Polling Calon Presiden dan Jualan Kaset Lawasan

Kamis, 4 Januari 2018 | 08:14 WIB
0
350
Polling Calon Presiden dan Jualan Kaset Lawasan

Saiful Mujani merilis hasil polling terbarunya, “Jika Pilpres dilakukan sekarang” (akhir 2017), maka jawabannya adalah 60-an persen Jokowi dan 10-an persen Prabowo.

Lepas dari berbagai latar belakang dan juga orientasi lembaga polling itu, beserta metode dan hasilnya, sering saya bertanya, apa sih fungsi polling macam gini?

Mungkin baik, untuk pendidikan politik. Tapi senyampang itu juga buruk. Karena ia diumumkan secara luas, kepada yang bukan responden, dan melibatkan nama-nama yang disebut. Lantas buat apa bagi kita yang tak ikut-ikutan polling tersebut? Diberitahu agar terpengaruh?

Dengan teori hitung logaritmik, pikiran dan ingatan ratusan orang diproyeksikan pada puluhan juta orang. Hitungan biasnya konon tak pernah lebih dari satu digit. Di situ lembaga polling kadang seperti para developer pemukiman baru, yang selalu ngomong “hanya sekian menit ke pusat kota”. Karena mereka ngitung jarak tempuh dengan skala, di atas meja design, ditarik garis lurus dengan penggaris dari titik satu ke titik lainnya. Lantas diperhitungkan kecepatan rata-rata per-kilo, dan ketemulah sekian menit. Tak ada urusan jalan berkelak-kelok, macet, lampu merah, dan sebagainya.

[caption id="attachment_3008" align="alignleft" width="522"] Eep Saefulloh Fatah (Foto: Islamlib)[/caption]

Lembaga polling pada akhirnya mirip dengan media massa, hanya menari di atas gendang orang. Apalagi jika lembaga poling ini berbayar, dengan ketentuan dan syarat berlaku. Susah diharapkan lembaga seperti ini, sebagai media massa kita, ikut memberikan arah ke mana perjalanan demokrasi kita menuju. Mangkanya ketika Eep Saefulloh Fatah bisa sangat dingin memanfaatkan politik identitas sebagai basic strategi, karena imu pengetahuan adalah ilmu pengetahuan. Tak ada hubungan dengan dimensi sosial-budaya manusia, sekali pun Eep Saefulloh pernah nyantrik pada Rendra.

[irp posts="3000" name="Membaca dengan Saksama Pembelaan Eep Saefulloh Fatah"]

Bukan berarti media massa, juga lembaga polling, tak bisa menjadi agen perubahan, atau pembawa kabar (kebenaran) masa depan. Namun mereka yang menjadikan masa kini hanya sekedar panggung eksistensi mereka, tak lebih sebagaimana tukang becak mengangkut penumpang, seperti pula kuli gendong melayani para pembelanja. Bukan soal luhur dan hina, tetapi jika kita hanya asyik pada hasil angka-angka, tanpa pencerahan side-story-nya, engkau sama saja dengan penjual tahu bulat, yang digoreng dadakan. Kalau tidak ada yang pesen? Ya, nggak digoreng.

Apakah lembaga polling seperti omongan pemiliknya, didirikan untuk mengedukasi masyarakat melek politik? Munculnya nama Jokowi dan Prabowo, untuk 2019, bagi saya justeru menunjukkan kegagalan lembaga polling, dalam mengedukasi masyarakat memahami politik dan demokrasi. Itu semua lebih didasari kecenderungan kita untuk selalu membandingkan masa kini dengan masa lalu. Bukannya masa kini dengan masa depan. Teorinya, teori konflik.

Prabowo adalah tipikal manusia masa lalu, belibet dengan masalah-masalah masa lalu. Indonesia ke depan, hanya bisa diselesaikan dengan menyelesaikan masalah-masalah hari ini. Oleh generasi masa kini, yang terbebas dan tak terlibat keruwetan masa lalu.

Apalagi menggotong-gotong isu konflik Masyumi dan Islam Nusantara, terus orang seperti Yusril Ihza Mahendra, atau A’a Gym seolah penting. Dan kita terus dijebak dengan politik identitas, tapi identitas tanpa karakter itu?

Jika kita telisik di sini, kenapa kini posisi cawagub banyak dicari dari nama yang konon erat dengan basic agama (baca: agama Islam)? Ada dua mungkin di sini. Mungkin dia tidak kuat dalam beragama, atau mungkin dia mau mbijuki orang dengan agama. Makanya, melihat kesuksesan Pilkada DKI Jakarta dengan isu agama, Sudirman Said sibuk mencari cawagub yang kebanyakan dipanggil gus-gus itu.

Begitu juga keributan pilkada di Jabar, alotnya mencari cawagub. Seolah kalau beragama pasti baik (padahal, cuma mau mainin sentimen agama sebagai majoritas). Pikiran apa itu, coba?

[irp posts="1908" name="Jangan Terlalu Percaya Hasil Survey, Kini Periset Dipermalukan Software!"]

Kita tidak pernah punya gambaran, tentang siapa yang mampu. Kita hanya sering berpikir yang pantas dan patut. Padahal, yang pantas dan patut pun, ialah yang mampu. Pemimpin dari generasi baru (generasi pasca Orde Baru Soeharto), yang lebih bisa menyelesaikan persoalan-persoalan masa kini, untuk menjawab tantangan masa depan, dan menyelesaikan keruwetan masa lalu dengan proporsional pada saatnya.

Semisalnya Prabowo jadi presiden, mungkinkah persoalan korban Peristiwa G30S diselesaikan dengan adil? Bagaimana dengan PRRI/Permesta? Bagaimana dengan Tim Mawar? Wiji Thukul? Munir?

Kalau cuma merekam pikiran orang, tak perlu mendirikan lembaga polling. Di pasar klithikan Ngampilan, Yogya, kaset lawasan juga banyak dijual. Ada ndangdhut duet Rhoma dan Rita Sugiarto, ada keroncong Waljinah, ada pop Jawa Koes Plus. Atau Smoke on the Water Deep Purple produksi yess dengan warna dark-blue?

Beranikah lembaga survey bikin polling, siapakah yang “tidak pantas dipilih”, karena rasis, pelanggar HAM, tukang culik, pengemplang pajak, yang pikirannya ngeres, tukang poligami, dan sejenis-jenis itu? Saya mau ndaftar jadi respondennya!

***