survey membuktikan, Kecebong 45 persen, Onta 40 persen, Wereng 15 persen.
Ada satu lagi binatang yang mendadak populer, Kambing. Bermula dari Pak Jokowi ngevlog kelahiran Kambing kesayangannya. Tapi popularitas Kambing tidak bertahan lama, itupun tidak sampai di angka 10 persen.
Seiring dengan berjalannya waktu, entah apa yang terjadi hanya menyisakan Kecebong dan Onta, tapi elektabiltas Onta jauh di bawah Kecebong. Bahkan kakak beradik putra Pak Jokowi dengan bangga menyebut dirinya kolektor kecebong. Adiknya malah menjual kaos kreasinya bertema Kecebong.
Setelah ribut-ribut soal kencing Onta, elektabilitas Onta mulai merangkak naik. hasil survey BRTS terakhir, Kecebong 75 persen, Onta 25 persen.
Kalau saja, misalnya, seumpama Arsitoteles hidup lagi, barangkali dia akan menulis teori Oon Politicon.
24012018
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews