Makna di Balik Gugatan Cerai Ahok

Kamis, 11 Januari 2018 | 08:38 WIB
0
600
Makna di Balik Gugatan Cerai Ahok

Mustinya orang mulai berpikir, ketika Veronica Tan diundang naik panggung pertunjukan Konser Twillite Orchestra-nya Addie MS lalu ia memainkan cello. Cello? Ini sejenis alat musik gesek sedang, yang mungkin sangat mencerminkan "pilihan" paling sulit dari pemainnya. Ia tidak bisa sangat menyanyat-nyanyat seperti biola, lebih lirih tapi memiliki "daya tikam" yang lebih sadis. Orang yang memilihnya adalah figur pribadi yang kuat dalam prinsip dan tak bisa ditawar-tawar.

Itu menurut saya!

Dalam situasi inilah, kita harus memahami hubungan antara Ahok dan Veronica Tan beberapa waktu terakhir ini. Konon, Ahok sudah mengajukan surat gugatan cerai ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Saya beberapa waktu yang lalu, sebagaimana diingatkan sahabat Meilanie Buitenzorgy, pernah menuliskan bahwa Vero telah mengancam Ahok untuk memilih antara keluarga atau karier politiknya.

Ancaman yang serius typical seorang celloist yang sangat binary: take it or leave it! Artinya memang Ahok harus memilih, karena sadar Vero tentulah tidak sedang playing-victims. Tidak sedang bersandiwara! Tentu saja sebagai seorang puritan dan konservatif, saya memilihkan Ahok untuk mundur dari dunia politik dan beralih peran di bidang lain yang tentu sangat jembar di luar sana! Ahok pun meniscayakannya, dalam beberapa kesempatan!

Namun yang di luar dugaan adalah apa yang terjadi di Jakarta, setelah pasangan Thompson dan Thomson dilantik sebagai pasangan Gubernur. Jakarta amburadul dalam arti nyata, kekhawatiran penyalahgunaan dan bancakan anggaran bukan lagi utopis, ketertiban yang pernah mampir dalam sekejap menguap, dan bahkan terakhir mereka bikin lembaga dagelan bernama KPK Ibukota.

Ironisnya, hanya warga media sosial yang lebih peduli. Partai politik dengan para "politikus benar-benar sedang berperan menjadi tikus", rame-rame rayahan kekuasaan di berbagai daerah. Presiden dengan jajarannya sudah mulai asyik dengan mempersiapkan "ibukota baru". Sementara Gabener dan wakilnya, selalu ngeles menyalahkan Ahok setiap kali menghadapi ketidakberesan yang dihadapinya.

Sebenarnya ini lebih mencerminkan ketidakcakapan manajerial dan ketidakmampuan teknis mereka saja, ditambah lagi kemiskinan imajinasi yang saya pikir tidak mungkin disembuhkan. Dan terakhir, kasus RS Sumber Waras yang kembali diutak-atik sebagai simbol "megakorupsi" di masa Ahok. Lalu kita berharap Ahok diam saja, menuruti mau istrinya untuk terus mengalah, dan tidak melawan. Atau sebagaimana warga Tionghoa lainnya, ketika terdesak dan kalah, memilih kembali menjadi kaum diaspora?

Dari titik inilah Ahok mulai melawan! Dimulai dari, ia menggugat cerai istrinya, karena tidak ingin menjadi beban keluarganya lagi. Tentu saja, Veronica sangat berharga baginya, sangat! Justru karena saking berharganya itulah ia membebaskannya untuk tidak lagi menjadi bagian dari perlawanannya.

Dari point ini pula, sebenarnya kita diingatkan bahwa selama ini Ahok adalah seorang yang berjuang, ia melakukan perlawanan dalam banyak hal untuk menata ulang sistem yang rusak kembali menjadi lebih baik. Ia tidak pernah menunjukkan rasa takut dan berani mengambil risiko. Ia nyaris selalu sendirian menghadapi hipokrisi (baca: kemunafikan) yang luar biasa dahsyatnya di Jakarta, dan karena hipokrisi ini pulalah ia dijatuhkan.

Momen yang akan dicatat oleh sejarah sebagai "skandal permainan politik kotor" yang akan dikenang sepanjang sejarah Indonesia modern. Dan bila hal seperti ini, dibiarkan apalagi hanya atas dasar stabilitas politik jangka pendek, tenggang rasa terhadap "minoritas radikal yang merasa dirinya mewakili kelompok mayoritas", apalagi memenuhi syahwat rakus dari para politikus busuk yang haus kuasa tentu ini adalah hal yang pantas diwaspadai.

Pertaruhan lebih lanjut dari permainan orang-orang Jakarta ini adalah keutuhan dan kelanggengan NKRI yang susah payah dirajut, dibangun, dan dipagari oleh para pendiri bangsa ini.

Lalu pertanyaan sederhananya: apakah gugatan cerai itu tanda tidak cintanya Ahok pada Vero? Ahok tidak butuh lagi Vero?

Mungkin inilah, babak baru dari romantime cinta yang keduanya bangun bersama-sama, yang kelak akan dikenang sebagai sebuah kisah cinta yang sejati. Perceraian itu menyakitkan, tapi kebersamaan yang saling membebani dan nyrimpeti itu jauh lebih menyakitkan.

Bagi saya gugatan cerai Ahok justru adalah simbol cinta yang sesungguhnya. Cinta yang membebaskan dan tidak menjadi beban di hari depan. Ini laksana Legenda Cinta Siluman Ular Putih, mereka memang beda dunia, tapi cinta sejati akan selalu menyertai dan menjaganya.

Selamat datang kembali di kancah perjuangan, Ahok!

***