Apakah Cinta Harus Digabung Sepaket dengan Komitmen?

Sabtu, 30 Desember 2017 | 19:33 WIB
0
573
Apakah Cinta Harus Digabung Sepaket dengan Komitmen?

Sebuah pertanyaan ditujukan langsung kepada saya melalui situs Selasar di mana saya harus menjawabnya, terkait "aturan main" fitur "Ask to Answer" yang dilembangkan di sana, "Apakah cinta harus digabu. Saya bukan pengamat percintaan, pakar cinta, apalagi jago bercinta. Kalau itu terjadi, berarti saya hanya mempersempit makna cinta ke sakadar urusan seks belaka.

Begini jawaban saya....

Witing tresno jalaran soko kulino, cinta tumbuh karena terbiasa. Itu ungkapan dalam bahasa Jawa yang bisa dimaknakan, bahwa sebelum cinta itu datang, komitmen belum atau bahkan tidak ada. Komitmen datang belakangan setelah terbiasa, setelah cinta itu terjalin.

Terbiasa atau kebiasaan di sini bisa berarti seringnya bertemu, terbiasa jalan bersama, terbiasa makan siang bersama, saling curhat, dan seterusnya. Di kampung saya, cinta bisa tumbuh karena tarawihan bersama di bulan Ramadan, seperti yang pernah saya alami dulu.

Tidak ada cinta yang datang satu paket dengan komitmen. Misalnya, ajakan saat pasangan baru bertemu, "Yuk kita berkomitmen untuk saling mencintai!" Tidak ada. Orangtua dulu biasa menjawab pertanyaan "Dari mana datangnya cinta?" dengan jawaban "Dari mata turun ke hati". Pedangdut keturunan India, A. Rafiq pernah mendendangkan lagu "Pandangan Pertama". Yup, pandangan pertama itulah biasanya awal datangnya cinta!

Tetapi, pendapat bahwa pandangan pertama awal bercinta itu tentu saja "diskriminatif", sebab pertanyaan colongan bisa saja muncul; bagaimana orang tunanetra (buta) bisa jatuh cinta padahal mereka tidak bisa melihat dan karenanya tidak mengalami pandangan pertama? Tentu ini bahasan lain, sebuah pertanyaan yang selayaknya dijawab secara terpisah.

[irp posts="6581" name="Cinta Abadi"]

Kembali ke pembahasan awal; cinta pada awalnya tidak sepaket dengan komitmen. Sebuah komitmen terbentuk di antara pasangan setelah cinta bertumbuh di "taman asmara", setelah menjalani kebiasan demi kebiasaan, setelah keduanya terbiasa dalam suka maupun duka. Setelah bersepakat untuk saling mencintai, mulailah komitmen dibangun.

Pasangan muda yang mengalami cinta monyet yang dalam istilah "The Favorites", grup musik besutan A. Riyanto disebut "cinta anak ingusan", masih jauh jaraknya menuju komitmen. Istilahnya, "Pokoknya jalan dulu sajalah!" Mereka tidak pernah tahu kapan cinta akan berakhir, tetapi bayangan akan menjadi pasangan suami-istri kelak sudah terbentuk, bahkan saat mereka mengalami cinta monyet itu.

Cinta monyet semasa SMP atau bahkan SD itu lekas berganti sampai kemudian cinta anak-anak SMA. Pada periode ini, cinta bisa berarti malapetaka kalau tidak canggih mengendalikannya. Cinta bisa berakhir duka.

Duka karena hamil di luar nikah karenanya harus pindah sekolah bahkan putus sekolah. Cinta bisa juga berbuah janin bagi seorang perempuan belia yang belum waktunya. Ini malapetaka lainnya. Perempuan sering menjadi korban. Korban karena harus mengalami trauma aborsi, trauma tersakiti karena ditinggal kekasihnya yang tidak sudi bertanggung jawab atas perbuatannya.

Apakah ada komitmen antara pasangan muda yang tertusuk duri mawar asmara ini? Tidak ada! Yang ada adalah inisiatif orangtua masing-masing; mengawinkan keduanya lewat pernikahan dini atau mengorbankan si perempuan dengan aborsi dan harus putus sekolah pula!

Pada fase cinta seperti ini, komitmen hampir tidak ada.

[irp posts="2017" name="Agus Harimurti, Aceh, Pelukan Istri, dan Kisah Cinta Annisa"]

Cinta harus sepaket dengan komitmen baru terjadi pada awal penjajagan ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan. Maknanya, komitmen tumbuh karena niat masing-masing; komitmen membentuk rumah tangga, komitmen menentukan hari pernikahan, komitmen memiliki anak dengan jumlah yang ditentukan, komitmen baru memiliki anak setelah mendapat pekerjaan, dan seterusnya.

Cinta adalah urusan purba, telah ada sejak manusia pertama tercipta. Jadi jangan sepelekan cinta, jangan pula meremehkan dan meremahkan cinta. Semua film, cerita dan drama selalu mengandung unsur percintaan. Tanpa unsur cinta, semuanya akan "garing" seperti petakan sawah di musim kermarau panjang, tentu saja tidak enak dinikmati.

Nah, kalian semua ada juga karena cinta, bukan?

***