Ketika Memviralkan Lebih Penting daripada Menolong

Senin, 22 Januari 2018 | 17:20 WIB
0
599
Ketika Memviralkan Lebih Penting daripada Menolong

Sebagai bangsa Indonesia yang terkenal ramah, tamah, budi bahasanya seakan membuat hidup di negeri ini terasa aman, nyaman dan tentram. Mengucapkan salam, mencium tangan orang yang lebih tua usianya, senang bergotong royong saling tolong menolong, mengawali sesuatu dengan tangan atau kaki kanan dan mengakhirinya dengan yang kiri, bahkan ada yang bilang bahwa makan dengan tangan kiri adalah tidak sopan.

Sebab ada peribahasa mengatakan bahwa madu di tangan kanan sedangkan racun di tangan kiri. Lantas bagaimana dengan yang tangannya kidal? Itu mah urusan nanti, karena tadi adalah serangkaian kebiasaan atau budaya dari bangsa ini yang banyak ditemui dalam buku Pendidikan Kewarganegaraan.

Lebih penting

Seiring perkembangan zaman yang diikuti dengan kemajuan teknologi, informasi dan ilmu pengetahun membuat saya bertanya-tanya, "Apa benar bahwa saat ini adalah kemajuan bagi umat manusia dalam segala hal?" Sebelumnya saya benar-benar tak sadar dan tak memikirkan hal ini sama sekali.

Ya, memviralkan sesuatu bukan lah hal yang sulit di zaman serba canggih ini. Ada banyak alasan orang untuk memviralkan sesuatu, sesuatu yang diviralkan pun ada banyak macamnya. Misalnya seperti pengamen jalanan yang suaranya bagus atau tukang dagang yang wajahnya mirip Justin bieber, hal-hal yang aneh atau lain dari yang lain pasti akan mengundang banyak orang untuk memviralkannya.

Tapi sayang disayang, ternyata kesusahan atau musibah bagi orang lain (salam konteks ini, kesusahan yang masih bisa ditolong) pun tak luput dalam budaya baru yang telah tumbuh di masyarakat kekinian ini.

Dari waktu ke waktu kita tahu bahwa  bertemu orang yang sedang kesusahan pastilah hati nurani kita akan tergerak untuk segara menolongnya. Namun sepertinya tidak untuk sekarang ini. Sebab yang banyak dilakukan saat ini adalah mengabil smartphone, memotret atau merekam kesusahan orang lain kemudian mengunggahnya ke media sosial.

Contoh paling sederhana yang telah menyadarkan saya adalah ketika sedang asik-asiknya saya baca berita di media sosial instagram, kemudian ada berita beserta rekaman video yang isinya adalah tindakan pelecehan seksual dalam kereta.

Sebelumnya saya hanya merasa marah dan kesal terhadap si pelaku, namun ketika saya buka kolam komentar, ada beberapa komentar yang telah menyadarkan saya dan membuat saya lebih kesal. Komentarnya adalah "Kenapa yang ngerekam videonya diem aja gak nolongin si korban?" Jelas rekaman video tersebut bukanlah berasal dari cctv, melainkan dari smartphone salah satu penumpang kereta yang berdiri tepat di hadapan si korban dan pelaku.

Kemudian pernah juga beredar rekaman viral seorang pencopet di tempat umum. Isi video tersebut kurang lebih menayangkan seorang pencopet yang mendekati korban, kemudian tangannya mulai masuk ke dalam tas si korban. Memang aksinya tersebut gagal karena si copet sadar bahwa dia sedang direkam. Namun yang menjadi pertanyaan dalam kejadian ini masih lah sama, yaitu "Kenapa yang melihat kejadian tersebut hanya merekam saja?"

[irp posts="6575" name="Jurnalisme Jaman Now, Foto Viral JK Berponsel Pun Jadi Berita"]

Saya percaya dalam postingan-postingan viral tersebut memiliki maksud yang baik, yaitu mengingatkan banyak orang untuk lebih berhati-hati. Tapi bersamaan dengan kemajuan teknologi, informasi dan ilmu pengetahuan seolah ada yang bergeser dari apa yang seharusnya paling utama dilakukan menjadi dikesampingkan urutannya.

Memviralkan sesuatu seolah menjadi hal yang paling penting daripada menolong seseorang yang sedang kesusahan di depan mata. Jujur saya juga pernah seperti itu, dan alasan yang mendorong saya untuk memviralkan suatu kejadian adalah untuk mendapatkan perhatian banyak orang.

Dari kejadian tersebut tak ada salahnya apabila belajar menimbang dengan baik berdasarkan asas manfaatnya, mana yang lebih didahulukan, menolong atau memotret musibah orang lain untuk diviralkan?

Semua terserah pada si pemilik smartphone hehee.

Sekian tulisan yang bisa saya sampaikan, saya mohon maaf apabila ada kalimat yang menyinggung, Salam.

***

Editor: Pepih Nugraha