Debat Bumi Datar Lebih Asik daripada Halal-Haram Natal dan Tahun Baru

Rabu, 27 Desember 2017 | 19:30 WIB
0
522
Debat Bumi Datar Lebih Asik daripada Halal-Haram Natal dan Tahun Baru

Dua perdebatan ini hampir selalu muncul pada tiap akhir tahun, ya, halal-haram terkait Natal dan merayakan Tahun Baru Masehi. Sesungguhnya, ini perdebatan klasik sejak era Orde Baru yang entah sampai kapan bisa selesai.

Kita mundur ke tahun 1968 sebentar, pada mulanya perdebatan timbul ketika Hari Raya Idul Fitri berdekatan dengan perayaan Natal pada  1-2 Januari dan 21-22 Desember. Kemudian banyak instansi menginginkan perayaan Natal dan Halal Bihalal bersamaan.

Ketegangan itu terus berulang hingga puncaknya pada Maret 1981. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diketuai Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) merilis fatwa haramnya ummat Islam turut merayakan natal.

Topik bergeser mengenai pengenaan atribut dilanjutkan “ronde” halal-haram ucapan selamat Natal. Jika menelusur jejak digital di Google, kita bisa lihat perkembangannya. Perdebatan memanas kembali lima tahun belakangan.

Tidak mengucapkan Natal adalah prinsip dan harus dipegang kuat-kuat. Turut mengucapkan pun sama demikian. Yang salah adalah memaksa orang lain mengikuti prinsip yang bertentangan dengan nuraninya. Apalagi sampai membuat gaduh ruang publik.

Soal tahun baru begitu juga, kita masih berkutat dengan tahun baru sementara sebuah permen kopi telah menjelajah ke angkasa baru. Karena perayaan ini dianggap menyelisih paham agama maka linimasa media sosial memanas dengan sendirinya.

Menyongsong 2018 mari kita sudahi perdebatan semacam ini di dunia maya dan ruang-ruang publik lainnya. Karena yang kita perdebatkan adalah masalah yang sulit dijelaskan ukurannya, tak dibisa dilihat bentuknya.

[irp posts="6658" name="Tak Hanya Ucapan Selamat", Islam Tebar Keselamatan dan Kedamaian"]

Tahun depan, mungkin kita bisa ubah tradisi diskusi maya kepada diskusi yang memiliki orientasi nyata. Saya sendiri lebih senang dengan perdebatan “Bumi Datar” yang juga sempat heboh tahun ini, meskipun lucu juga sebenarnya.

Berdebat soal semesta akan membawa kita pada ruang eksplorasi yang seluas-luasnya. Sementara perdebatan agama hanya membawa kita pada wilayah interpretasi (tafsir). Ujung-ujungnya kita terjebak pada situasi mengkafir-kafirkan sesama ummat beragama.

Kesimpulan bahwa bumi itu datar mungkin tak bisa kita peroleh sepenuhnya, tetapi dalam perjalanannya kita akan menemukan fakta-fakta alam semesta yang luar biasa, yang juga bisa menambah keimanan pada Yang Maha Kuasa.

***