Membelah Suara “Nahdliyyin” di Pilkada Jawa Timur

Rabu, 3 Januari 2018 | 17:12 WIB
0
406
Membelah Suara “Nahdliyyin” di Pilkada Jawa Timur

Pilkada Jatim tentu saja semakin menarik, bukan karena seluruh kontestannya adalah kader Nahdlatul Ulama (NU), namun secara faktual, suara nahdliyyin terus terbelah, bahkan, bisa  terbawa hingga perhelatan Pilpres mendatang. Terlebih, setelah kemunculan nama Yenny Wahid di bursa pencalonan cagub Jatim, dipastikan semakin membelah suara pemilih kalangan NU.

Kini pencalonannya tinggal menunggu kesepakatan partai koalisi, antara Gerindra, PKS, dan PAN. Ketiga parpol ini nampaknya tetap setia menjalin “koalisi abadi”, setelah kemenangannya yang sedemikian gemilang di Pikada Jakarta tahun lalu.

Jatim memang basis terkuat NU, mengingat ormas Islam terbesar ini lahir dan mengakar di sana. Namun Pilkada Jatim kali ini, sulit untuk tidak mengatakan telah membelah suara warga NU, yang sedikit banyak berpengaruh terhadap konstelasi kepolitikan jelang Pilpres mendatang. Kondisi ini justru semakin diperkuat oleh kenyataan, bahwa Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid benar-benar diusung oleh poros baru yang saat ini diinisiasi oleh Gerindra.

Masalahnya, jika semua kandidatnya adalah kader NU, ke mana suara yang tidak berafiliasi nahdliyyin kemudian dilabuhkan? Memasangkan cagub NU dan non-NU mungkin saja dapat memberikan ruang alternatif bagi selain warga nahdliyyin, namun pada akhirnya, suara NU tetap terbelah, bertebaran di antara ketiga kandidat yang ada.

Belum lagi soal di antara kedua kontestan yang telah resmi diusung koalisi parpol, Khofifah dan Syaifullah Yusuf, sepertinya masih memendam “dendam politik” yang sekian lama membeku dan belum terurai. Dua kali gagal di Pilgub Jatim dan dikalahkan Syaifullah, tak membuat Khafifah kapok untuk tetap mengadu peruntungannya di ajang kontestasi politik daerah ini.

[irp posts="7138" name="Yenny Wahid Maju Pilkada Jatim, Suara NU Bakal Pecah Tiga"]

Walaupun diketahui, PKB, yang mengantarkan dirinya hingga memperoleh kursi kabinet di pemerintahan, tak mendukungnya di Pilgub Jatim kali ini. PKB lebih memilih berkoalisi dengan PDIP dan mencalonkan Syaifullah Yusuf dibanding Khofifah. Latar belakang keduanya yang juga dibesarkan di lingkungan politik NU, kini justru berkompetisi saling berhadapan (head to head) dan berebut suara warga nahdliyyin yang juga sama-sama konstituennya.

Para kiai NU-pun nampaknya ikut terjun ke dalam gelanggang politik di Pilkada Jatim, menggalang suara nahdliyyin bagi dukungan para kadernya yang saat ini berlaga dalam kontestasi. Bagi barisan  kiai NU yang sejak awal tidak sepakat atas formalisasi politik NU, sepertinya memang lebih nyaman berada dalam kubu Khofifah, sebaliknya, para kiai yang memiliki afiliasi politik dengan PKB, sudah tentu menggalang dukungan bagi Syaifullah Yusuf.

Tokoh senior NU, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) bahkan resmi ditunjuk sebagai Ketua Tim 9 bagi pemenangan Khofifah di Pilgub Jatim. Gus Sholah seakan menunjukkan konsistensi dirinya yang sejak awal tak pernah setuju terhadap formalisasi politik NU. Dulu, ketika PKB dideklarasikan kakaknya, Gus Dur, ia malah lebih memilih bergabung dengan Partai Kebangkitan Umat (PKU), sebagai bentuk protes atas formalisasi politik NU.

Memang, Pilkada serentak 2018 ini seakan menjadi test case dalam mengukur masing-masing kekuatan politik yang bermuara pada dua aras besar: pendukung Jokowi dan Prabowo. Masing-masing parpol pendukung dua kekuatan ini, sepertinya memang sedang mengincar kantung-kantung suara yang hendak diproyeksikan jelang perhelatan politik nasional 2019.

Di Pilkada Jabar, ketiga parpol—Gerindra, PAN, dan PKS—nampaknya sudah sepakat membangun poros “koalisi reuni” yang sepakat mengusung kader internalnya sendiri. Di Jatim juga nampaknya tak jauh berbeda, mereka akan mengusung calonnya tersendiri. Tak menutup kemungkinan, nama Yenny Wahid pada akhirnya lolos diusung koalisi reuni ini, mengingat ketokohan putri mendiang Gus Dur ini cukup mantap “membongkar” suara nahdliyyin di Jatim.

