Tak ada hujan tak ada angin pendahuluan, tiba-tiba Partai Hanura diterpa puting beliung mendadak. Kepengurusan dan anggota gonjang-ganing seketika, satu Hanura tibatiba terbelah menjadi dua. Untuk sementara ini Hanura "lama" yang dipegang Oesman Sapta Odang (OSO) dan Hanura "baru" yang dipegang Sarifuddin Suding. Munaslub dari "Hanura" baru pun siap digelar.
Munaslub alias musyawarah luar biasa itu penghalusan kata dari kudeta. Yang dikudeta ketua umum partai yang selama ini anteng-anteng saja, OSO. Alasannya, OSO berbuat lancang memalak kader Hanura yang akan maju sebagai calon anggota legislatif. Itu alasan dari dalam Hanura. Benar-tidaknya urusan malak-memalak ini, biarkan Hanura yang bekerja. Tetapi, mencermati siapa yang bakal menggantikan OSO, itu jauh lebih menarik.
Kalau jalan ceritanya seperti itu, sosok Moeldoko tidak bisa dikesampingkan. Di Hanura, ia menjabat wakil ketua dewan pembina alias wakil Jenderal Wiranto, pendiri Hanura. Di jajaran kepengurusan Hanura kubu OSO, kedua nama jenderal purnawirawan TNI itu masih tercatat. Dalam upaya mempertahankan posisinya, setidak-tidaknya OSO sudah mengunci dua nama jenderal itu.
Tapi, belum tentu keduanya, Moeldoko atau Wiranto, bersedia berada di kepengurusan Hanura OSO. Malah besar kemungkinan, salah satu dari dua jenderal itu, yang bakal memimpin Hanura versi Munaslub nanti. Dari mana jalan pikiran dan logika ini datang?
[irp posts="8350" name="Jangan Salahkan Kalau Wiranto Pimpin Lagi Hanura!"]
Politk itu dinamis, bukan eksak pula. Tiga kali dua tidak selalu berarti enam, juga dua tambah tiga tidak selalu lima. Demikian juga logika datangnya Moeldoko untuk memimpin Hanura.
Baru-baru ini Presiden Joko Widodo mengangkat Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan menggantikan Teten Masduki. Jabatan itu setingkat menteri. Ada juga jenderal "veteran" yang masuk, yaitu Agum Gumelar yang didapuk Ketua Wantimpres menggantikan Hasyim Muzadi (alm).
Dikudetanya OSO oleh para kader partai Hanura bukan tanpa alasan. Boleh jadi OSO dianggap "petualang" politik yang tidak bisa dipegang Istana. OSO adalah pemain politik sekaligus pebisnis yang selalu melihat peluang dengan hitungan untung-rugi. Dari membangun partai daerah yang gagal sampai kemudian dia menjadi Ketua DPD di Senayan, adalah cara OSO bermanuver kalau tidak mau disebut berakrobat.
Jalannya yang zig-zag tentu sukar ditebak. Di sisi lain, Jokowi dengan Istana-nya butuh orang yang benar-benar bisa dipegang. Jika Hanura kembali jatuh ke tangan pendirinya, yaitu Wiranto, atau Wiranto dengan kerelaannya menyerahkan pada Moeldoko, maka amanlah Jokowi memegang Partai Hanura ini.
Sekecil dan seremeh apapun partai saat Pilpres 2019, ia akan berati besar. Itu sebabnya mengapa Jokowi memanjakan Partai Golkar dengan menempatkan dua menteri yang tidak melepas jabatan partainya, yaitu Airlangga Hartarto dan Idrus Marham. Golkar adalah partai pemenang kedua Pemilu 2014 lalu sehingga suaranya cukup signifikan. Ini sangat dibutuhkan Jokowi yang oleh PDIP sampai saat ini belum diberi angin untuk mendukungnya lagi.
Dengan mengangkat dua jenderal purnawirawan sekaligus, Jokowi juga ingin sekadar mengabarkan, "Gue bukan petugas partai lagi ya, Bu!" selain juga untuk membendung calon presiden dari kalangan militer lainnya seperti Gatot Nurmantyo yang berpotensi maju.
Memang dua hal yang paling mencolok saat ini adalah kian dekatnya hubungan Jokowi dengan militer dan Islam moderat semacam Nahdlatul Ulama. Islam yang masuk kategori "radikal", ia sikat lewat Perppu Ormas.
Kembali ke Jenderal Moeldoko, di sini tidak ada keraguan lagi baginya untuk mengambil alih Hanura dari tangan OSO lewat Munaslub yang akan datang, apalagi dia sudah berada di Ring 1 Istana.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews