Ada Apa di Balik Komite Pencegahan Korupsi alias "KPK KW2"?

Rabu, 10 Januari 2018 | 09:48 WIB
0
477
Ada Apa di Balik Komite Pencegahan Korupsi alias "KPK KW2"?

Di awal tahun 2018 tepatnya tanggal 3 Januari 2018, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan pembentukan komite baru bernama Komite Pencegahan Korupsi DKI Jakarta. Komite ini merupakan purwarupa dari beberapa Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) yang sebelumnya direncanakan (total 73 orang). Komite Pencegahan Korupsi DKI Jakarta terdiri dari 5 anggota, yaitu:

1. Ketua Komite Pencegahan Korupsi Jakarta Bambang Widjojanto - mantan Wakil Ketua KPK periode 2011-2015

2. Komjen Oegroseno - mantan Wakapolri periode 2013-2014

3. Nursyahbani Katjasungkana - aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Hak Asasi Manusia

4. Muhammad Yusuf - mantan Ketua TGUPP periode 2014-2017

5. Tatak Ujiyati - peneliti ahli tata pemerintahan

Kelima anggota ini sebagaimana diutarakan Anies Baswedan Anies berfungsi sebagai penghubung antara Pemprov DKI dan lembaga lain yang terkait dengan pencegahan korupsi. Selain itu Komite Pencegahan Korupsi DKI Jakarta diharapkan mampu mencegah praktik korupsi yang terjadi di Ibukota.

Sebelumnya prihal TGUPP ini memang sempat mencuat ke publik dikarenakan alokasi anggarannya yang fantastis melalui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) DKI 2018 sebesar 28 miliar dan rencana jumlah anggotanya yang terlampau besar yaitu 73 orang. Sampai pada akhirnya pihak Kemendagri bertemu dengan Pemprov DKI Jakarta dan menyetujui TGUPP didanai melalui pos anggaran khusus dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta 2018 dimana pos anggaran TGUPP dari Biro Administrasi DKI Jakarta beralih ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda).

[irp posts="7204" name="Urgensi Dibentuknya KPK Partikelir" di DKI Jakarta"]

Melihat besarnya anggaran yang dikucurkan untuk TGUPP maka tak mengherankan banyak kalangan khususnya warga DKI Jakarta yang mempertanyakan kapabilitas dari tim tersebut apakah akan sesuai ekspektasi. Tentu dibalik sosok-sosok yang mengisi Komite Pencegahan Korupsi tidak perlu dipertanyakan lagi kemampuannya, namun yang menjadi keraguan di masyarakat adalah efektifitas dari tim ini sebagaimana tugas mereka menyerupai apa yang Komite Pemberantasan Korupsi (KPK) lakukan.

Merujuk kepada fungsi yang serupa maka tak mengherankan bilamana muncul pertanyaan untuk tujuan apa tim tersebut dibentuk? Benar-benar bertujuan untuk mencegah praktik korupsi di Ibukota ataukah ada maksud lain di belakangnya?

Sebagaimana diketahui bahwasanya Pemprov DKI Jakarta di masa kepemimpinan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno memiliki tujuan agar Jakarta mendapatkan opini atau status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Keinginan tersebut bukan tanpa alasan karena sudah empat tahun berturut-turut Pemprov DKI Jakarta mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dari BPK.

Di antara penyebab mengapa Pemprov DKI Jakarta mendapatkan WDP, salah satunya ialah pencatatan aset yang buruk. Namun hal tersebut seolah teralihkan manakala Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno mengatakan bahwa penyelesaian masalah pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras merupakan salah satu tiket untuk mendapatkan predikat WTP dari BPK.

Merujuk kepada kasus RS Sumber Waras sebagaimana pernah diinformasikan oleh banyak media kala itu, pada sela rapat dengar pendapat dengan Komisi III (14/6/2016) bahwa KPK menyatakan para penyidiknya tidak menemukan adanya perbuatan melawan hukum dalam kasus RS Sumber Waras. Hal tersebut bertolak belakang dengan pandangan BPK yang menganggap prosedur pembelian lahan milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) oleh Pemerintah Provinsi DKI menyalahi aturan.

Menurut BPK, Pemprov DKI Jakarta membeli lahan senilai Rp.800 miliar, lebih mahal dari seharusnya sehingga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp.191 miliar.

Mengacu kepada apa yang telah terjadi maka akan terasa janggal bilamana hal-hal diatas dinilai sebagai suatu kebetulan. Motivasi untuk meraih WTP dari BPK, pembentukan Komite Pencegahan Korupsi DKI Jakarta, dan diungkitnya kembali kasus RS Sumber Waras pada dasarnya merupakan sebuah skenario yang memang sengaja diciptakan.

Tentu semua orang dapat memperkirakan siapa sosok yang menjadi sasarannya, akan tetapi kesemua perhatian pastinya akan menjurus kepada apa yang KPK nyatakan dalam kasus RS Sumber Waras yang menjadikan kredibilitas KPK akan dipertanyakan dan memungkinkan upaya pembubaran KPK kembali menggema.

Pada akhirnya hal tersebut dapat berdampak pada menurunnya kepercayaan publik dan tumbuh berkembangnya antipati kepada KPK. Lalu pembentukan Komite Pencegahan Korupsi tiap daerah akan dipandang sebagai langkah konkrit yang dapat menyiasati hadirnya KPK.

Lantas jika dikemudian hari hal ini terealisasi maka pertanyaannya di manakah letak indepedensi sebuah lembaga kalau hanya diatur, dibentuk, dan dijadikan alat oleh penguasa?

***