Politik Asal-asalan

Jumat, 22 Desember 2017 | 08:03 WIB
0
393
Politik Asal-asalan

Siapa yang tidak merasa muak, ketika melalui jalan raya Pondok Gede, Jakarta, terutama pada jam-jam pergi ataupun pulang kerja? Kemacetan mengular. Orang-orang menjadi ganas dan kejam. Keadaan begitu kacau, walaupun polisi sudah ikut campur tangan.

Kesalahan mendasar dari jalan ini adalah, begitu banyak perumahan dan badan usaha, namun tidak ada usaha apa pun untuk melebarkan jalan. Di sisi lain, mobil dan motor pribadi terus bertambah, karena promosi iklan dan kredit kendaraan pribadi yang terlalu mudah. Dua hal ini membuat jalan raya Pondok Gede menjadi seperti neraka. Hal serupa juga terjadi di banyak tempat lainnya di Indonesia, terutama di kota-kota besar.

Pemerintah tidak bertindak apa pun di dalam menghadapi dua masalah di atas. Perumahan semakin luas dan banyak, sementara jalan tidak dikembangkan. Mobil dan motor pribadi semakin banyak, sementara tidak ada peraturan untuk pembatasan kendaraan pribadi. Akibatnya, keadaan lalu lintas menjadi kacau, dan membuat semua urusan, mulai dari urusan politik, bisnis sampai dengan urusan keluarga, jadi lambat dan tak selesai.

Pejalan kaki juga kerap kali menjadi korban. Sedikit sekali jalan yang layak untuk para pejalan kaki. Mereka harus bersaing dengan motor dan mobil yang begitu agresif. Ini terjadi, juga karena salah perencanaan tata kota. Sepertinya, banyak kota besar di Indonesia, apalagi Jakarta, dibangun dengan asal-asalan.

[caption id="attachment_6444" align="alignleft" width="561"] Lalu-lintas Jakarta (Foto: Thebeautifuloftravel.com)[/caption]

Di berbagai pasar juga terjadi hal yang sama. Tidak ada aturan yang jelas, dan tidak ada pihak berwajib yang memastikan aturan tersebut berjalan. Akibatnya, keadaan menjadi kacau, dan menciptakan kemacetan yang sebenarnya tak perlu ada. Pedagang berdagang di sembarang tempat, tanpa memperhatikan hal-hal lainnya, selain keuntungan mereka semata.

Di tingkat politik, pola serupa juga terjadi. Banyak proyek pemerintah tidak berjalan. Walaupun berjalan, proyek tersebut penuh dengan korupsi. Di berbagai tempat, proyek-proyek besar, seperti pembangkit listrik, jalan raya, sekolah dan berbagai infrastruktur penting lainnya terbengkalai, karena korupsi, dan etos kerja yang buruk. Pendek kata, banyak proyek dikerjakan dengan asal-asalan.

Semen di dalam sebuah proyek bangunan dikorupsi oleh para pelaksana proyek. Akibatnya, gedungnya menjadi lemah, dan harus dipelihara dengan harga mahal. Padahal, uangnya juga berasal dari uang rakyat. Hal semacam ini banyak sekali terjadi, dan bahkan melibatkan banyak penegak hukum, dan pemerintah itu sendiri, termasuk perwakilan rakyat.

Kasus paling jelas adalah kasus korupsi E-KTP. Lebih dari separuh anggaran menjadi bahan korupsi anggota perwakilan rakyat. Ini jelas amat sangat keterlaluan. Tidak hanya proyek dan kebijakan yang dibuat dengan asal-asalan, bahkan korupsi pun dilakukan dengan asal-asalan. Ini menandakan mutu perwakilan rakyat kita yang amat sangat rendah.

Padahal, para wakil rakyat tersebut adalah pilihan kita juga. Mungkin juga, kita memilih dengan asal-asalan. Ini juga ditambah dengan tata kelola partai politik yang juga asal-asalan, sehingga tidak ada calon pemimpin bermutu yang bisa mereka tawarkan ke masyarakat. Tindak memilih asal-asalan ditambah dengan tata kelola partai politik yang asal-asalan akhirnya menciptakan keadaan politik yang kacau.

Banyak hal dilakukan tanpa perhitungan. Berbagai peraturan dan kebijakan keluar, namun tanpa pertimbangan matang. Akibatnya, peraturan dan kebijakan tersebut cenderung tidak masuk akal, dan tidak ada orang yang mematuhinya. Keadaan diperparah dengan rendahnya mutu kerja para penegak hukum.

Mengapa?

Berbagai masalah di atas timbul, karena tidak ada perencanaan yang matang di dalam membuat dan menjalankan berbagai proyek dan kebijakan. Pendek kata, banyak proyek dan kebijakan dibuat dan dijalankan dengan asal-asalan. Akhirnya, kebijakan dan proyek itu justru malah merugikan banyak orang. Ada lima sebab yang bisa digali lebih dalam.

Pertama, kerja asal-asalan adalah bentuk dari etos kerja yang buruk. Etos kerja yang buruk berarti menganggap remeh semua hal, sehingga masalah kecil pun akhirnya bisa berkembang menjadi masalah besar, karena tak ditangani dengan tepat. Etos kerja yang buruk juga berarti menunda-nunda menyelesaikan pekerjaan, sehingga akhirnya menumpuk. Bentuk konkretnya adalah kerja dengan amat sangat lambat, tanpa memedulikan, bahwa kelambatan itu akan menyusahkan banyak orang.

Kedua, etos kerja yang buruk akan menciptakan manajemen yang buruk. Manajemen yang buruk dimulai dengan penempatan orang yang tidak sesuai dengan kemampuannya, sehingga mengacaukan kerja seluruh organisasi. Orang diangkat bukan karena kemampuannya, tetapi karena kedekatannya dengan pihak-pihak yang dianggap berkuasa. Berbagai kebijakan yang keluar dari organisasi semacam ini pun cenderung tidak tepat, sehingga menciptakan berbagai masalah baru.

Ketiga, khusus di Indonesia, kita sudah lama hidup dalam penjajahan negara asing dan Orde Baru. Ini semua menciptakan budaya malas, jorok, pikiran sempit dan suka menjilat pihak penguasa dan pihak asing. Budaya-budaya inilah yang membuat kita, sering kali secara tidak sadar, bekerja asal-asalan. Jika tidak ada upaya untuk mengubahnya, maka kita akan menciptakan masalah-masalah baru di Indonesia, walaupun masalah-masalah lama belum terselesaikan.

Keempat, Indonesia masih hidup di bawah pengaruh negara-negara lain. Pengaruh tersebut amatlah kuat, sehingga menciptakan ketergantungan di dalam berbagai hal, terutama di dalam industri transportasi dan telekomunikasi. Orang-orang Indonesia juga masih terlalu terpikat pada budaya-budaya asing, seperti budaya Arab dan Amerika Serikat, sehingga mengabaikan budayanya sendiri. Semua ini membunuh motivasi untuk bangkit menjadi bangsa mandiri, dan akhirnya hanya puas dengan bekerja asal-asalan.

Kelima, Indonesia juga mengalami krisis kepedulian. Orang berbisnis hanya mau untung cepat, tanpa peduli dengan kebaikan orang lain, ataupun kebaikan bersama. Pemerintah bekerja hanya untuk memperoleh kekayaan dan kekuasaan pribadi, tanpa ada kepedulian terhadap kepentingan rakyat. Orang bekerja asal-asalan dengan hasil yang bermutu rendah, karena mereka tidak peduli.

Lalu?

Ada beberapa hal yang kiranya bisa dilakukan, guna mencegah dan mengurangi sikap asal-asalan tersebut. Pertama, kita tidak hanya perlu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam dunia pendidikan, tetapi juga membangun budaya berpikir kritis, terbuka, egaliter dan rasional. Nilai-nilai itulah yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi pada awalnya. Jika budaya-budaya tersebut sudah berkembang, mutu kerja dan hasil kerja kita di Indonesia pun akan meningkat.

Kedua, kita juga harus mulai mengembangkan budaya berani berterus terang. Budaya sungkan dan malu menegur, jika terjadi kesalahan, haruslah diubah. Konflik adalah bagian dari hidup manusia. Kita perlu mengaturnya dengan jalan-jalan yang damai dan masuk akal, terutama jika konflik tersebut terjadi untuk kepentingan banyak orang. Budaya takut berkonflik akan melahirkan budaya mendiamkan, menganggap remeh dan serba membolehkan, termasuk membolehkan bekerja asal-asalan.

Ketiga, kita juga harus belajar berpikir sistemik. Ini berarti kita perlu untuk belajar melihat secara keseluruhan dari keadaan yang ada, sebelum membuat keputusan. Kita perlu mempertimbangkan dampak langsung maupun tidak langsung dari keputusan kita, tidak hanya terhadap diri kita sendiri, tetapi terhadap lingkungan yang lebih luas. Hanya dengan mengembangkan pola berpikir sistemik, kita bisa melenyapkan budaya bekerja asal-asalan.

Keempat, budaya mandiri juga perlu dikembangkan. Mandiri, mengutip perkataan Sukarno, berarti berdikari, yakni berdiri di atas kaki sendiri. Hubungan dengan negara lain tetap dilakukan, seperti kerja sama politik, ekonomi, budaya dan pendidikan. Namun, kerja sama tersebut tidak menciptakan ketergantungan yang merugikan kepentingan nasional, sehingga budaya dan industri lokal pun bisa bertumbuh.

Kelima, kita juga perlu mengembangkan sikap peduli di dalam berpolitik maupun berbisnis. Segala hal di dunia ini terkait satu sama lain secara erat. Ketika kita mengabaikan sesuatu demi kepentingan sempit kita semata, maka kita akan merugikan banyak orang, dan akhirnya juga diri kita sendiri. Kepedulian yang sejati muncul dari kesadaran akan keterkaitan segala sesuatu.

Keenam, segala hal di dunia butuh proses, termasuk perubahan ke arah yang lebih baik. Banyak orang patah di tengah jalan, ketika berjuang untuk kebaikan, karena mereka kurang sabar. Kesabaran adalah hal penting di dalam gerakan sosial untuk menciptakan kebaikan bersama. Hanya dengan perjuangan yang penuh kesabaran, perubahan ke arah yang baik di dalam hidup bersama manusia bisa terjadi, termasuk dalam hal melenyapkan budaya bekerja asal-asalan.

Pola bekerja asal-asalan adalah budaya yang terbentuk dari pola kemalasan dan ketidakpedulian yang berulang selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Pola bekerja ini bukanlah sesuatu yang datang dari langit. Ia bisa berubah, walaupun memerlukan usaha yang amat keras dan penuh kesabaran. Kita mulai dari diri dan lingkungan kita sendiri.

Stop bekerja asal-asalan!

***