Nostalgia

Senin, 15 Januari 2018 | 20:44 WIB
0
518
Nostalgia

Sekolah dasar bagiku adalah menghapal daftar perkalian, menyusun kalimat, disetrap berdiri di sudut kelas.

Juga Mita.

Kami makan bareng, bertukar cerita di rumahnya sepulang sekolah. Kami terus mengobrol sampai ibu atau ayahku menjemputku.

Itulah bagian yang aku benci. Harus pulang meninggalkan Mita, setiap hari. Orang tuanya sering pulang telat, jadi aku tak mengenal mereka, meski mereka tahu tentangku.

Teman sekelas menyebut aku dan Mita ‘pacaran’. Aku marah dan mengajak mereka berkelahi, meski sebenarnya jauh di lubuk hatiku aku menyukainya.

Suatu hari, Mita tak masuk sekolah. Guru mengatakan bahwa dia telah pindah ke kota lain.

Aku masih ingat, rasanya tenggorokanku tersangkut biji kedondong yang hanya hilang setelah aku menangis di wc sekolah. Kami berteman hanya setahun, dan itulah periode sekolah dasar yang kuingat dengan baik. Antara saat itu dan sekarang terdapat sekolah menengah, perguruan, dan pekerjaan di salah satu perusahaan multinasional.

Aku tak pernah melihatnya lagi, tidak sampai sekarang.

Sekarang adalah resepsi pernikahan. Dia penerima tamu, dan aku sebagai tamu undangan mempelai pria. Sayangnya aku baru melihatnya setelah berada di meja prasmanan, dengan piring di tangan penuh berisi berbagai macam lauk dan sayuran.

Dia tidak berubah, hanya semakin ranum dan cantik. Aku melihatnya dan melupakan tumpukan makanan di depanku. Biji kedondong itu kembali menyumbat leherku. Hanya saja kali ini karena kegembiraan yang tak terkira.

Aku berusaha untuk tenang, tapi gagal total. Dalam hitungan detik, aku sudah berdiri di hadapannya, begitu takut garis takdir yang kurancang berubah karena tak sesuai dengan kehendak Alam Semesta.

“Mita?”

Dia menatapku, mencoba mengingat-ingat dimana dia pernah melihatku. Tentu saja. Aku yang sekarang memelihara kumis, jadi aku tak berhak menyalahkannya karena gagal mengenaliku.

“Leo,” kataku, “dulu kita pernah satu SD.”

Diam. Sunyi. Bahkan dengan suara musik dan orang-orang yang berkeciap sambil mengucah makanan.

"Maaf, aku orangnya pelupa, tapi senang rasanya ada teman lama yang masih mengingatku ..."

Semua kata-katanya tenggelam dalam samudera keheningan.

Lagi-lagi biji kedondong tersekat di tenggorokanku.

Aku menyendok nasi dari piring di tanganku dan menyuapkannya ke dalam mulut.

Rasanya hambar.

Bandung, 15 Janurai 2018

***