Sinyal atas pencalonan Yenny, tampak semakin kuat dirasakan, mengingat pertemuannya yang “istimewa” dengan Prabowo Subianto. Penjajakan yang dilakukan Gerindra terhadap Yenny, saya kira telah banyak memiliki kecocokan, hanya tinggal menunggu momentumnya saja. Asumsi saya, pencalonan Yenny bisa menjadi batu loncatan dirinya untuk menggalang suara lebih besar di ajang kontestasi politik nasional.

Pasangan Prabowo-Yenny bisa saja menjadi kenyataan, dan lagi-lagi, sanggup membelah pada akhirnya suara warga nahdliyyin. Gerindra rasanya menyayangkan, jika Yenny tidak lolos dalam bursa pencalonan cagub di Jatim kali ini, karena ini terkait dengan bagian proyeksi terkait Pilpres 2019 mendatang. Gerindra masih butuh figur kuat yang dapat mendulang suara, memperkuat image politik, sebagaimana hal ini ditemukan pada sosok Yenny Wahid.

[caption id="attachment_6982" align="alignleft" width="535"] Prabowo Subianto dan Yenny Wahid (Foto: Netralnews.com)[/caption]

Soal “kecocokan” Yenny dengan Prabowo-pun, tampak dalam suasana yang begitu cair yang diperlihatkan dirinya saat pertemuannya dengan mantan Danjen Kopasus itu. Beberapa caption di akun instagram pribadinya jelas menggambarkan betapa pertemuan tersebut merupakan pertemuan istimewa yang disebut oleh Yenny sebagai pertemuan dua sahabat lama.

Apalagi, Prabowo memang pernah memiliki kedekatan dengan Gus Dur, bahkan seringkali meminta nasehat dan berdiskusi dengan beliau. Yenny dengan sangat terbuka bahkan mengungkapkan, bahwa Prabowo-lah yang memperkenalkan Dhohir Farisi, seorang politisi Gerindra yang saat ini telah menjadi ayah bagi anak-anaknya.

Saya beranggapan, terbelahnya suara warga nahdliyyin pada Pilkada Jatim kali ini akan berdampak serius pada akhirnya, terhadap perhelatan kontestasi politik nasional mendatang. Saat ini saja, suara “NU kultural” nampaknya terbagi dua, ada yang memang menjadi kekuatan politik pendukung Jokowi dan disisi lain, memang berada di belakang lokomotif politik pendukung Prabowo.

Sudah sejak lama, suara NU memang selalu “sexy” diperebutkan banyak kontestan politik, tidak sekadar di aras lokal, tetapi berlaku hingga kontestasi politik nasional. Yang lebih menarik, suara-suara NU malah dipecah-belah oleh kader internalnya sendiri sebagaimana bentuk nyatanya dapat dilihat pada konteks Pilkada Jatim saat ini.

Membelah suara NU memang serasa sangat mudah, karena komposisi akar rumputnya yang cenderung masih “tradisionalis” secara politik, di mana ketokohan atau figur—terlebih memiliki trah ke-NU-an—masih sangat mungkin dalam mengarahkan pilihan-pilihan politik warga NU.

[irp posts="6986" name="Prabowo Subianto dan Yenny Wahid untuk Pilpres 2019"]

Saya kira, kemunculan nama Yenny Wahid di Pilkada Jatim yang sedang digelorakan oleh Prabowo, bisa saja dalam rangka membangun image politik dengan tujuan jangka panjang: Prabowo sedang menjadi kingmaker untuk meloloskan calon alternatif di Pilpres 2019, atau dirinya memang sedang mencari figur yang kuat sebagai pendampingnya, jika nanti “nyapres” untuk kedua kalinya.

Pilkada serentak 2018, sepertinya menjadi pertaruhan hampir seluruh kekuatan politik, guna menyongsong kontestasi politik nasional mendatang. Semua wilayah potensial, sepertinya menjadi ajang palagan kompetisi dua kekuatan politik besar yang saling berebut pengaruh, terutama dalam menggalang simpul-simpul kekuasaan.

Tak aneh, jika kemudian beragam strategi politik mulai dijalankan, entah itu merangkul, memukul, memecah-belah, pengkhianatan, hingga maraknya isu-isu miring yang mencoba meruntuhkan image politik masing-masing. Yenny, bisa saja menjadi vote-getter bagi NU, yang nantinya “membelah” suara mereka di tengah dua aras kekuatan besar politik.

***