Ketika Indonesia akan berdiri, Founding Fathers kita terlibat diskusi yang sangat alot. Ada dari kelompok Nasionalis dengan pandangan sekulernya yakni memisahkan antara agama dengan negara. Ada juga kelompok Islam Religius yang menghendaki syariat Islam secara formal harus diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Atas dasar inilah terjadi kesepakatan bersama yang dimotori oleh tokoh NU yaitu Guru Mulia KH Wahid Hasyim (ayahanda Mbah Wali Gus Dur). Beliau secara brilian bisa menengahi konflik sehingga NKRI bisa berdiri di atas keberagaman.
Dalam perjalanannya, eksistensi negara ini mulai digugat. Ada beberapa kelompok yang kecewa dengan kebijakan pemerintah pusat. Mulailah timbul pemberontakan dan perlawanan dari berbagai daerah di Indonesia. Perlawanan terberat adalah DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia).
Pemberontakan ini awalnya hanya digaungkan oleh Mbah Kartosuwiryo sebagai Imam. Kemudian disambut oleh Tengku Daud Beureuh dari Aceh, Ibnu Hajar dari Kalimantan Selatan, Kahar Muzakar dari Sulawesi Selatan, Kyai Sumolangu dari Banyumas Jawa Tengah dan Amir Al Fatah dari Tegal Jawa Tengah.
Pemberontakan ini berlangsung cukup lama yakni mulai tahun 1949 dan baru berhasil diselesaikan tahun 1963. Lamanya waktu untuk menyelesaikan pemberontakan ini disamping karena dukungan persenjataan dari Belanda juga didukung oleh sebagian warga masyarakat setempat yang simpati dengan gerombolan tersebut.
Di sisi lain, kelompok Islam mulai mempertanyakan legitimasi pemerintah RI. Indonesia memang mengadopsi syariat Islam menjadi undang-undang resmi terutama dalam urusan Nikah, Talak dan Rujuk.
Di sisi lain penentuan sidang isbath mengalami nasib yang sama. Menjadi pertanyaan bagaimana keabsahannya, jika hanya dilakukan oleh Departemen Agama saja. Sedangkan dalam Fikih Klasik, hal ini wajib dilakukan oleh Ulil Amri.
Menyikapi gonjang-ganjing ini, Guru Mulia KH Abdul Wahab Hasbullah yang saat itu mengemban amanah sebagai Rois Am PBNU segera tanggap ing sasmito. Dilakukanlah bahtsul masail, sesuai tradisi dalam pesantren untuk menemukan jawaban atas masalah-masalah kontemporer.
Kemudian hasilnya didiskusikan kembali dengan banyak tokoh Islam di luar NU. Awalnya gelar yang akan diberikan kepada Presiden Soekarno adalah waliyul amri dloruri dzu syaukah. Namun, atas masukan dan pertimbangan dari seorang Ulama dari Sumatera Barat, akhirnya dipilihlah gelar Waliyul Amri Dloruri Bissyaukah (Pemimpin umat Islam yang berkuasa secara de facto yang berkaitan dengan suatu hal yang dianggap darurat atau penting).
Pemberian gelar ini dilakukan dalam Konferensi Alim Ulama di Cipanas tahun 1954. Dengan demikian, selesailah konflik tarik ulur antara kepentingan penegakan Syariat Islam dengan Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Dengan pengangkatan inilah Presiden Soekarno dilanjutkan Presiden Soeharto dan semua presiden setelah itu, ketika melimpahkan kewenangannya kepada Departemen Agama, maka segala yang diputuskan telah sah berdasarkan syariat Islam seperti yang kita nikmati saat ini.
Karena itu, jika hari ini masih ada yang ngotot Indonesia tidak sah berdasarkan syariat Islam atau apalah, maka cukup kita bertanya kepada diri kita masing-masing: kita lebih percaya kepada orang yang baru belajar membaca nash suci atau kepada para Ulama Nusantara baik dari NU maupun dari nonNU yang sudah pasang badan dan terlibat langsung dalam pendirian NKRI ini?
***
Tulisan sebelumnya:
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews