Sejak Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan secara resmi bahwa Jerusalem adalah ibukota Israel, maka sejak saat itu pula harapan bangsa Palestina untuk merdeka semaki jauh dari harapan.
Harapan merdeka bangsa Palestina yang sudah lama terpendam sejak Israel memproklamirkan kemerdekaannya tahun 1948 dan sejak diselenggarakannya perjanjian Oslo, sudah semakin sirna. Berbagai cara telah dilakukan Israel untuk perlahan-lahan menghilangkan peta bumi Palestina.
Perjanjian Oslo yang dimotori oleh AS itu pun tidak berfungsi lagi. Untuk apalagi isi perjanjian yang memberikan keleluasaan memberi status presiden dan duta besar kepada bangsa Palestina, jika wilayahnya yang luas itu sudah dibagi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara tidak adil?
Pun dengan mendirikan pemukiman baru penduduk Yahudi melewati batas Israel dan masuk ke wilayah Palestina, bukankah hal ini sama dengan mencaplok tanah Palestina perlahan-lahan?
Pada bahagian lain, AS juga mengumumkan akan merekrut 30.000 milisi Kurdistan yang akan ditempatkan di perbatasan Suriah-Turki. Hal ini sudah tentu akan menancing reaksi kemarahan dari Turki dan Suriah. Karena selama ini suku Kurdi menjadi musuh bersama kedua negara itu.
Di samping itu, dengan menempatkan suku Kurdi, AS seakan-akan memberi pesan, bahwa Presiden Suriah Bashar Al-Assad dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan akan terus digoyang sebagaimana keberhasilan AS menjatuhkan kekuasaan Presiden Irak Saddam Hussein di Irak.
Dengan dimanfaatkannya suku Kurdi oleh AS, sama halnya dengan pemerintah Irak menanfaatkan suku Kurdi berperang melawan pengikut Negara Islam di Irak. Mereka direkrut menjadi tentara Irak. Jika untuk merdeka di Irak? Tetap pemerintah Irak melarangnya. Ini terbukti ketika wilayah otonom Kurdi di Irak mengadakan pemungutan suara untuk merdeka, 92 persennya setuju merdeka. Tetapi pemerintah Irak tetap tidak mengizinkan.
Suku Kurdi adalah salah satu suku bangsa besar karena jumlahnya yang mencapai 30 juta jiwa. Mirip seperti nasib bangsa Palestina, akibat kolonialisme Barat di Timur Tengah, rumpun bangsa Persia yang mendiami daerah Kurdistan ini terancam hilang dalam sejarah dunia.
Jika Palestina berada di bawah pendudukan Israel, maka perhatian dunia Islam relatif sangat besar dibandingkan dengan suku Kurdi yang hampir sama sekali tidak ada.
Dilihat sejarahnya, sebenarnya kemerdekaan Kurdi pernah dijanjikan Presiden AS Woodrow Wilson (1856-1924) melalui Perjanjian Servesi (the Treaty of Sevres) tahun 1920 antar Kekhalifan Turki Usmani dan sekutu AS untuk membagi-bagi wilayah bekas kekuasaan Turki Usmani. Hanya saja terbentuknya negara baru Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal Ataturk yang meliputi sebagian besar wilayah Kurdistan telah memupus harapan itu. Sejak itu konflik antara suku Kurdi dan Turki terus berkembang.
Pasca kemerdekaan Irak tahun 1932, bangsa Kurdi semakin terisolasi dan terpecah-pecah. Mereka yang mendiami daerah-daerah perbatasan ini selalu menjadi korban pertikaian antara Irak, Iran dan Turki. Karena frustasi akan semakin tertutupnya peluang menuju kemerdekaan, muncullah kelompok-kelompok militan Kurdi.
Jadi suku Kurdi ditempatkan AS di perbatasan Turki dan Suriah selain untuk lebih memecah suku Kurdi itu, sekaligus dimanfaatkan untuk mengganti pemimpin Turki pilihan AS. Bukankah kudeta di Turki yang gagal baru-baru ini, pemimpin kudetanya berlindung di AS?
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews