Saya selalu menjadikan kasus dan pengalaman sejarah kawasan Balkan untuk melihat masa lalu, masa kini dan masa depan Indonesia. Mungkin, saya tergila-gila dengan kawasan ini, karena saya melihat inilah Indonesia mini. Sejarah panjang persahabatan Yugoslavia dan Indonesia, sejak berakhirnya Perang Dunia II tentu menjadi acuan.
Keduanya sama-sama adalah negara pencetus Gerakan Non-Blok, berakar dari bauran masyarakat multi-etnis, dan pernah dipimpin oleh presiden flamboyan yang memiliki basis massa yang cukup besar. Bedanya, Soekarno dijatuhkan oleh sebuah kudeta merangkak pada tahun 1965. Ia hanya berkuasa sekira 21 tahun, tapi ia berhasil menjaga keutuhan negerinya. Jauh melampaui masanya, hingga hari ini.
Di sini tak bisa disangkal, siapa pun pemimpin Indonesia harus diakui punya keberhasilan yang linier. Bandingkan dengan Tito sebagai penguasa Yugoslavia sejak 1943-1980, berarti ia berkuasa selama 37 tahun (rekor dunia mungkin dalam peradaban modern).
[irp posts="5264" name="Apa Solusi Jitu Anies Perkara Pasar Tanah Abang Yang Mulai Semrawut?"]
Ia dianggap sebagai Bapak pendiri Yugoslavia, masyarakatnya dengan enteng menyebutnya sebagai seorang "Diktator Budiman". Karena ia menganut faham yang disebut sosialisme pasar, anak cabang komunis yang lebih manusiawi. Sayangnya, setelah ia meninggal di tahun 1980, Yugoslavia mengalami krisis berkepanjangan dan berakhir pecah menjadi 5 negara dan 2 daerah otonomi khusus.
Lalu apa hubungannya dengan Tanah Abang?
Beberapa hari lalu, Gubernur DKI Jakarta, saya pikir saking frustasinya dan kurangnya kreasi (apalagi imajinasi) menetapkan daerah muka Stasiun Tanah Abang sebagai kawasan tertutup bagi transportasi. Dan mengubahnya menjadi pasar baru buat PKL.
Dari sisi gagasan mungkin bagi pendukungnya ini suatu terobosan, daripada ribut terus susah diatur sekalian dijadikan pasar. Cara short-cut, yang menurut saya tidak aneh sama sekali. Bukankah ia juga memperoleh kekuasaannya dengan cara yang sama, menggunakan isu agama untuk menjatuhkan rivalnya. Lalu tabrak sana, tabrak sini berbagai regulasi, manajemen keuangan, tata kelola ruang publik, dan seterusnya.
Tanah Abang yang beberapa bulan yang lalu pernah menjadi contoh tata kelola pemerintahan di ruang publik, yang seharusnya jadi role model di seluruh Indonesia dihancurkan dengan cita rasa populis yang sungguh absurd.
Dalam konteks inilah saya menjadi membandingkannya, dengan masa-masa akhir Tito memimpin Yugoslavia dengan apa yang disebut sosialisme pasar. Ia ingin masyarakat "sesaat" senang, dengan kebijakan daruratnya. Mereka lupa, adanya bahaya laten yang menanti saat suatu masyarakat justru terlalu "diikuti" mau mereka tanpa meninjau aspek dasar permasalahannya. Tito lupa, bahwa Yugo yang ia bangun terdiri dari multietnis, agama, dan sekte, ia bisa tunduk pada Tito, tapi setelahnya?
[caption id="attachment_6592" align="alignleft" width="442"] Josip Broz Tito (Foto: Thefamouspeople.com)[/caption]
Tentu saja AB (apalagi SU) sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan Josif Broz Tito. Selain keduanya tidak memiliki ideologi, juga mereka sebenarnya tidak memiliki akar kuat sama sekali di masyarakat. Keduanya ini hanya diuntungkan oleh sebuah momentum yang dianggap penistaan agama, dan didukung oleh populasi yang sedang mabuk agama.
Bandingkan dengan Tito yang berjuang sejak dari bawah, sejak Perang Dunia II, ia memimpin Partisan Yugoslavia yang disebut-sebut sebagai gerakan perlawanan paling berhasil di daerah pendudukan Jerman di Eropa. Kedua pasang pemimpin ini, bila dibanding Ahok-Jarot akan lebih disukai para politisi, pengusaha dan agamawan karena menerapkan kebijakan yang sangat longgar dan bisa ditawar.
Ia akan selalu berlindung dengan apa yang juga dilakukan Tito sebagai "sosialisme pasar" hanya untuk bisa dianggap budiman. Hanya bagian yang ia lupa, ia telah meletakkan "bom waktu" berdaya ledak tinggi di setiap sudut kota, yang justru hanya memperhadapkan rakyat dengan rakyat.
[irp posts="4479" name="Menanti Jawaban Pejabat dari Benang Kusut Pasar Tanah Abang"]
Dalam kasus Tanah Abang, bisa dilihat dengan gamblang mungkin ide awal untuk melegalkan "pedagang jalanan" yang tidak punya kios, tiba-tiba saja dibajak oleh mereka yang justru sudah punya kios permanen, tetapi karena syahwat bisnisnya buka cabang di jalanan!
Gesekan yang saya yakin pasti akan sangat dahsyat! Kedua gabener-wagabenernya ini berlaku tak lebih "penjahat politik yang justru sedang mengadu domba dan memecah belah rakyatnya" dengan melegalisasi kesemrawutan ruang publik!
Saya secara pribadi sebenarnya sudah tidak ingin terlalu peduli dengan Jakarta dan kedua pemimpin ini. Saya haqul yakin, perjalanan keduanya tidak akan lama, karena saya juga yakin yang menjadi musuh terbesarnya adalah kehendak alam dan kemauan zaman (saya percaya melalui kedua instrumen ini Tuhan bertitah).
Cobalah sesekali pandang wajah keduanya, mungkin dulu mereka sempat ganteng dan dipujai kaum hawa. Sekarang tak lagi memancarkan aura positif sedikitpun, bahkan saking tidak pedenya salah satunya menggunakan lipglos (bener gak ya nulisnya?) untuk sekedar menutupi ketidak pedeannya.
Bagi saya orang Jawa, hanya membuktikan keduanya sedang menjalani "kutukan kekuasaan", apa yang seharusnya tidak perlu dipaksakan untuk direbutnya. Kebijakannya di Tanah Abang, menunjukkan sikap frustasi dan ketidakcakapannya sebagai pemimpin!
Ia tidak pantas, ora pantes babar blas!
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews