Deddy Mizwar dan Meikarta

Sabtu, 30 Desember 2017 | 20:08 WIB
0
472
Deddy Mizwar dan Meikarta

Deddy Mizwar walau sudah nyaris lima tahun jadi Wagub Jabar, baru pada masa-masa akhir jabatannya ia terdengar suaranya. Sebelumnya, orang hanya membahas dia sebagai aktor iklan dan sinetron yang belum bisa move on dari dunia keartisannya, walau ia telah menjadi pejabat publik. Alasannya klasik, jadi pejabat publik walau gajinya besar, tapi juga pengeluaran sosial (juga politiknya) jauh lebih besar.

Ridwan Kamil, arsitek yang juga mengadu nasib jadi birokrat pernah mengeluhkan hal yang sama. Walau konon gaji perbulan mencapai angka 150 juta, konon pengeluaran perbulannya mencapai lipat dua dari penghasilannya. Hingga istrinya marah, karena tiap bulan harus menggerus tabungannya untuk tombok.

Saya tidak tahu, apakah ini akar korusi para pejabat di level Gubernur dan Bupati, yang selalu saja merasa penghasilannya tak pernah cukup. Atau ini hanya cermin asbabun nuzul-nya keserakahan atau ketidakmampuan mereka mensyukuri apa yang telah mereka raih.

Intinya pekerjaan tambahan itu perlu dan tetap penting, kalau gak mau dibilang tetap halal dan bukan haram. Etika dianggap sebagai nomer ke sekian!

[irp posts="6843" name="Maaf, Deddy Mizwar Lebih Pas Calon Gubernur, Dedi Mulyadi Wakil Saja!"]

Lalu ketika tiba-tiba, di televisi muncul iklan yang progresif dan provokatif tentang kawasan hunian baru yang bernama Meikarta, mulailah Demiz mulai muncul ke permukaan.

Sebuah advertensi yang menurut saya walau efektif menyentuh publik, tetapi sudah banyak dibahas sangat tidak etis.

Pertama, ia menggunakan figur anak untuk mempengarui pikiran orangtua. Artinya, ia menggunakan cara pandang anak kecil, tentang berbagai hal yang dianggap buruk tentang sebuah kota yang dianggapnya amburadul, tidak nyaman apalagi aman. Sebuah kota yang menjejak tanah, semrawut, padat, dan lingkungan sama sekali tidak sehat.

Inilah cermin anak yang terdidik sejak dini untuk memahami kebagaiaan dari makna konsumerisme dan kapitalisme. Pembuat iklan ini sangat memahami bagaimana pola pikir keluarga masa kini dibentuk. Lepas mereka orang baik betul, setengah baik, atau sama sekali tidak baik: mereka akan selalu berbicara tentang anak: mau mereka, keinginan mereka, selera mereka, dan seterusnya.

Hal seperti ini sebenarnya justru sangat berbahaya, karena anak jadi justru sering lepas kontrol dari orang tuanya. Ia akan justru bersikap berani dan melawan daripada menghormati mereka. Kekacauan berpikir yang setiap hari kita jadikan tontonan di televisi ataupun kehidupan nyata.

Kedua, ternyata kawasan hunian Meikarta ini di luar belum ada kajian AMDAL-nya juga sama sekali belum berizin. Lebih sial lagi, ia telah ditawarkan kepada publik, yang justru dengan begonya lebih melihat pada harganya yang murah. Ia bersikap meracuni otak, hingga konon saat ini tukang ojek pun bisa memiliki apartemen. Suatu model pemasaran kekinian yang sangat jahat!

Karena semurah apapun harganya, kalau pada akhirnya unit sesungguhnya belum ada (apalagi berizin) itu sama saja dengan penipuan. Tak lebih dari investasi bodong!

Di titik inilah, suara Deddy Mizwar menjadi patut didengar, diperhatikan, dan didukung. Bagaimana mungkin sebuah proyek raksasa, senilai konon 278 triliun dan diinisiasi oleh grup usaha sebesar Lippo sedemikian enak saja dan sembrono melakukan sesuatu tanpa memperhatikan birokrasi di daerahnya.

Demiz bukan saja berdiri sendiri melawan Gubernurnya, bahkan ia berani menabrak Mendagri yang berkali-kali menyindir sikapnya ini. Di sini saya tidak punya simpati sama sekali dengan sikap Mendagri dari PDIP ini. Demiz pantas didukung karena, apa yang dilakukan Grup Lippo melalui Meikarta-nya jelas melanggar perencanaan RUTR yang telah dibikin Pemkab Bekasi dan Pemprov Jawa Barat.

Hal ini menjelaskan kenapa ia seolah dibuang begitu saja oleh aliansi PKS dan PAN yang sebelumnya mendukungnya. Watak opurtunis partai-partai yang sama sekali tidak punya keberpihakan yang kuat dan konsisten pada masa depan rakyat kecil dan lingkungan hidupnya.

[irp posts="6840" name="Telah Lahir 2D" Baru, Tapi Bukan Deddy Dhukun dan Dian Pramana Putra"]

Sayangnya, sekali lagi sangat disayangkan, saat ini Demiz berada di lingkaran Partai Demokrat, partai yang tak lebih pedagang-rente yang tak pernah rugi. Apa ruginya coba, sebagai partai makelar yang bersikap jadi oposisipun tidak berani.

Secara gagasan Demiz sangat perlu didukung untuk melindungi 500 lahan pertanian subur yang sebentar lagi disulap jadi belantara beton, tanpa pernah mengukur ketersediaan air minum dalam jangka panjang, merusak habitat dan ekosistem yang mestinya justru lebih pantas dilestarikan.

Tapi bila melihat track-record partai yang mendukungnya, ia sangat pantas dicurigai ketulusan dan kesungguhannya. Apa benar ia berintegritas ikut menjaga ekosistem berjangka seumur hidup, atau sekedar jualan isue politik belaka demi jabatan yang umurnya tak lebih 5 tahun itu!

***