Ujug-ujug Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bilang, pemerintah jangan sering kriminalisasi ulama. Tujuannya agar statemen itu mendapat simpati publik. Namanya juga politisi.
Padahal yang terjadi adalah seseorang bertindak kriminal dan dia terkena kasus hukum. Hanya kebebetulan profesinya sebagai tukang ceramah agama. Jadi yang terkena kasus hukum adalah perilaku kriminalnya. Bukan profesi tukang ceramahnya.
Sama kayak guru agama yang mencabuli muridnya. Atau orang yang ngajak ngeseks perempuan lain di kandang kambing. Dia terkena hukuman. Apakah karena dia guru agama lalu dihukum? Gak gitu dong. Dia dihukum karena cabul. Itu saja.
Jadi kriminalisasi ulamanya di mana?
Tapi kenapa SBY mau capek-capek ngomong begitu? Sebab sebagian rakyat punya penyakit, mereka hanya ingin mendengar sesuatu yang disukai. Ketika slogan 'Jangan Kriminalisasi Ulama' dikampanyekan untuk membela orang yang terkana kasus kriminal, seolah itu adalah pembelaan terhadap agama. Semacam sedang berjihad murah meriah. Wong, cuma membela dengan menulis status di FB.
Padahal, mereka itu cuma membela para kriminal saja. Kebetulan --sekali lagi kebetulan-- profesi para kriminal yang dibelanya adalah tukang ceramah.
Nah, SBY ngomong begitu karena mau ambil simpati orang-orang jenis begini. Barangkali banyak juga hitungannya. Apalagi dalam sistem politik kita, suara seorang profesor nilainya sama dengan suara seorang laskar nasi bungkus.
Jadi gak penting omongannya itu berdasarkan fakta atau pikiran sehat atau malah mengaburkan masalah. Yang penting dapat keplok tangan dan simpati publik.
Kemarin Zulkifli Hasan juga bicara soal UU LGBT yang katanya didukung oleh beberapa partai di DPR. Heran kan? Mana ada RUU LGBT dibahas di DPR? Tapi ketua MPR ini sibuk melemparkan wacana seolah beneran ada pembahasan tersebut di DPR.
Apa tujuannya? Sama saja. Agar dapat keplok tangan dari penentang LGBT. Meskipun faktanya bukan demikian. Wong gak ada pembahasan UU soal LGBT, kok.
Lagi pula, saat pembahasan konten RKUHP yang salah satunya membahas soal pornografi, PAN malah tidak hadir dalam sidang. Kenyataanya malah 8 fraksi sepakat mempidanakan LGBT. Kok, ketua PAN malah menuding sebaliknya?
Iya sih, menurut survei isu LGBT paling dibenci oleh publik. Makanya Zulkifli memainkan isu itu. Seolah sedang berjuang sendiri menghukum kaum LGBT. Padahal mah, semua juga sudah sepakat. Gak ada satu partaipun yang menentangnya.
Ada lagi. Felix Siauw menulis, bahwa umat Islam di Indonesia sedang susah karena dihambat menjalankan agamanya. Dia menulis orang pakai jilbab di Indonesia dituduh teroris. Orang pakai baju terbuka dianggap budaya lokal.
Eh, buset. Kayaknya tiap hari kita lihat perempuan pakai jilbab lalu lalang. Gak masalah tuh. Gak ada yang nuduh mereka teroris. Felix hanya sedang memainkan opini meskipun faktanya bicara lain.
Dalam bahasa kasarnya, ini jenis penipuan publik. Dimainkan dengan cara yang cantik. Tujuannya kebanyakan politis.
Cara-cara seperti inilah yang dikenal dengan istilah post truth. Masyarakat meyakini informasi bukan berdasarkan fakta, tapi berdasarkan perasaanya saja. Dan kondisi seperti itulah yang sedang dimainkan .
Tokoh-tokoh itu tahu penyakit masyarakat kita malas membaca. Otomatis malas mencari fakta. Mereka lebih suka bermain perasaan alias baper. Dengan kondisi itulah mereka mengail simpati. Sekalipun yang disampaikan tidak berdasarkan fakta.
Inilah politik zaman now di mana para politisi sibuk mengkapitalisasi kebodohan publik.
"Iya mas, orang bodoh itu berguna apabila digunakan sesuai dengan kebodohannya,"ujar Bambang Kusnadi.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews