Contoh La Nyalla, Emil Dardak Sebaiknya Mundur dari Pilkada Jatim

Kamis, 28 Desember 2017 | 06:34 WIB
0
438
Contoh La Nyalla, Emil Dardak Sebaiknya Mundur dari Pilkada Jatim

Tingginya tensi menjelang penyelenggaraan Pilkada Jawa Timur 2018 mendatang, tampaknya akan menimbulkan korban. Konstelasinya mungkin saja berubah menjelang detik-detik akhir pendaftaran pasangan calon.

Salah satu yang mungkin saja berubah adalah pasangan bakal calon gubernur Khofifah Indar Parawansa: Emil Elestianto Dardak. Meski sementara seperti tampak save, bisa saja akan terjadi pergantian pemain.

Hal ini disebabkan banyak faktor, baik secara internal maupun eksternal. Lihat saja realita terkini di lapangan, Khofifah yang awalnya mendominasi perolehan suara dari prediksi beberapa pengamat politik di Jawa Timur.

Kini elektabilitasnya merosot jauh ketika telah menyatakan diri berpasangan dengan Bupati Trenggalek itu. Merosotnya elektabilitas Khofifah menjadi lebih ironi lagi ketika ternyata di wilayah yang menjadi sasaran utama raupan suara: kawasan Mataraman, ikut merosot drastis.

[irp posts="4907" name="Penetapan Emil Dardak Berbuntut Kegaduhan Politik Antar Partai"]

Tidak dipungkiri hal ini berkaitan dengan Dardak-effect. Majunya Emil pada gelaran Pilkada Jatim 2018 mendatang dan meninggalkan posnya sebagai Bupati Trenggalek, kini memicu polemik hebat.

Bagi warga Kabupaten Trenggalek, Emil dianggap sebagai sosok yang ingin melarikan diri dari tanggung jawab dan beban tugasnya menjabat bupati selama 5 tahun, terhitung sejak 2015 silam.

Anggapan warga Trenggalek ini yang membuat warga di kawasan Mataraman yang memiliki kultur hampir sama, ikut berempati. Wujudnya, mereka ikut menolaknya sebagai bacawagub bagi Khofifah dan ikut memboikot upaya raupan suara bagi Khofifah.

Meski di permukaan mereka tampak menerima Emil, tapi sebenarnya itu hanya sebatas kamuflase dan keinginan untuk berswafoto dengan isteri Emil yang selebritis nasional saja. Justru yang paling dahsyat terjadi adalah di balik itu.

Banyak kalangan rakyat di kawasan Mataraman yang tadinya berkeinginan memilih dan memuluskan Khofifah menjadi Gubernur Jatim periode 2019-2024 menjadi enggan lagi untuk memilihnya.

Keengganan ini tampak dari banyaknya warga di kawasan Mataraman yang memilih tidak bersikap memilih pasangan calon yang akan bertarung pada Pilkada Jatim 2018 mendatang hingga hari tulisan ini dibuat.

Padahal, sebelum Khofifah memunculkan Emil sebagai pasangannya, mereka nyata-nyata mendukung Menteri Sosial tersebut. Kini, mereka memilih “mengambangkan” pilihan dan menunggu perubahan konstelasi yang diyakini mungkin saja terjadi menjelang detik-detik pendaftaran pasangan calon ke KPUD Jatim.

“Saya wait and see dulu. Tadinya saya mendukung Ibu Khofifah (untuk menjadi Gubernur Jawa Timur), namun kalau melihat rasa sakit yang diderita warga Trenggalek, ya bisa saja pilihan saya berubah nantinya,” ujar salah seorang warga kawasan Mataraman kepada Pepnews.

Selain rasa sakit warga Trenggalek akibat dipecundangi Emil, masalah Bupati Trenggalek tersebut tidak hanya sebatas itu. Kemarahan PDIP atas perilaku Emil yang menyeberang dari amanat partai memicu istilah outsourcing dan sekaligus melabelkan Bupati Trenggalek itu sebagai pengkhianat.

Padahal, jika mau melihat jelas demografi wilayah Jatim, kawasan Mataraman didominasi PDIP. Hanya di beberapa wilayah semisal Kabupaten Bojonegoro dan Pacitan saja PDIP tak begitu mendominasi, dalam artian mendudukkan wakilnya sebagai kepala daerah.

Jadi wajar saja jika para kepala daerah tersebut ikut serta dalam upaya penggembosan atas pasangan Khofifah-Emil. Tanpa ada kasus Emil saja suara Khofifah di kawasan ini jadi sasaran penggembosan, apalagi dengan adanya kasus ini.

Tambah kencanglah mereka menggoyang pasangan calon ini. Dengan kata lain, mereka (baca: para kepala daerah di kawasan Mataraman) akan semakin menjadi-jadi meski tidak bisa tampil secara terang-terangan.

Mundur lebih bijak

Melihat realita demikian, ada baiknya Emil mengurungkan niatnya maju pada Pilkada Jatim 2018, mumpung masih ada waktu. Artinya, Emil mengumumkan diri mundur sebagai bacawagub berpasangan dengan Khofifah Indar Parawansa.

Tidak hanya itu, mungkin Emil juga menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungan orang-orang di sekitarnya dan sekaligus permohonan maaf kepada warga Trenggalek; juga kawasan Mataraman.

Emil tidak perlu berpegang bahwa berdasarkan hasil survei dia mendapat suara tertinggi untuk mendampingi Khofifah. Sebab, jika hanya berpatokan hasil survei, Emil tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan La Nyalla Mahmud Mattalitti. La Nyalla adalah contoh nyata bahwa hasil survei tidak mempengaruhi apa-apa.

Menang di 6 dari 7 lembaga survei tidaklah meyakinkan Ketua Umum DPP Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk memilih La Nyalla sebagai bacagub dari partai politik tersebut. La Nyalla hanya sebatas dibekali surat tugas berbatas waktu, tanpa mengantungi rekomendasi dari Partai Gerindra; apalagi dari partai politik lainnya.

Ironis, karena hingga batas waktu yang ditentukan, La Nyalla tidak bisa memenuhi amanat yang tertuang di dalam surat tugas itu. Padahal,  secara logika, dengan menjadi yang terbaik dalam survei, bahkan oleh 6 lembaga survei, La Nyalla harusnya tidak kesulitan mencari bacawagub dan melakukan koalisi dengan partai politik mana pun.

Berkaca dari hal tersebut, Emil seharusnya menjejak tragedi La Nyalla. Bahwa, hasil survei saat ini tidak bisa dijadikan pedoman dan dalam realitanya berbanding terbalik. Dengan kata lain, hasil survei tidaklah sama dengan kenyataan di lapangan.

Hasil survei bagus, tapi di lapangan jeblok. Dan, itu pula yang tengah terjadi dengan Khofifah saat ini! Mundurnya Emil yang disyaratkan dengan kesadaran diri sendiri nantinya justru bisa menaikkan popularitasnya. Juga menaikkan elektabilitasnya di tingkat nasional.

Contoh nyata untuk itu sudah ada saat Agus Harimurti Yudhoyono mengumumkan diri atas kekalahannya pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu dengan tanpa bertele-tele dan menujukkan sikap ksatrianya.

[irp posts="5238" name="Khofifah Terdesak Organ Internal NU, Emil Dardak Terancam Mangkrak"]

Usia muda, sedikit di bawah AHY, masih memungkinkan bagi Emil menggapai masa depan di kancah perpolitikan nasional lebih cerah lagi. Sikap ksatria bak AHY, jika Emil akan mengambil langkah mundur dari konstelasi Pilkada Jatim 2018 itu, akan membuatnya dilirik banyak partai politik untuk menempati pos-pos penting tertentu.

Bisa sebagai pengurus DPP partai politik tertentu; atau mungkin dipinang pasangan calon lain pada Pilkada Jabar atau Jateng. Di sinilah harga Emil akan lebih mahal, jika dibandingkan dengan kengototannya tetap berdampingan dengan Khofifah.

Karena, kesadaran Emil yang menjadi kartu mati dan digoyang dengan saingan baru yang jauh lebih berpotensi: Moreno Soeprapto yang diusung Gerindra, bisa membuat Bupati Trenggalek itu akan semakin berdarah-darah jika meneruskan langkahnya tetap mengikuti Pilkada Jatim 2018.

Dengan mundur pula, Emil akan dapat menjadi “kartu truf” pada penyelenggaraan Pemilu 2019 mendatang. Apalagi, jika dalam jangka waktu dekat ini Emil bisa membawa nama Trenggalek lebih dominan prestasinya jika dibanding dengan Kabupaten Bojonegoro.

Apalagi, konon, Bupati Suyoto, akan ikut bertarung di dalam Pilkada Jatim 2018 mendampingi Moreno, tak hanya di tataran regional; tapi juga di tingkat nasional dan bahkan internasional. Sekarang ini, semua berpulang kepada Emil.

Tetap ikut dalam konstelasi Pilkada Jatim 2018, tapi akan semakin menghancurkan kredibilitasnya; atau mundur dari Pilkada Jatim dan membawa nama harum sebagai seorang ksatria baru dalam percaturan politik Tanah Air. Pilih mana?!

***