Ketika Presiden Jokowi Lupa Nama-nama Suku di "Jatman"

Senin, 15 Januari 2018 | 19:17 WIB
0
487
Ketika Presiden Jokowi Lupa Nama-nama Suku di "Jatman"

Presiden Joko Widodo membuka kegiatan Muktamar XII Jam’iyyah Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (Jatman) di Pendopo Kabupaten Pekalongan, 15 Januari 2018. Selalu saja ada yang menggelitik dari setiap pidato Presiden, terutama dalam kegiatan-kegiatan tertentu, khususnya ketika berpidato pada momen keagamaan Islam.

Beberapa waktu yang lalu, kutipan pidato Presiden Jokowi, di acara Munas Alim Ulama Lombok yang diunggah oleh akun resmi Twitter seskab malah dihapus, karena dinilai salah mendeskripsikan pidato Presiden. Dalam membuka Muktamar XII Jatman ini, Presiden menyebut sejumlah suku di Indonesia yang hanya 13 sanggup dihafalnya. Banyaknya suku, bahasa, adat, dan tradisi, juga mengindikasikan, beragamnya aliran tarekat di Indonesia.

Ini artinya, Presiden ingin menyampaikan, bahwa beragamnya aliran tarekat, tak kemudian merepresentasikan perpecahan umat, tapi lebih kepada kekayaan “budaya”.

Sejauh ini, tarekat memang sangat banyak dan beragam, mungkin hanya 4 tarekat yang mu’tabarah (dikenal dan diakui para ulama) di Indonesia, yaitu Naqsyabandiyah, Syadziliyyah, Syatthariyah, dan Qadiriyah. Aliran tarekat kurang lebih merupakan “mazhab” yang gandrung akan kegiatan-kegiatan ritual keagamaan tertentu, persis seperti yang dijalankan kelompok sufisme.

Jumlah aliran tarekat yang sedemikian beragam—termasuk ada juga yang dianggap “menyimpang”—tentu saja menjadi budaya dan kekayaan tradisi Islam Nusantara yang sangat sulit dihafal nama-namanya. Presiden Jokowi kemudian mengibaratkan dengan beragamnya suku bangsa, bahasa, dan tradisi yang sedemikian banyak, sama persisi dengan keberadaan aliran tarekat sendiri.

Sulit untuk tidak mengatakan, kehadiran Islam di Indonesia yang sejauh ini pesat perkembangannya jelas sangat mudah diterima karena masuk melalui jalur-jalur sufistik. Para misionaris penyebar agama Islam, lebih banyak melakukan akulturasi budaya dibanding menggunakan metode dakwah konvensional melalui konsep ceramah face to face.

Sulit dibayangkan, bagaimana agama Islam tersebar di Nusantara jika menggunakan metode dakwah seperti yang dilakukan Nabi Muhammad ketika di Mekkah, yang ada pasti terjadi “benturan” budaya, bahkan mungkin pengusiran dan penolakan para juru dakwah ketika bertugas “mengislamkan” Nusantara.

Secara tidak langsung, Islam Indonesia sebenarnya adalah “Islam sufistik”, yang sama sekali berbeda dengan “Islam Arab” atau produk-produk keagamaan Islam yang berasal dari Timur Tengah.

Itulah kenapa, bahwa keberadaan Islam Indonesia, sulit dilepaskan dari hal-hal yang masih berbau “mistisisme”, primordialisme, kecenderungan kekelompokkan (ta’asshub), percaya “tuah” atau jimat, dan sekelumit kepercayaan lainnya yang berasal dari tradisi dan budaya.

Alangkah menggelikan jika kemudian tiba-tiba belakangan muncul nuansa kearab-araban, mengganti nama “anda” menjadi “antum”, “saya” menjadi “ana”, dan bahkan mempertanyakan mereka yang tidak mengikuti tradisi Arab, seperti berjubah, berjenggot, atau segala apapun yang “berbau” Arab.

Bagi saya, keberadaan jamaah tarekat, yang saat ini memang cenderung dimonopoli oleh ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU), adalah sebuah keniscayaan atas nilai-nilai Islam yang hadir sejak awal di negeri ini melalui jalur sufisme. Pengakuan atas keragamana budaya Islam, justru diakui oleh satu-satunya ormas Islam yang bernaung di bawah Panji NU dan di saat yang sama, banyak beberapa ormas Islam lainnya yang justru “menolak” keberadaan tarekat, karena dianggap bukan berasal dari nilai-nilai otentik ajaran Islam.

