Kemenangan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno atas Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat di Pilkada Jakarta 2017, tidak bisa dilepaskan dari dukungan ulama yang dikomandoi Habib Rizieq Shihab (HRS).
Bahkan, sejak jauh-jauh hari, yaitu pada 10 November 2014 di halaman Balai Kota, HRS dengan Front Pembela Islam (FPI)-nya mengangkat KH Fakhrurrozi Ishaq sebagai gubernur tandingan Ahok, di mana saat itu Ahok sudah menjadi gubernur definitif menggantikan Joko Widodo yang terpilih sebagai Presiden.
Mengetahui keberadaan gubernur tandingan ini tidak punya legitimasi politik, membuat HRS terus berupaya mencari dukungan politik. Gayung bersambut, kekuatan ekstra parlementer ini akhirnya punya kekuatan dari dalam parlemen, yaitu Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasioanl (PAN).
[irp posts="8300" name="Saling Berebut Memetik Mahar, Nama Rizieq Shihab Disebut"]
Partai-partai tersebut yang mengaku 'oposisi' Pemerintahan Jokowi, meski partai yang disebut terakhir ini, menempatkan satu kakinya di pemeritahan, berbeda dengan Partai Demokrat yang konsisten menempatkan diri sebagai partai penyeimbang.
Koalisi ulama dan tiga partai ini mendapatkan angin segar setelah peristiwa di Kepualauan Seribu. Selanjutnya, aksi-aksi yang dikomandoi HRS terus terjadi di sekitaran Monas dan Istana Negara. Aksi yang ujunganya meminta agar Ahok dipenjara. Kapolri Jenderal Tito Karnavian pun tak kuasa untuk tidak "menindaklanjuti" para perserta Pilkada, yang akhirnya Kepolisian pun memproses Ahok.
Tentu saja, aksi-aksi dan hal-hal lain menyertainya semasa kampanye Pilkada, membuat elektabilitas Ahok semakin menurun. Dan, hasilnya sudah bisa ditebak, Ahok kalah. Bukan hanya itu, keputusan hakim pun seperti sudah diperkirakan akan menempatan Ahok ke penjara.
Pecah kongsi
Keinginan HRS agar ketiga parpol itu meng-copypaste koalisi Pilkada DKI 2017 di Pilkada Serentak 2018 tak semuanya mulus. Khususnya di Jawa Timur, di mana ketiga parpol ini tak bisa bergandengan tangan, seperti yang dilakukan di beberapa wilayah lain. Hal ini, terkuak ke publik, dimana Gerindra, PAN, dan PKS tidak satu suara mendukung La Nyalla Mattalitti sebagai bakal calon gubernur Jawa Timur.
Ada aroma "mahar politik", "uang perahu", "uang saksi" atau apalah namanya yang seakan tidak bisa disanggupi La Nyalla sehingga membuat Partai Gerindra enggan berupaya keras mengusung La Nyalla bersama PKS dan PAN. Akhirya, ketiga partai itu tidak mengusung calonnya sendiri di Pilkada Jawa Timur.
Inilah yang disesalkan Sekjen Forum Umat Islam (FUI) Al-Khaththath, di mana La Nyala merupakan salah satu dari lima nama yang direkomendasikan ulama kepada tiga partai tersebut untuk diusung dalam Pilkada 2018. Namun, ternyata tak satu calon pun yang direkomendasi.
[irp posts="4933" name="Sayang, Rizieq Tak Pulang dan Batal Hadiri Reuni 212"]
Padahal, perlu untuk diketahui, keberhasilan para ulama 212 memenangkan pasangan Anies-Sandi di Pilkada Jakarta memberikan angin segar bagi Prabowo Subianto untuk tampil di pentas Pilpres 2019. Keberhasilan ini juga sekaligus mengobati "rasa kesal" Prabowo terhadap sepak terjang Ahok yang tidak tahu artinya membalas budi.
Mungkin saja, bukan urusan uang semata yang membuat ketiga partai tidak mengusung calon yang direkomendasikan ulama. Atau bisa jadi, elektabilitas yang rendah dari calon, atau mungkin karena tidak adanya isu SARA yang bisa "digoreng" seperti yang terjadi di Pilkada Jakarta 2017.
Wallahu a'lam Bish Shawabi.
***
Editor: Pepih Nugraha
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews