“Bau Tak Sedap” dalam Pilkada Jatim 2018

Senin, 15 Januari 2018 | 07:03 WIB
0
497
“Bau Tak Sedap” dalam Pilkada Jatim 2018

Tidak ada angin dan tidak ada hujan, La Nyalla Mahmud Mattalitti “menggoyang” Partai Gerindra. Akar masalahnya, “uang saksi” miliaran rupiah yang ditengarai sebagai pengganjal utama urung direkomendasikannya La Nyalla sebagai bacawagub Jatim dari parpol binaan Prabowo Subianto. Akibatnya, Poros Emas pun urung terwujud.

Dalam sejarah penyelenggaraan Pilkada, baru kali ini ada orang yang berhasrat menjadi bacawagub atau bacagub berteriak selantang La Nyalla. Banyak pihak yang salut karena merasa terwakili; sebaliknya, ada pihak yang mulai sibuk menepis tudingannya. Sebab, bak pesan berantai, tudingan La Nyalla itu akhirnya diikuti oleh Bacawali Kota Cirebon, Brigjen (Pol) Siswandi.

Jika La Nyalla menyerang Partai Gerindra dan Prabowo, Siswandi menyerang PKS dengan tuduhan meminta mahar miliaran rupiah. Siswandi membandingkan permintaan PKS itu dengan turunnya rekomendasi Gerindra dan PAN yang tanpa “mahar” sepeser pun. Ironisnya, permintaan mahar itu muncul sekitar pukul 20.30 WIB jelang penutupan pendaftaran.

“Ada oknum dari PKS yang minta mahar saat itu. Katanya rekomendasinya masih di Jakarta, untuk bisa dijemput harus bayar mahar. Padahal itu sudah mau penutupan, mana bisa diantar ke Cirebon dengan waktu yang mepet,” ucap Siswandi seperti dilansir Detik.com.

[caption id="attachment_8251" align="alignleft" width="426"] Siswandi (Foto: Jurnas.com)[/caption]

Akibatnya, Siswandi pun bernasib sama dengan La Nyalla. Keduanya gagal menjadi kontestan Pilkada di wilayahnya masing-masing. Akar masalahnya pun sama: uang! Entah dalam istilah uang saksi, mahar, gizi atau istilah lain untuk menyamarkannya.

Sementara, Gerindra membantah keras tudingan La Nyalla itu. Wakil Ketum Gerindra Fadli Zon menegaskan bahwa partainya, khususnya Prabowo, tidak pernah meminta uang puluhan miliar kepada La Nyalla. Justru Prabowo hanya menanyakan kesiapan finansial La Nyalla untuk maju sebagai Bacagub Jatim.

“Kalau ditanyakan terkait kesiapannya untuk menyediakan dana pilkada untuk kepentingannya sendiri, ya sangat mungkin. Tentu logistik dalam pertarungan pilkada sangat diperlukan,” jelasnya kepada Rmol.co.

Pembelaan lain muncul dari pasangan Anies-Sandi, Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Menurut mereka, dana yang digunakan dalam Pilkada pada tingkat Provinsi memang besar. Jika dikelola melalui parpol dan kemudian diteruskan kepada Tim Pemenangan Pilkada, itu adalah hal yang lazim berlaku di semua parpol.

“Memang kalau politik itu berbiaya. Kemarin kami menghabiskan lebih dari Rp100 miliar. Jadi, itu yang diinginkan sebetulnya oleh Gerindra. Jangan sampai nanti kami sudah mencalonkan, enggak memiliki pendanaan. Yang jelas enggak ada (mahar), enggak ada sama sekali. Prabowo sangat profesional. Itu sudah dibuktikan ketika pencalonan Jokowi-Ahok. Begitu juga kami: saya dan Mas Anies,” terang Sandiaga Uno, Wagub DKI Jakarta seperti dikutip Republiknkri.org.

Namun, bukan saling berbantahan yang menarik dari permasalahan La Nyalla, Siswandi, Gerindra, dan PKS ini. Tetapi, adanya realita politik di Indonesia membutuhkan biaya mahal, termasuk di dalamnya berkaitan dengan kebutuhan secarik kertas yang bernama rekomendasi yang dikeluarkan DPP parpol.

Ini juga terungkap dari orang dekat nominasi Bacawagub Jatim. Sumber PepNews.com yang tidak ingin disebutkan namanya itu menandaskan praktik bau tidak sedap ini memang benar adanya di Jatim.

Untuk dipasangkan sebagai bacawagub saja, jago orang itu dimintai puluhan miliar rupiah melalui sistem lelang yang diadakan oleh “orang paling berpengaruh di Jatim”.

“Kalau tidak sampai puluhan miliar mungkin bos kami dapat memenuhi. Tapi karena memakai sistem lelang dan angkanya sudah menembus puluhan miliar, ya bos kami pun mundur teratur. Bayangkan dana sebesar itu baru digunakan untuk memasangkan bos kami dengan si bacagub. Dana itu sebagian kecil digunakan untuk biaya lobi-lobi si orang paling berpengaruh di Jatim itu. Itu belum termasuk biaya mengeluarkan rekomendasi parpol, honor saksi dan sebagainya. Berat!” keluhnya.

[irp posts="8242" name="Sulit Dipercaya Kalau Prabowo Subianto Lagi Bokek"]

Fenomena seperti ini yang membuat kualitas Pilkada di Indonesia semakin ke sini semakin buruk. Sebab, alih-alih mendapatkan pimpinan daerah yang berkualitas, kenyataannya pemimpin itu hanyalah sebatas alat kekuasaan atau kepentingan lain yang lebih besar. Atau, bisa juga berada di bawah bayang-bayang “pemodal” di belakangnya.

“Kepala daerah itu strategis, dia yang akan mengambil keputusan, pembuat kebijakan, kalau begitu (menjadi boneka) ya sama saja bohong,” tutur Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini kepada Republika.co.id.

KPU juga tersandung

Ironisnya, di Jatim, KPU Provinsi Jatim juga tengah tersandung. Dugaan korupsi menyelimuti KPU Jatim dan tengah diusut dugaannya oleh Kejati Jatim. Kasus ini merupakan hasil pengembangan perkara sebelumnya di KPU Jatim: terjadinya penggelembungan (mark up) harga serta kelebihan pembayaran pengadaan logistik senilai puluhan miliar rupiah.

“Benar (informasi itu), tetapi baru sprindik umum. Belum ada tersangkanya,” ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim Richard Marpaung, awal Januari 2017 silam.

Penyidikan dugaan korupsi KPU Jatim ini berdasarkan temuan LHP BPK RI pada 2010 untuk tahun anggaran 2009. Dan penyidikan korupsi KPU Jatim tahun anggaran 2013-2014. Akar masalahnya, terindikasi terjadinya pengadaan dan pembiayaan kegiatan fiktif.

Karena masalah pada 2013-2014 ini, sepuluh orang telah menjadi pesakitan di Pengadilan Tipikor Surabaya. Masalah ini tentu saja bisa memecah fokus KPU Jatim pada penyelenggaraan Pilkada Jatim. Bau tidak sedap yang menyelimuti Pilkada Jatim 2018 yang sudah dihembuskan La Nyalla bisa saja memberikan efek berantai bagi KPU Jatim.

[irp posts="8183" name="Memahami Motif La Nyalla Soal Prabowo Minta Uang"]

Tidak hanya KPU Jatim, parpol dan tokoh-tokoh penting di masing-masing parpol, dan bahkan di kalangan orang-orang berpengaruh di Jatim. Sebab, tidak ada makan siang yang gratis! Jadi, jangan kaget jika kualitas Pilkada Jatim 2018 diragukan banyak kalangan.

“Kalau saya punya kendaraan ya tidak mungkin saya berikan atau saya pinjamkan secara cuma-cuma. Tapi politik transaksional sulit dibuktikan. Analognya ada bau tapi tidak ada rupa. Tapi sebenarnya kan juga bukan rahasia umum. Siapa yang menjadi pemimpin di nasional dan lokal ya orang yang memiliki sumber daya,” ujar DR. Sugeng Harianto, dosen FIS UNESA.

Bau tidak sedap yang dilontarkan La Nyalla memang sedang merebak dan menerpa orang-orang berpengaruh di balik penyelenggaraan Pilkada Jatim 2018. Solusinya: segera beberesih dan yang terlibat harus dengan legawa mundur dari jabatannya saat ini!

***

Editor: Pepih Nugraha