Gugatan Cerai Ahok dan Etika Kristen Protestan

Selasa, 9 Januari 2018 | 07:25 WIB
0
587
Gugatan Cerai Ahok dan Etika Kristen Protestan

Sebagai penganut Kristen Protestan, hal mana sejauh yang saya ketahui juga dianut Ahok, saya sedih membaca kabar ia akan menceraikan istrinya. Tempo hari -seingat saya- saya pernah menulis Ahok "membajak" Kekristenan untuk benefit politisnya. Paralel dengan itu, banyak sekali umat Kristen yang "terbajak".

Beda dengan "Kristen" yang secara jelas mendeklarasi diri sebagai kekuatan politik seperti di Jerman (Christian Democratic Union) atau di Australia (Christian Democratic Party) atau di berbagai negara lainnya, Indonesia sekarang ini tidak memiliki pendeklarasian serupa. Pernah ada dalam beberapa periode pemilu lalu, namun terbukti parpolnya tidak laku.

Jangankan Kristen yang minor, lha wong parpol yang dideklarasi dengan mengambil nilai-nilai Islam, yang sebagai agama mayor di negeri ini, faktanya susah payah mengumpulkan kursi di parlemen. Menjadi pemenang Pemilu belum pernah. Tereliminasi (dari gedung parlemen pusat), banyak.

[irp posts="7688" name="Ahok Gugat Cerai Vero, So What"?"]

Rakyat Indonesia selama puluhan tahun ternyata lebih "nyaman" dengan "jalan tengah". Sebagaimana pun komposisi jumlah penganut agama-agama, keputusan Rakyat Indonesia secara mayoritas adalah TIDAK menyerahkan kuasa penuh pada kelompok politik "berlatar belakang" agama.

Ah, itulah mengapa dulu saya sebut Ahok "membajak" Kekristenan (Christianity). Di ruang emban-jabatan publik yang dilakoni dan arena pertempuran politik yang diikutinya, Ahok (maaf) menjual Kekristenan melalui "direct claim" atau klaim-langsung. Saat mana ia bukan bagian dari parpol yang "declare" sebagai "Christianity-based-value" (ingat, bahkan Indonesia saat now sedang tidak memiliki parpol "jenis" ini), Ahok (maaf, sekali lagi maaf) tampil "norak" menunjukkan bahwa ia Kristen dengan cara mengatakan "Saya Kristen".

Sementara, yang namanya "kasih, suka cita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, lemah lembut, dan penguasaan diri" tak ditonjolkan Ahok. Sayangnya, banyak yang "terbajak". Ahok, malah, makin jadi panutan. Ia menjadi semacam model aplikasi Kekristenan di tanah air.

Mungkin anda berpikir kabar Ahok hendak menceraikan istri dapat menjadi "konfirmasi" kebenaran pendapat saya bahwa ia memang "membajak" Kekristenan. Tapi, saya tidak ingin ke situ, karena tidak begitu nyambung.

Antara Ahok "membajak" Kekristenan (untuk benefit politis) dengan Ahok sebagai Penganut Kristen adalah dua hal yang berbeda.

Urusan "membajak" sebuah agama dengan agama apa yang dianut si "pembajak" adalah urusan yang tak sama. Contoh, Snouck Hurgronje yang sukses "membajak" Islam (untuk benefit politis Pemerintah Hindia Belanda), ada pun agama yang dianutnya bukan Islam.

Kehidupan berrumah tangga itu bisa sangat mudah, dan bisa berubah menjadi sangat sulit. Tak pandang latar belakang, mau kaya mau super kaya, yang konglomerat sekali pun, kalau kena badai rumah tangga, rasanya akan sama persis dengan yang masih miskin kalau kena badai yang sama. Kesamaan lainnya: rumah-tangga itu adalah urusan privasi. Privasi pasangan yang menjalani. Mau yang miskin, mau yang kaya, status privasinya sama.

Maka dari itu, saya mengajak kita semua meninggalkan urusan rumah-tangga Ahok dan istrinya Vero sebagai urusan mereka berdua. Tak ada hak kita secuil pun untuk ikut masuk ke sana.

Saya hanya bersedih. Kabar Ahok hendak menceraikan istrinya ini berarti akan ada lagi satu sumpah pernikahan Kristen, yang diucapkan di depan nama sakral Tuhan, yang diingkari. Sumpah untuk untuk saling memiliki dan menjaga selama-lamanya, pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan. Sumpah yang diucapkan saudara seiman Kristen saya.

Saya berharap Hakim tidak mengabulkan kehendakmu, Hok. Saya berharap Pengadilan masih bisa memediasi.

Saya berharap tidak dibawa ke dalam pencobaan -berat- seperti pencobaan yang sedang Ahok alami. Saya takut, apabila saya tak sanggup.

***