Peran NU jelas sangat besar terhadap pengaruh keutuhan budaya Indonesia—khususnya Islam Nusantara—yang masih bertahan hingga saat ini, terutama dalam pelestarian berbagai kelompok tarekat yang hadir di negeri ini.

Saya kira, kehadiran Presiden Jokowi dalam acara Muktamar Jatman di Pekalongan, jelas memiliki arti penting sebagai pengakuan negara atas tumbuh-kembangnya sufisme di Indonesia. Keberadaan sufisme, bukanlah sebuah “kemunduran” yang selama ini ditafsirkan sebagian orang, karena kecenderungannya terhadap hal-hal kebajikan bersifat “transenden”, seraya menjauhkan diri dari segala hal yang bersifat keduniaan atau “imanen”. Justru, sufisme secara langsung memiliki akar budaya Islam yang kuat, orisinal, tanpa harus berbenturan dengan hal-hal yang senantiasa berubah akibat pergeseran zaman.

[irp posts="8054" name="Tren Islam: Antara Kelompok dan Umat"]

Tokoh tarekat Indonesia yang sejauh ini dikenal sebagai ketua Jatman, Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Habib Luthfi) merupakan tokoh “kharismatik” yang mampu tampil dalam “dua kondisi”: tradisional sekaligus modern, tanpa bertentangan sedikitpun.

Sulit sekali jika kemudian Islam Indonesia dilepaskan dari nilai-nilai sufistik, karena melalui jalur inilah Islam berkembang pesat di Indonesia sejak masuknya di abad ke XII, yang dibawa oleh para wali. Tanpa melalui pendekatan sufistik, tak akan lahir Islam di negeri ini, yang ada mungkin Nusantara masih tetap dalam tradisi paganisme, terbelakang dalam cara berpikir, dan mungkin tetap terpecah-pecah dalam kekuasaan-kekuasaan berdasarkan kerajaan.

Para ulama penyebar agama Islam di Indonesia, tidak pernah kesulitan dalam berdakwah, bahkan tak pernah terdengar adanya penolakan dari pihak-pihak lain, karena tanpa sadar, Islam telah menyatu dengan akar budaya masyarakat. Beberapa babad atau sejarah yang menjelaskan tentang Islam yang ada dalam beberapa serat atau suluk, jelas menunjukkan adanya proses akulturasi budaya ini.

Mereka yang tergabung dalam beragam jamaah tarekat, adalah mereka yang secara teguh mempertahankan kekayaan budaya, baik nilai-nilai tradisi dan juga praktik-praktik keagamaan yang diajarkan para ulama pendahulunya. Itulah kenapa, Presiden Jokowi juga berpesan dalam kegiatan ini, bahwa Pancasila, NKRI dan UUD 1945 lahir dari penggalian terdalam dari nilai-nilai budaya bangsa yang harus senantiasa dipertahankan.

Mereka yang sadar dengan keterikatan budaya, nilai, dan tradisi bangsanya, sudah tentu senantiasa berjuang mempertahankan keutuhan bangsa yang memang Bhineka Tunggal Ika ini. Lagi pula, jamaah tarekat merupakan perwujudan dari pribadi-pribadi “bersih” yang senantiasa mendoakan keutuhan dan kesatuan bangsa ini, tanpa ada kepentingan apapun di balik keikhlasan doa-doa mereka. Seringkali bahkan kita melupakan, bahwa masih ada pribadi-pribadi ikhlas yang tersebar dalam beragam jamaah tarekat di Nusantara.

[irp posts="8056" name="Saya, Antara Islam, Indonesia, dan Arab"]

Pada akhirnya, keberadaan Jatman yang jauh dari hiruk-pikuk politik-kekuasaan, atau ikut tercebur dalam dunia hoax dan fitnah yang sejauh ini masuk dalam “lingkaran politik”, mulai diperhatikan negara sebagai bagian dari penjaga tradisi dan warisan budaya Islam Indonesia. Siapa yang mampu menjaga warisan budaya Islam Nusantara selain jamaah tarekat? Yang masih mengikuti ajaran para ulama terdahulu, saling tepa selira, menghormati sesama, jauh dari kebencian dan kebohongan?

Saya kira, Presiden Jokowi sadar betul bahwa keberadaan tarekat di Indonesia mampu membawa bangsa ini lebih menyadari akan arti sebuah keragaman budaya, yang harus saling menjaga dan menghormati. Dalam bahasa eufimisme, Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa dirinya tak sanggup menghafal sekian banyak suku dan bahasa, yang tak lain dimaksud adalah betapa sulitnya menghafal nama-nama tarekat di Indonesia, beserta para pendirinya.

***

Editor: Pepih Nugraha