Jokowi sebagai Model Berjalan

Minggu, 7 Januari 2018 | 09:02 WIB
0
380
Jokowi sebagai Model Berjalan

Bagaimana cara membandingkan Jokowi dan Prabowo kritis tapi tetap gontai santai dan menimbulkan rasa gembira kedua belah pihak. Gak ada! Sebetapa pun kita santai, tetap saja salah satu pihak akan tetap "mengkereng berkerut kening", karena memang demikian watak para fans club. Namun, dalam banyak hal sisi fashionable dari keduanya termasuk yang kurang serius dipertimbangkan, padahal dari hal sepele inilah semua berawal dan berakhir.

Prabowo, menurut pendapat saya (minimal) tidak mencerminkan punya anak tunggal yang memiliki reputasi tinggi di dunia desain. Atau sebaliknya, malah karena anaknya seorang desainer adi busana (haute couture), jadi malah selera bapaknya ikut blangsak, karena terlalu banyak berhitung.

Ini terlihat dalam pakaian kebesaran yang selalu ia gunakan dalam upacara kebesaran partainya, yang campur aduk gak karuan: antara pakaian berciri Sukarno (berpeci dan bersafari), Pangeran Diponegoro (berstagen, berkeris dan berkuda) dan Jendral Sudirman (mimik wajah dan gestur tubuh). Sungguh rangkuman yang bukannya menjadikan dia digdaya, tapi lelucon karena untuk naik kudanya saja kerepotan dan kesrimpet-srimpet. Horotoyoh!

Bandingkan dengan Jokowi, yang karena ia orang Sala, seleranya sesungguhnya Pasar Klewer sekali. Selera rakyat kebanyakan, bahkan cenderung kodian. Lucunya kemudian justru jadi tren dan banyak ditiru. Ia malah mendadak jadi model berjalan, yang disukai dan diikuti banyak orang.

Yang tidak tahu, apa itu Pasar Klewer? Ia adalah Tanah Abang-nya kota Surakarta. Walau kalau menurut saya, beda jauh ke mana-mana, karena di sini orang bisa asyik dengan segala kegontaiannya, sehingga bisa menikmati hidup pating klewer.

[irp posts="7188" name="Masih Efektifkah Strategi Pencitraan Joko Widodo?"]

Tapi juga jangan salah terka, di belakang Jokowi ada suporter adibusana Jawa yang selalu menyertainya (dan mungkin memberi masukan-masukan penting). Ia adalah Mooryati Sudibyo, seorang tokoh kecantikan Indonesia, yang seingat saya sejak tahun 1980-an telah mengarang buku klasik berjudul Ngadi Salira, Ngadi Busana. Kira-kira kalau diartikan adalah keseimbangan dan perpaduan antara brain, beauty & behavior. Dan ini tak terbatas di kalangan wanita, pun seorang pria harus tetap memahami dan menjalaninya.

Mari kita dedah satu persatu, tren pakaian yang pernah digunakan Jokowi dan berbagai makna simbolik yang menyertainya.

Pertama, saat ia mempopulerkan baju kotak-kotak merah, hitam, putih sejak ia mencalonkan diri jadi Gubernur DKI Jakarta. Di sini, sebenarnya selain ia menggambarkan dari partai mana ia berasal, juga merupakan antitesis baju pilihan para rivalnya yang cenderung memilih warna putih. Pilihan yang baik, tapi justru menunjukkan reputasi dan karakter buruk mereka sesungguhnya. Dan terbukti, warna kotak-kotak menilap habis warna putih yang cenderung bungkus kemunafikan dan watak pembohong dari para politisi lawan yang mengenakannya.

Kedua saat ia terpilih jadi Presiden dan pembencinya mengejeknya sebagai kecebong. Ejekan ini berasal dari kelompok Islam garis keras yang saya pikir bukan saja gagal move-on, tapi gak perlulah. Gak rame Indonesia tanpa kalian! Lalu dengan santai ia menggunakan sarung, melepas anak-anak kodok ke kolam di Istana Bogor dan sesekali ia datang memberi makan.

Di sini, ia ingin menunjukkan betapa ia adalah bagian dari Islam Nusantara yang memang memiliki basis dukungannya yang terkuat.

Ia tidak sekedar mengejek para pembencinya secara halus, juga menafikan bahwa dukungan kelompok Islam yang lebih membumi di Indonesia juga jauh lebih kuat, dibanding kelompok khilafah yang hanya cenderung vokal tapi sangat oportunis, nyebahi dan bayaran!

Ketiga, saat ia mempopulerkan jaket komando. Orang mulanya hanya berpikir bahwa ini hanya masalah keren-kerenan saja. Baru menjelang akhir tahun ini, terkuak bahwa ia memiliki selera dan referensi yang sangat kuat pada TNI-AU. Jaket ini mulanya jaket penerbang, yang kemudian jadi standar orang AURI, yang lalu juga dipakai angkatan-angaktan lain.

[caption id="attachment_7506" align="alignleft" width="600"] Joko Widodo dan Muhaimin Iskandar (Foto: Bisnis.com)[/caption]

Kemudian terbukti ia (lebih) memilih Hadi Tjahjono sebagai Panglima TNI, bahkan melantiknya jauh hari sebelum Gatot Nurmantyo tiba waktunya pensiun. Ia ingin menunjukkan bahwa sebenarnyalah TNI-AD sejak lama tidaklah netral-netral amat, mereka juga gak pernah sembuh dari selera dan tradisinya untuk berpolitik praktis. Pun ketika mereka masih berdinas aktif. Harusnya mereka bersedia mencontoh profesionalitas TNI-AU dan TNI-AL yang telah betul-betul mau kembali ke barak.

Dan terakhir, di akhir tahun ini ketika ia beberapa kali muncul di tengah publik hanya berkaos T-Shirt, bercelana jeans dan bersepatu kets, ia melemparkan banyak pesan, agar masyarakat lebih santai dan happy menikmati akhir tahun. Sebab bagaimanapun 90 persen target pemerintahan nyaris tercapai: defisit anggaran lebih rendah, penerimaan pakjak nyaris tercapai, kinerja para menterinya juga tak bisa dipandang remeh, dan realitasnya tercapai stabilitas politik.

Masalahnya ada satu figur yang terkena tohok akibat gaya berpakaian santai ini. Orang yang jauh hari menunjukkan kengebetannya menjadi Cawapres. Dan jadilah, ia orang yang saltum dan terlihat wagu. Ketika diberi waktu bertemu dan menemani Presiden saat meresmikan KA Bandara, Presiden ingin mengirimkan pesan: "gak usah ngoyo mengejar kekuasaan. Gak perlu terlalu tegang hingga harus berkereta necis pakai batik, kayak Jaka Sembung, kagak nyambung".

Rasah kesusu, Min!

***