Anti-Politik: Politik Yang Tercabut

Jumat, 19 Januari 2018 | 10:30 WIB
0
520
Anti-Politik: Politik Yang Tercabut

Mengapa kita begitu sering menyaksikan kebodohan di bidang politik? Seorang tokoh partai tertentu mengeluarkan pernyataan bodoh, tanpa pertimbangan terlebih dahulu. Seorang wakil rakyat mengeluarkan pernyataan yang jauh dari nalar sehat dan hati nurani yang jernih. Seorang calon gubernur bersikap kasar terhadap rakyat sipil, tanpa alasan yang bisa diterima dengan akal sehat.

Hal yang sama juga terjadi dalam soal pembuatan kebijakan. Seorang gubernur yang tunduk pada tekanan preman-preman berbaju agama yang dulu mendukungnya dalam pilkada. Seorang wakil gubernur yang terus saja mengeluarkan pernyataan-pernyataan bodoh, layaknya badut politik tanpa pendidikan. Ini semua seolah menjadi hiburan-hiburan yang tak mendidik, layaknya sinetron murahan di televisi swasta.

Baru-baru ini, kita juga menerima kabar, bahwa ada persekongkolan pengacara, dokter dan wakil rakyat untuk menipu rakyat dalam soal korupsi. Racun kebodohan politik kini juga menyebar ke profesi-profesi luhur yang seharusnya melayani kepentingan masyarakat luas. Jika tak ada upaya perbaikan, racun politik ini akan terus menyebar ke beragam unsur kehidupan bersama. Apa yang sebenarnya terjadi?

Politik yang tercabut

Pertama, politik sudah tercabut dari keutamaan dan filsafat yang mendasarinya. Politik sudah lama berubah menjadi transaksi kekuasaan yang mengorbankan kepentingan rakyat luas. Padahal, politik sejatinya adalah profesi luhur untuk mewujudkan kebaikan bersama melalui kebijakan yang cerdas dan keteladanan hidup yang nyata. Kedalaman dan keluhuran profesi ini sudah lenyap digantikan kerakusan dan kedangkalan yang justru merupakan musuh-musuh kebaikan bersama.

Kedua, politik sudah tercabut dari ilmu pengetahuan. Beragam kebijakan dibuat, tanpa ada dasar rasionalitas dan penelitian ilmiah yang bermutu terlebih dahulu. Kebijakan politik dibuat atas dasar persekongkolan dengan pemilik modal yang korup, lalu merugikan kepentingan yang lebih luas. Tak heran, beragam kebijakan yang ada justru justru jauh dari nalar sehat, dan justru memperbesar masalah yang sudah ada.

Tiga, politik sudah tercabut dari spiritualitas. Spiritualitas adalah cara hidup yang mengedepankan unsur-unsur kemanusiaan universal di dalam segala keputusan dan perilaku. Di dalam politik busuk, spiritualitas disempitkan semata menjadi agama yang justru digunakan sebagai topeng untuk menutupi kebusukan-kebusukan dibaliknya. Maka dari itu, kita harus sadar, bahwa kampanye-kampanye politik dengan menggunakan agama biasanya tanda, bahwa tokoh di belakangnya itu korup dan busuk.

[irp posts="8246" name="Mahar Politik dan Deviasi Demokrasi"]

Empat, politik sudah tercabut dari budaya. Politik di Indonesia sudah dijajah secara mendalam dan berakar oleh nilai-nilai Barat dan Arab. Akibatnya, nilai-nilai luhur budaya setempat menjadi tergerus, dan bahkan hilang. Politik yang tercabut dari budaya justru menciptakan keterasingan yang melahirkan kemiskinan dan kebodohan lebih jauh di dalam masyarakat.

Menanam kembali politik

Politik yang tercabut dari keutamaan, spiritualitas, ilmu pengetahuan dan budaya justru akan berubah menjadi anti-politik. Artinya, politik akan menjadi mesin penghancur kehidupan bersama yang membawa petaka kemiskinan dan penderitaan. Banyak negara sudah terjebak pada anti-politik semacam ini. Indonesia pun sudah hampir terjebak sepenuhnya pada anti-politik yang merusak ini.

Yang diperlukan adalah gerakan bersama yang konsisten untuk menanam kembali politik ke dalam keutamaan, ilmu pengetahuan, spiritualitas dan budaya. Gerakan tersebut bisa memanfaatkan strategi kebudayaan abad 21, yakni kerja sama antara pelaku bisnis, ilmuwan dan filsuf di perguruan tinggi serta aparat pemerintah yang peduli, guna menanamkan kembali politik ke ranah yang sebenarnya. Ini tentu membutuhkan keterlibatan kita semua di dalam berbagai bidang yang mungkin.

Pertanyannya lalu, apa keterlibatanmu?

***

Editor: Pepih Nugraha