Nash suci yang berkaitan dengan larangan untuk menyerupai suatu kaum di luar Islam akhir ini semakin sering digelontorkan. Sedikit-sedikit serupa. Antiknya, kalau kita rajin mengumpulkan, ada ribuan hal yang terjadi dan hanya dihakimi dengan satu hadits ini. Lucu, kan?
Dari sini saja, kita sudah langsung bisa menduga: pasti ada yang tidak beres. Yuk, kita simak bersama, terutama batasannya!
Pertama, Kanjeng Nabi Muhammad SAW hidup di Arab, sejak masa jaman jahiliyah. Tapi beliau tidak pernah menciptakan bahasa baru. Bahkan Kitab Suci juga tertulis dalam bahasa dan aksara Arab supaya dimengerti oleh kaum yang pertama kali menerimanya.
Ketika menghadapi invasi orang yang memusuhi Islam, jelas di ketahui mereka telah menggunakan kuda dan onta, jauh sebelum Nabi lahir. Nabi Kita juga tidak menyerukan untuk mengendarai kambing supaya berbeda. Tetapi tetap menggunakan kuda dan onta.
Namun, di saat ada pembeda identitas spesifik, maka Nabi memberikan perintah untuk itu. Misalnya, ketika orang yang memusuhi Islam memelihara kumis dan mencukur jenggotnya, maka Nabi memerintahkan hal sebaliknya. Jadi, hadits ini sebenarnya berurusan dengan kekhususan stategi perang, bukan pada aqidahnya.
Pengalaman apik teladan alam ini, disarikan sebagai salah satu kaidah fikih oleh Syaikh Abu Yusuf, santri dari Sayyidina Imam Ahmad Bin Hanbal, “Jika ada nash yang muncul dengan dilatarbelakangi tradisi tertentu, ketika tradisi itu mengalami perubahan, maka pemahaman kita terhadap nash itu juga harus berubah.”
Dalam konteks sejarah kita, ada ulasan menarik: jaman penjajahan Belanda dulu kaum Muslimah dilarang menjahit mukena dengan mesin, karena dianggap menyerupai Penjajah Belanda. Para pria dilarang memakai sepatu, jas dan dasi karena menyerupai penjajah Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, konteksnya sudah berbeda. Fatwa tersebut ditarik. Tidak ada kaitan antara mukena dijahit menggunakan mesin ataupun memakai jas, sepatu dan dasi sebagai identifikasi dengan penjajah. Sebab, Belanda bukan lagi musuh tetapi mitra dalam hubungan diplomasi. Demikian pula dengan tradisi negara lain.
[irp posts="7053" name="“Perhatian” di 2018"]
Nah, dari sini kita bisa melihat dengan gamblang sekali, bahwa tradisi di tahun 2018 yang sudah global, tidak ada kaitannya dengan urusan aqidah, maka tidak perlu diperuncing ke arah sana. Kita dengan mudah bisa menyaksikan, apakah memakai busana Santa Klaus itu bisa mengikis aqidah? Meniup terompet adalah tasyabuh dengan Yahudi?
Tentu jawabannya singkat. Secara sosiokultur relijius umumnya hal tersebut jelas tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah, ketika dengan memakai Busana Santa Klaus tiba-tiba ada yang menjadi murtad. Jika meniup terompet kemudian berasa menjadi Yahudi, dan membakar petasan merasa serupa dengan orang kafir. Tapi di abad milenial ini, rasanya kok sulit dicerna jika sampai hal ini terjadi.
Jadi, kita kembalikan ke diri kita masing-masing. Kita hargai yang kontra tapi tidak perlu ngamuk-ngamuk dengan yang tetap merayakan Tahun Baru dengan gegap gempita. Yang penting tidak dalam kerangka melanggar etika dan undang-undang kita.
Selamat Tahun Baru 2018, semoga lebih sukses manfaat dan barokah...
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews